Pasca Pilkada 2024, santer terdengar usulan untuk melakukan pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Usulan ini muncul karena pilkada dianggap menghambur-hamburkan anggaran karena biaya operasionalnya yang fantastis.
Sistem pemilihan yang “diwakili” oleh DPRD ini dinilai jauh lebih efisien karena tidak memerlukan biaya yang besar. Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian, ikut menyetujui usulan penyelenggaraan pilkada melalui DPRD.
"Saya sependapat tentunya, kita melihat sendirilah bagaimana besarnya biaya untuk pilkada. Belum lagi ada beberapa daerah-daerah yang kita lihat terjadi kekerasan, dari dahulu saya mengatakan pilkada asimetris, salah satunya melalui DPRD 'kan," ujar Tito dikutip dari ANTARA, Senin (16/12/2024) lalu.
Meski demikian, Tito mengakui usulan ini perlu digodok lebih lanjut. Pihaknya akan menanti kajian-kajian dari berbagai pihak, termasuk Kementerian Dalam Negeri, DPR RI, maupun kalangan akademikus.
Kawan GNFI, meskipun Mendagri menyetujui usulan pilkada tidak langsung, terdapat banyak kekhawatiran di baliknya. Pemilihan tanpa menggunakan suara rakyat itu dianggap menjadi sebuah kemunduran nilai demokrasi.
Partisipasi Pilkada 2024 Disebut Menyusut, Ini Alasannya
Mundurnya demokrasi atau justru perwujudan efisiensi?
Dalam Undang-Undang Dasar 1945, tidak terdapat ketentuan spesifik apakah kepala daerah harus dipilih langsung oleh rakyat maupun melalui DPRD. Hal ini disampaikan oleh dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Dr. Sholahuddin Al-Fatih, M.H.
“Undang-Undang Dasar 1945 tidak menentukan secara spesifik apakah kepala daerah harus dipilih langsung atau melalui DPRD. Keduanya diperbolehkan selama dilakukan secara demokratis. Dapat ditekankan bahwa demokrasi tidak hanya berarti pemilihan langsung, tetapi juga dapat diwujudkan melalui representasi oleh DPRD. Salah satu alasan utama yang mendukung sistem pemilihan oleh DPRD adalah efisiensi anggaran,” tuturnya, seperti yang dimuat dalam laman resmi umm.ac.id.
Pilkada langsung membutuhkan biaya yang sangat besar, mulai dari mencetak surat suara, pendistribusian logistik, hingga pelaksanaan kampanye. Anggaran sebesar ini tentu akan memberatkan daerah-daerah yang memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) rendah, seperti daerah Indonesia Timur.
Fatih menjelaskan bahwa biaya pilkada di wilayah dengan PAD rendah menyedot lebih dari setengah pendapatan daerah, padahal dana tersebut seharusnya dialokasikan untuk kepentingan pembangunan.
Menurutnya, pilkada langsung juga sering menimbulkan konflik antarpendukung yang berujung kekerasan. Di Papua misalnya. Terdapat laporan tentang hilangnya nyawa akibat perseteruan politik. Oleh karena itu, pemilihan lewat DPRD dianggap dapat mengurangi potensi konflik karena hanya melibatkan anggota DPRD saja.
Di sisi lain, Fatih tidak menampik jika usulan tersebut tak lepas dari kritikan. Pemilihan melalui DPRD dianggap mengurangi partisipasi langsung rakyat dalam demokrasi. Model sistem ini juga dikhawatirkan dapat membuka celah untuk praktik politik uang di kalangan DPRD, yang sebelumnya juga terjadi di tingkat masyarakat.
“Kita tidak boleh mengabaikan risiko bahwa praktik jual-beli suara bisa terjadi di DPRD. Namun, hal ini hanya berupa praduga dan perlu diuji melalui mekanisme pelaksanaan yang transparan. Pemilihan oleh DPRD bukan berarti demokrasi hilang, melainkan sebuah penyesuaian untuk efisiensi,” ujarnya.
Menanggapi polemik usulan tersebut, Fatih menyampaikan solusi untuk menggunakan sistem campuran. Daerah dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tinggi dan indeks kerawanan demokrasi rendah, seperti Jakarta, dapat tetap menyelenggarakan pilkada langsung.
Sementara itu, daerah dengan tingkat kerawanan tinggi, seperti Papua, disarankan untuk menggunakan sistem pemilihan oleh DPRD untuk mencegah konflik yang meluas. Ia juga menyoroti negara-negara tetangga yang sudah menerapkan sistem serupa.
Akan tetapi, Fatih menggarisbawahi jika sistem tersebut belum tentu cocok di Indonesia karena karakteristik masyarakatnya yang berbeda. Ia turut mengatakan bahwa potensi kemunduran demokrasi dan korupsi tetap menjadi tantangan besar.
Pengamat Politik UNESA: Pilkada Usai Jangan Ditinggal, tetapi Tetap Dikawal
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News