Pemungutan suara di Pilkada serentak 2024 telah selesai dilaksanakan masyarakat Indonesia pada Rabu, 27 November 2024. Sebanyak 415 kabupaten dan 93 kota se-Indonesia akan memiliki melantik kepala daerah baru.
Partisipasi masyarakat dalam urusan politik tidak selesai begitu saja. Pengamat Komunikasi Politik Universitas Negeri Surabaya (UNESA) Gilang Gusti Aji mengajak semua pihak untuk mengawal program dan kebijakan yang dijanjikan oleh para kepala daerah terpilih.
“Kalau sudah terpilih (dalam Pilkada 2024), jangan kemudian ditinggal, tetapi harus dikawal apa saja program dan kebijakannya ke depan. Itulah partisipasi seutuhnya dalam politik,” kata Gilang dalam Instagram Live @pemiluland bertajuk “Politik Menggelitik di Pilkada 2024: Masih Adakah Harapan?”, Jumat (23/11/2024).
Gilang menjelaskan, partisipasi masyarakat dalam politik tidak hanya diwujudkan dengan menggunakan hak pilih saat pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah. Partisipasi masyarakat diperlukan untuk memastikan agar kebijakan publik berpihak kepada masyarakat.
Politik Menggelitik di Pilkada 2024
Dinamika politik dalam Pilkada 2024 sangat menarik perhatian. Pada Agustus 2024, Mahkamah Konstitusi menurunkan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) menjadi 7,5 persen berdasarkan Putusan Nomor 60/PUU–XXII/2024. Gilang menyebut keputusan ini berdampak baik untuk demokrasi.
“Penurunan parliamentary threshold menjadi 7,5 persen adalah kabar baik. Apabila dilaksanakan sejak lama, dugaan saya, kita akan punya lebih banyak calon kepala daerah alternatif dibandingkan yang ada sekarang ini,” ungkap Gilang.
Meski begitu, fenomena calon tunggal dan kotak kosong di berbagai daerah tidak terelakkan. Gilang menanggapi hal ini, salah satunya sebagai dampak dari berkurangnya sumber daya pendukung setelah terkonsentrasi di pilpres dan pemilu.
Kemudian sebanyak 10 persen dari peserta Pilkada adalah perempuan. Meski masih didominasi pria, jumlah tokoh perempuan yang berpartisipasi ini sudah meningkat dibandingkan Pilkada terakhir. Partisipasi perempuan akan mendorong kebijakan yang inklusif di tingkat lokal.
“Perempuan akan punya sensitivitas dan keberpihakan pada urusan domestik, meskipun sebetulnya tidak harus perempuan untuk bisa punya kedua hal itu. Meningkatnya partisipasi perempuan menunjukkan bahwa saat ini siapa saja bisa berkiprah dalam dunia politik,” ujar Gilang.
Perempuan masa kini tidak hanya ikut dalam proses legislasi, tetapi juga berani muncul dan menyuarakan pemikirannya. Gilang berharap dengan adanya pemimpin perempuan, mereka dapat berpihak kepada isu-isu yang dekat dengan perempuan, misalnya hal-hal yang berkaitan dengan domestik, anak, dan kesehatan.
Baca juga Menilik Sejarah Perjalanan Pilkada Indonesia dari Masa ke Masa
Masih Adakah Harapan?
Menurut Gilang, harapan terhadap demokrasi di masa mendatang berada di tangan masyarakat. Dimulai dari saat menentukan pilihan dalam pilkada, hingga saat mengawal para kepala daerah terpilih dalam menjalankan pemerintahannya. Masyarakat yang kritis terhadap kebijakan publik adalah harapan untuk masa depan.
“Tidak hanya masyarakat yang memiliki tugas untuk menjalankan demokrasi, tetapi juga pemerintah. Masyarakat saat ini mulai berani menyuarakan kritiknya. Di sisi lain, pemerintah juga harus bisa menerima aspirasi tersebut sehingga diperlukan titik temu atau jembatan komunikasi masyarakat dan pemerintah,” kata Gilang.
Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari pelaksanaan Pilkada 2024. Gilang menekankan bahwa pilkada seharusnya juga menjadi ajang untuk mencerdaskan masyarakat, misalnya melalui debat pilkada. Gilang berharap agar ke depannya, debat antarcalon kepala daerah dapat memunculkan isu-isu penting yang membuka wawasan masyarakat.
Baca juga Bijak Pilkada Luncurkan Website Bantu Gen-Z yang Masih Bingung Tentukan Pilihan Calon Kepala Daerah
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News