Kawan GNFI tidak terasa tinggal hitungan hari kita akan memasuki bulan suci Ramadan. Sebagai negara yang kaya dengan budaya, masyarakat Indonesia memiliki berbagai tradisi menyambut Ramadan yang unik di setiap daerah.
Mulai dari Padusan di Yogyakarta, Munggahan di Jawa Barat, hingga Mattunu Sulong di Sulawesi Barat, setiap tradisi memiliki makna spiritual dan sosial yang mendalam.
Tidak hanya sebagai bagian dari budaya Ramadan di Indonesia, tradisi-tradisi ini juga menjadi sarana mempererat silaturahmi dan menjaga nilai-nilai kearifan lokal. Lalu, apa saja tradisi menyambut Ramadan yang masih lestari hingga kini? Simak selengkapnya dalam artikel ini.
1. Tradisi Padusan di Yogyakarta: Penyucian Diri Sebelum Ramadan
Dalam menyambut bulan suci masyarakat Yogyakarta mempersiapkan diri mereka dengan melakukan tradisi Padusan. Secara bahasa, kata Padusan berasal dari kata bahasa Jawa 'adus' yang berarti kegiatan mandi. Di balik katanya yang sederhana, tradisi padusan dapat dimaknai sebagai proses menyucikan jiwa dan raga sebelum menyerahkan diri kepada Allah SWT di bulan Ramadan.
Meski memiliki makna yang dalam, tradisi Padusan tidak memiliki patokan waktu dan tata cara khusus untuk pelaksanaannya. Biasanya masyarakat melakukan tradisi ini sekitar satu minggu sebelum tanggal 1 Ramadan atau paling lambat sebelum salat Tarawih yang pertama. Tradisi ini dapat dilakukan secara pribadi seperti mandi biasa, ataupun bersama-sama di sungai, telaga, pantai, dan kolam renang.
2. Munggahan: Tradisi Silaturahmi dan Persiapan Ramadan di Tanah Sunda
Di Jawa Barat, khususnya masyarakat Sunda, terdapat tradisi Munggahan, yaitu tradisi berkumpul bersama keluarga untuk menyambut bulan suci Ramadan. Menurut para sejarawan dan budayawan, tradisi ini sudah ada sejak zaman Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten, yang memperkenalkan nilai-nilai Islam ke masyarakat Sunda.
Tradisi Munggahan biasanya dilakukan beberapa hari sebelum 1 Ramadan, dengan mengadakan acara makan bersama (botram), saling memaafkan, dan berbagi ke masyarakat sekitar. Bagi masyarakat Sunda, tradisi ini tidak hanya menjadi sarana untuk mempererat tali silaturahmi, tetapi juga sarana untuk bersyukur atas keberkahan yang telah di berikan Allah SWT.
Baca Juga: Munggahan, Kenali Tradisi Jelang Ramadan yang Berimbas Positif Ini!
3. Nyorog: Tradisi Khas Betawi dalam Menyambut Ramadan
Masyarakat Betawi memiliki tradisi unik dalam menyambut bulan suci Ramadan yang disebut Nyorog. Tradisi ini dilakukan dengan mengantarkan makanan atau bingkisan kepada anggota keluarga yang lebih tua, seperti orang tua, kakek-nenek, atau kerabat dekat sebagai simbol penghormatan kepada orang yang lebih tua, memperkuat hubungan keluarga dan semangat berbagi sebelum memasuki bulan puasa.
Menurut sejarawan Betawi, tradisi ini sudah ada sejak zaman kolonial dan merupakan bagian dari budaya silaturahmi menjelang Ramadan. Dulu, makanan yang diberikan berupa ketupat, lauk pauk, atau makanan khas Betawi seperti gabus pucung dan semur jengkol. Namun di era modern ini, masyarakat lebih memilih untuk memberikan bingkisan berisi gula, beras, susu, kopi, sirup, atau kue.
4. Meugang: Tradisi Makan Daging Sebelum Ramadan di Aceh
Di Aceh, ada tradisi khusus menyambut bulan suci Ramadan bernama tradisi Meugang. Tradisi ini merupakan kebiasaan memasak dan makan daging bersama keluarga besar satu hari sebelum masuk bulan Ramadan. Tradisi Meugang telah berlangsung sejak masa Kesultanan Aceh dan menjadi bagian penting dari persiapan Ramadan di Aceh.
Pada hari Meugang, masyarakat berbondong-bondong ke pasar untuk membeli daging sapi atau kambing, yang kemudian dimasak dengan bumbu khas Aceh seperti kari, gulai, atau rendang. Dalam tradisi ini, selain untuk dimakan bersama keluarga besar, hasil masakan di hari Meugang biasanya akan dibagikan ke tetangga dan kaum dhuafa. Maka dari ini selain merayakan datangnya bulan suci, tradisi Meugang juga mencerminkan nilai gotong-royong dan kepedulian sosial.
5. Mattunu Solong: Tradisi Menyalakan Pelita Menjelang Ramadan di Sulawesi Selatan
Tidak kalah dengan daerah-daerah lain di Indonesia, di Sulawesi Barat tepatnya di Polewali Mandar terdapat tradisi unik untuk menyambut Ramadan. Menjelang bulan suci Ramadan, masyarakat menyalakan lampu minyak atau pelita di sekitar rumah dan masjid yang dikenal sebagai tradisi Matunnu Sulong. Dalam tradisini biasanya pelita yang digunakan merupakan pelita tradisional yang terbuat dari buah kemiri dan ditumpuk dengan kapuk, lalu dililitkan pada potongan bambu.
Tradisi Matunnu Sulong merupakan simbol penerangan hati dalam menyambut bulan yang penuh berkah. Menurut tokoh masyarakat di Batupanga yang dimuat di detik.com, tradisi menyambut Ramadan di Sulawesi Selatan ini merupakan tradisi turun temurun sebagai penanda untuk mendatangkan rezeki dan harapan agar mendapat keberkahan dari Sang Pencipta.
Selain melambangkan pembersihan jiwa dan persiapan spiritual sebelum Ramadan, Mattunu Sulong juga menjadi ajang kebersamaan antarwarga, karena sering kali dilakukan bersama-sama di lingkungan desa atau kampung.
Keberagamantradisi menyambut Ramadan di Indonesia mencerminkan kekayaan budaya dan kearifan lokal yang terus dilestarikan dari generasi ke generasi. Dari Padusan di Yogyakarta, Munggahan di Sunda, hingga Mattunu Sulong di Sulawesi Barat, setiap tradisi memiliki makna spiritual dan sosial yang mempererat hubungan masyarakat.
Lebih dari sekadar kebiasaan, tradisi ini menjadi bagian dari identitas budaya yang memperkaya budaya Ramadan di Indonesia. Dengan memahami dan menjaga tradisi ini, kita tidak hanya merayakan datangnya bulan suci tetapi juga merawat warisan leluhur yang penuh makna.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News