Rajapolah adalah sebuah kawasan yang terletak di Kabupaten Tasikmalaya, dikenal lama sebagai pusat kerajinan tangan homemade yang tetap eksis meskipun di tengah kemodernan saat ini.
Rajapolah yang terkenal dengan produk anyamannya, mempunyai potensi luar biasa sebagai culture centre dalam seni kerajinan tradisional yang mana berfungsi sebagai lokasi promosi dan pemasaran yang sudah dikenal secara global.
Posisinya yang strategis menjadikan Rajapolah sebagai pusat kerajinan serta pemasaran yang efisien dalam mempromosikan ekonomi kreatif. Banyaknya toko suvenir dan kerajinan yang tersebar di sepanjang jalan utama dari Jawa Barat ke Jawa Tengah menjadikannya jalur penting menuju destinasi wisata lainnya seperti Pangandaran dan Cipatujah.
Ini memberikan peluang ekonomi bagi daerah Rajapolah untuk memasarkan produknya baik secara nasional maupun internasional. Kerajinan anyaman di Rajapolah telah mengalami banyak perkembangan selama beberapa tahun hingga saat ini.
Oleh karena itu, mari, kita lihat sejarah perkembangan kawasan ini, ya, Kawan GNFI.
Baca juga : Rajapolah, Tasikmalaya Sentra Kerajinan Anyaman di Wilayah Jawa Barat yang Tembus Pasar Dunia
Sejarah Singkat Penciptaan Kerajinan Anyaman di Rajapolah, Tasikmalaya
Kerajinan anyaman di Rajapolah telah diturunkan dari generasi ke generasi. Keterampilan menganyam bambu merupakan bagian penting dalam kehidupan masyarakat lokal Rajapolah. Berbagai rupa anyaman yang dihasilkan menciptakan seni kerajinan yang unik, membuat anyaman dari Rajapolah memiliki keaslian dan ciri khasnya tersendiri.
Bahan baku yang digunakan dalam kerajinan ini sangat bervariasi. Terdapat anyaman yang terbuat dari bambu halus, mendong, dan pandan. Namun, yang paling umum ditemui di Rajapolah adalah anyaman dari pandan dan bambu halus, yang masing-masing memiliki sejarah dan nilai historis yang berbeda.
Dilansir dari Gentrapriangan.com, asal mula anyaman bambu halus dimulai oleh seorang petani atau pengrajin bernama Martadinata (Haji Soleh) pada tahun 1890. Penyebaran kerajinan ini di Tasikmalaya mulai terjadi setelah pemerintah Hindia Belanda menerapkan Etische Politik tahun 1904.
Pada tahun 1980, Martadinata kehilangan dompet kulit domba miliknya. Kejadian tersebut memicunya untuk menciptakan pengganti dompet dengan mencoba membuatnya dari bambu yang dianyam. Meskipun hasilnya masih kasar, tetapi usaha Martadinata membuahkan hasil. Seiring waktu, anyaman bambunya semakin halus. Kemudian ia mulai mencoba menciptakan barang lain, seperti kimpul dan dudukuy cetok (topi caping).
Awalnya, anyaman halus ini hanya digunakan untuk kebutuhan dalam keluarga. Etische Politiek merupakan bentuk balas budi dari Belanda, yang merasa memiliki tanggung jawab moral dan utang budi kepada penduduk pribumi.
Dengan berjalannya waktu, perhatian pemerintah Belanda terhadap kerajinan tangan masyarakat Tasikmalaya pun meningkat. Hal ini terlihat dari adanya lokasi bernama Parakanhonje yang memproduksi anyaman halus oleh pemerintah Hindia Belanda.
Setelah mengalami berbagai tantangan, kerajinan anyaman bambu halus berhasil menjadi salah satu produk unggulan Tasikmalaya. Kerajinan ini bahkan menjadi ikon Tasikmalaya.
Perkembangan Anyaman Pandan di Kecamatan Rajapolah
Dilansir dari websiteRagam Handicraft Rajapolah, tahun 1915-an, banyak warga setempat memproduksi tikar dengan cara di anyaman. Tikar yang dihasilkan oleh masyarakat lokal ini dikenal sebagai tikar aria, yang terdiri dari dua lapisan untuk memberikan kenyamanan saat duduk.
Lapisan atas lebih lembut (sering disebut halusan) daripada lapisan bawah (disebut kasaran). Pewarna yang digunakan berasal dari sumber alam, sehingga variasi warnanya sangat terbatas.
Beberapa warna yang dipakai termasuk merah, coklat tua, merah darah, dan kuning. Pada tahun 1920, pembuatan tudung dimulai oleh Haji Sidik, seorang penduduk dari Kampung Cibereko.
Seiring berjalannya waktu, usaha kerajinan ini mendapatkan dukungan dari Bupati Tasikmalaya, antara lain melibatkan kerajinan anyaman Rajapolah dalam acara Jaareurs, yang dikenal sebagai pameran pasar malam.
Pameran Jaareurs ini biasanya diadakan di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Melalui acara tersebut, kerajinan anyaman Rajapolah mulai dikenal di luar daerah, bahkan hingga ke luar negeri, dan terdapat ekspor ke Belanda.
Pada tahun 1962, seorang perajin bernama Di’mat Sastrawiria mencoba menciptakan produk lain yang memiliki beragam fungsi, seperti tas, dompet, kipas, tempat pensil, dan lainnya. Sejak saat itu, usaha kerajinan anyaman mulai bangkit kembali dan berkembang hingga saat ini.
Tradisi menganyam diwariskan dari generasi ke generasi sehingga beberapa perajin berhasil mengembangkan usahanya dalam pemasaran dan mendirikan badan usaha sendiri.
Sekitar tahun 1990-an, kerajinan anyaman Rajapolah mencapai masa kejayaannya, di mana pedagang memainkan peran penting dalam industri kerajinan ini, mulai dari penyediaan bahan baku hingga pemasaran produk jadi.
Dengan demikian, Kawan GNFI, kerajinan tradisional sebagai bagian dari warisan budaya setiap suku bangsa Indonesia memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan. Aktivitas tradisi yang bernilai ekonomi ini memberikan peluang kerja yang signifikan. Kerajinan anyaman Rajapolah adalah warisan budaya yang sangat berharga.
Dengan seluruh potensi yang ada, kerajinan ini dapat menjadi sumber pendapatan yang menjanjikan bagi masyarakat setempat serta menjadi salah satu ikon Kabupaten Tasikmalaya di tingkat nasional dan internasional.
Literasi Kriya Tasikmalaya: Merawat Tradisi, Menjaga Warisan Budaya
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News