Pendalungan sebagai identitas budaya telah menjadi wacana yang terus-menerus digulirkan di wilayah Tapal Kuda, Jawa Timur. Identitas ini muncul dari realitas kehidupan sehari-hari masyarakat yang mayoritas merupakan percampuran etnis Jawa dan Madura, dengan sebagian kecil masyarakat Osing, Tionghoa, Arab, Tengger, serta lainnya, yang turut memperkaya dinamika kultural wilayah tersebut.
Istilah Pendalungan sendiri awalnya merujuk pada masyarakat dengan perpaduan kultur Jawa-Madura. Namun, dalam perjalanannya, ia berkembang menjadi label yang menunjukkan keberagaman budaya di wilayah Tapal Kuda. Di mana, mencakup tujuh kabupaten dan satu kota, mulai dari sisi timur Pasuruan sampai Banyuwangi.
Pemerintah daerah di wilayah Tapal Kuda mencoba merespons wacana ini dengan upaya proklamasi dan branding. Pada tahun 2010, Probolinggo secara resmi mendeklarasikan dirinya sebagai ibu kota Pendalungan, dan beberapa tahun kemudian Jember mengikuti langkah tersebut.
Tidak hanya berhenti di sana, beragam acara seni dan budaya dengan nama Pendalungan pun mulai bermunculan. Namun, di balik geliat aktivitas ini muncul pertanyaan besar: apakah pendalungan sebagai identitas budaya benar-benar mengakar dalam kesadaran kolektif masyarakat sehingga menjadi kesadaran identitas. Atau, hanya sekadar label baru dalam rangkaian branding budaya yang dikemas untuk keperluan strategis?
Jika menelusuri sejarah wilayah Tapal Kuda, jejak keanekaragaman budayanya tak lepas dari migrasi besar-besaran orang Madura ke wilayah bagian timur Jawa Timur ini.
Hal tersebut berlangsung selama ratusan tahun dan puncaknya terjadi pada tahun 1900-an. Dalam proses interaksi panjang ini, percampuran antara budaya Madura dan Jawa menjadi tak terelakkan.
Orang-orang Madura yang menetap di wilayah tersebut membawa serta adat istiadat dan bahasa mereka, yang kemudian berasimilasi dengan budaya Jawa yang ada. Pendalungan lahir dari persilangan inilah—kebudayaan yang tidak sepenuhnya Jawa, tapi juga tidak murni Madura.
Dalam keseharian, percampuran ini tampak dalam berbahasa, berbusana, hingga praktik-praktik sosial lainnya.
Taropan, Rangkai Ukhuwah di Pendalungan
Namun, keragaman di Tapal Kuda tidak hanya terbatas pada percampuran Jawa dan Madura. Wilayah ini juga menjadi rumah bagi etnis Osing, terutama di Banyuwangi, dan Tengger di Probolinggo serta Lumajang, yang memiliki kebudayaan dan khas bahasa tersendiri.
Selain itu, ada juga komunitas-komunitas Tionghoa dan Arab yang telah lama menetap dan berkontribusi terhadap dinamika ekonomi dan budaya lokal.
Dengan begitu, Pendalungan sebagai identitas mestinya mencerminkan kekayaan ini secara lebih menyeluruh, bukan hanya sekadar branding etnis yang menekankan dua kelompok besar.
Antara Kesadaran Kolektif dan Branding Kultural
Meski telah diusung oleh beberapa daerah sebagai identitas budaya, pendalungan sebagai konsep masih menghadapi tantangan besar dalam membangun memori kolektif. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Cak Ilham dalam bukunya Orang Pendalungan: Penganyam Kebudayaan di Tapal Kuda, kesadaran kolektif masyarakat Pendalungan terhadap identitas mereka relatif rendah dibandingkan dengan masyarakat di kebudayaan lain.
Ini merupakan problem mendasar, sebab tanpa memori kolektif yang kuat, identitas budaya yang diklaim hanya akan menjadi sebatas label tanpa akar yang mendalam.
Memori kolektif sendiri, menurut Maurice Halbwachs, adalah ingatan yang dibentuk dan dipertahankan oleh kelompok sosial melalui ritual, cerita, dan simbol-simbol yang bersifat kolektif.
Di wilayah dengan keragaman budaya seperti Tapal Kuda, membangun memori kolektif tentu bukan perkara mudah. Keragaman itu, di satu sisi, memperkaya dinamika sosial. Namun, di sisi lain menimbulkan tantangan dalam menciptakan narasi identitas yang dapat disepakati bersama.
Acara-acara seni dan budaya yang mengusung nama Pendalungan kerap kali terbatas dalam skala lokal dan seringkali hanya berfungsi sebagai hiburan atau alat branding bagi pemerintah daerah.
Festival-festival tersebut, alih-alih memperkuat memori kolektif, justru terjebak dalam pola-pola yang tercerai-berai dan tidak mampu menghadirkan kesadaran bersama. Ini bisa dimengerti jika kita melihat bagaimana acara tersebut diorganisir.
Bukan Jawa Bukan Madura, Budaya Pendalungan Identitas Masyarakat Tapal Kuda Jawa Timur
Setiap kabupaten/kota mengadakan festivalnya sendiri-sendiri tanpa ada upaya kolaboratif yang signifikan antara daerah-daerah yang terlibat dalam klaim identitas Pendalungan.
Keadaan ini menjadi kritik utama terhadap wacana Pendalungan: ia seringkali menjadi sekadar alat untuk mendongkrak popularitas dan daya tarik turisme, bukan sebagai proyek serius dalam membangun kesadaran dan kebanggaan identitas kolektif.
Hal ini menyebabkan Pendalungan sebagai identitas budaya lebih sering dipersepsikan sebagai produk kebijakan kebudayaan yang bersifat ad hoc ketimbang sebagai wujud dari proses historis yang panjang dan dinamis.
Tantangan dan Potensi Pendalungan Raya
Untuk menjadikan Pendalungan sebagai identitas budaya yang benar-benar mengakar, diperlukan upaya yang lebih besar dan terkoordinasi. Agenda-agenda budaya atau festival yang mengusung nama Pendalungan harus diadakan dalam skala besar dan melibatkan beberapa kabupaten/kota secara bersamaan.
Dengan demikian, festival tidak hanya menjadi kantong-kantong kecil kebudayaan yang bersifat seremonial, tetapi menjadi ruang bersama yang memperkuat kesadaran dan ikatan kultural di antara masyarakat Tapal Kuda.
Dalam konteks ini, sebagaimana yang disarankan oleh Cak Ilham, istilah “Pendalungan Raya” mungkin dapat dipertimbangkan sebagai sebuah konsep yang lebih representatif, sehingga mampu memfasilitasi proses penganyaman kebudayaan yang mencakup berbagai etnis dan tradisi yang ada di wilayah tersebut. Alih-alih sebagai branding lokal yang tercerai berai.
Dengan demikian, masyarakat tidak hanya melihat diri mereka sebagai orang Madura, Jawa, Osing, atau lainnya, tetapi sebagai bagian dari entitas yang lebih besar dan beragam.
Upaya membangun Pendalungan Raya ini tentu membutuhkan pendekatan yang strategis dan komprehensif. Pemerintah daerah, akademisi, dan para budayawan perlu bekerja sama untuk merumuskan agenda-agenda kebudayaan yang tidak hanya bersifat seremonial, tetapi juga edukatif dan reflektif. Misalnya, festival budaya Pendalungan bisa dikemas dengan menghadirkan lokakarya-lokakarya yang mendiskusikan sejarah, bahasa, dan kebiasaan masyarakat Tapal Kuda.
Selain itu, acara-acara seni juga bisa diintegrasikan dengan upaya pelestarian bahasa dan tradisi lokal, sehingga memori kolektif masyarakat Pendalungan dapat terus terjaga dan diperkuat.
Dengan demikian, Pendalungan yang memiliki potensi besar untuk menjadi benteng kultural bagi masyarakat Tapal Kuda, dapat diwujudkan jika wacana tersebut digarap secara serius dan mendalam.
Bagaimana pun, Pendalungan bukan sekadar soal pengakuan terhadap keragaman budaya, melainkan juga soal bagaimana keragaman tersebut dapat dijalin menjadi sebuah identitas yang kuat dan bermakna.
Jika hal itu hanya berhenti pada tingkat branding, maka identitas Pendalungan akan tetap dangkal dan tidak memiliki dampak jangka panjang. Namun, jika Pendalungan mampu berkembang menjadi ruang dialog kultural yang inklusif dan berkesinambungan, maka ia bisa menjadi model identitas budaya yang relevan di tengah tantangan zaman.
Sebagai kesimpulan, masa depan Pendalungan sangat bergantung pada bagaimana konsep ini dipahami dan diimplementasikan. Masyarakat Tapal Kuda perlu diajak untuk berpartisipasi aktif dalam upaya ini, baik melalui kegiatan seni, budaya, maupun pendidikan yang melibatkan mereka dalam proses pembentukan memori kolektif.
Hanya dengan begitu, Pendalungan bisa berkembang menjadi identitas budaya yang kuat dan berkelanjutan, bukan sekadar label kosong yang diperdagangkan dalam agenda-agenda pariwisata.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News