Di era digital yang serba cepat ini, penggunaan bahasa Indonesia semakin terpengaruh oleh perkembangan teknologi dan budaya populer. Salah satu dampaknya adalah dominasi bahasa gaul dalam percakapan sehari-hari, yang perlahan menggeser penggunaan bahasa Indonesia yang baku.
Sebagian besar kalangan muda kini lebih familiar dengan bahasa gaul daripada bahasa baku, yang seharusnya digunakan dalam situasi formal atau resmi.
Fenomena bahasa gaul, yang merupakan bentuk ekspresi linguistik yang lebih santai dan sering kali dipengaruhi oleh tren media sosial, mulai merambah hampir setiap aspek kehidupan.
Istilah seperti "gue" (untuk saya), "lo" (untuk kamu), atau "baper" (bawa perasaan) sering kali menjadi bagian dari percakapan sehari-hari, baik di dunia maya maupun dalam obrolan langsung.
Misalnya, seseorang mungkin berkata, "Gue lagi baper nih, jangan ganggu," atau "Lo ngapain sih, kepo banget!" untuk menyatakan perasaan atau menunjukkan rasa ingin tahu yang berlebihan.
Ungkapan ini lebih mudah dipahami dalam lingkup sosial yang informal. Namun, sering kali digunakan tanpa mempertimbangkan konteksnya.
Bahkan, penggunaan kata-kata seperti "santuy" (santai), "asik", atau "joss" semakin populer. Dalam percakapan sehari-hari, kata-kata ini sering dipakai untuk menggambarkan suasana hati atau penilaian terhadap sesuatu yang menyenangkan. Misalnya, "Wah, filmnya joss banget!" atau "Santuy aja, gak usah dibawa serius."
Bahasa gaul ini memang memberikan warna baru dalam komunikasi yang lebih luwes dan akrab. Namun, jika terus menerus digunakan tanpa batasan, ada potensi bahwa bahasa Indonesia yang baku akan terlupakan, terutama di kalangan generasi muda.
Bahasa Indonesia yang baku, yang memiliki aturan tata bahasa yang jelas dan terstruktur, semakin jarang digunakan, terutama dalam situasi non-formal.
Siap-Siap, Peluang jadi Guru Bahasa Inggris di Indonesia Semakin Besar!
Padahal, bahasa baku penting untuk memastikan komunikasi yang tepat, sopan, dan mudah dipahami oleh semua kalangan.
Misalnya, kata "saya" atau "aku" sebagai pengganti "gue" lebih tepat digunakan dalam percakapan yang mengutamakan kesopanan dan formalitas, seperti dalam dunia pendidikan atau pekerjaan.
Demikian juga, penggunaan "tidak" yang lebih tepat ketimbang "gak" dalam konteks percakapan yang lebih serius.
Selain itu, kalimat-kalimat dalam bahasa baku lebih jelas dan mudah dipahami. Sebagai contoh, "Apakah Anda ingin bergabung dengan kami?" jauh lebih formal dan mudah dipahami daripada "Lo mau gabung nggak?" yang mungkin hanya dimengerti dalam lingkup pertemanan akrab.
Bahasa Baku dalam Penulisan, Media Sosial Punya Peran Besar?
Penggunaan bahasa baku juga menjadi hal yang sangat penting dalam penulisan, baik di media massa, laporan resmi, atau karya ilmiah.
Namun sayangnya, makin banyak anak muda yang lebih nyaman menggunakan bahasa gaul, bahkan dalam komunikasi resmi, seperti di media sosial, tempat kerja, atau di sekolah. Hal ini menyebabkan adanya ketidaksesuaian antara konteks percakapan dan pemilihan gaya bahasa yang digunakan.
Media sosial dan platform digital lainnya memiliki peran besar dalam mempercepat penyebaran bahasa gaul. Misalnya, dalam aplikasi pesan instan seperti WhatsApp, Instagram, atau Twitter, bahasa gaul sering digunakan untuk membuat percakapan terasa lebih ringan dan cepat.
Penggunaan singkatan atau akronim juga semakin marak, seperti "gpp" (gak papa), "bgt" (banget), atau "kjb" (kebanyakan), yang mungkin sulit dipahami jika tidak terbiasa dengan bahasa digital.
Pengaruh ini semakin meluas di kalangan anak muda, yang lebih sering berkomunikasi lewat media sosial dibandingkan berbicara langsung. Akibatnya, bahasa baku yang digunakan dalam situasi formal atau edukasi menjadi semakin jarang terdengar.
Bahasa Gaul sebagai Bagian dari Bahasa Indonesia
Bahkan, beberapa generasi muda menganggap bahasa baku sebagai sesuatu yang kaku dan sulit dipahami, yang mengarah pada penurunan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Kebiasaan menggunakan bahasa gaul yang berlebihan tanpa memperhatikan konteks bisa berdampak negatif pada penguasaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sebagai contoh, kebiasaan menggunakan "lo" atau "gue" dalam situasi resmi dapat menurunkan kesan profesionalisme seseorang, terutama jika dia berkomunikasi dalam dunia pekerjaan atau di hadapan orang yang lebih tua.
Selain itu, penggunaan bahasa gaul juga bisa menyebabkan kesalahan dalam struktur kalimat, sehingga pesan yang disampaikan menjadi ambigu atau tidak jelas.
Bahkan, dalam jangka panjang, jika bahasa gaul terus mendominasi, generasi mendatang bisa kesulitan untuk menguasai bahasa Indonesia yang baku dengan baik.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menyadari bahwa bahasa baku dan bahasa gaul memiliki tempat dan fungsinya masing-masing, dan keduanya perlu digunakan sesuai dengan konteksnya.
Penekanan bahasa baku di acara formal harus menjadi normalisasi setiap orang, terutama kawula muda yang sering kali menggunakan bahasa gaul tersebut.
Normalisasi yang dilakukan dan ramai dikampanyekan ini dapat menjadi sebuah trend yang mungkin disenangi oleh kaum generasi muda, seperti trend di dunia pekerjaan saat karyawan diminta bekerja oleh pimpinannya dan menjawab "baik, siap bos".
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News