Berbicara soal Belanda, tak lengkap rasanya jika tidak menyinggung beberapa pemain tim nasional (Timnas) sepak bola Indonesia yang memiliki keturunan Belanda. Beberapa pemain, seperti Shayne Pattynama, Ragnar Oratmangoen, Kevin Diks, hingga Eliano Reijinders memiliki darah Indonesia-Belanda dalam tubuh mereka.
Tidak bisa dipungkiri bahwa hubungan sejarah yang sangat panjang antara Indonesia dan Belanda berperan besar dalam terbentuknya diaspora-diaspora Indonesia di negeri kincir angin itu. Setelah kemerdekaan, banyak orang Indonesia, khususnya Maluku yang pindah ke Belanda.
Mereka yang pergi ke Belanda memulai kehidupan baru dan beradaptasi dengan suasana yang berbeda. Seiring berjalannya waktu, beberapa di antaranya menikah dengan warga lokal. Dari pernikahan tersebut lahirlah generasi baru dengan darah campuran Indonesia dan Belanda, termasuk jajaran pemain timnas Indonesia itu.
Mereka merupakan sedikit dari banyaknya keturunan Maluku yang berada di Belanda. Namun, apakah alasan di balik banyaknya orang Maluku di Belanda?
Alasan banyak orang Maluku di Belanda
Eksodus atau perpindahan penduduk secara besar-besaran ke Belanda terjadi di era pascakolonial. Di awal proklamasi, Belanda sempat tidak mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Saat itu, Belanda bersikukuh ingin menguasai Indonesia kembali, meskipun akhirnya mundur dan mengakui kemerdekaan Indonesia pada 1949. Dulunya, saat Belanda masih belum mengakui kemerdekaan Indonesia, banyak orang Maluku yang tergabung sebagai anggota tentara Kerajaan Hindia Belanda atau Koninklijk Nederlands Indische Leger (KNIL).
Belanda Pulangkan 288 Artefak Indonesia di 2024
Kemudian, KNIL dibubarkan pada 26 Juli 1950. Pembubaran ini membuat seluruh tentara Belanda harus angkat kaki dari Indonesia. Dalam sebuah jurnal yang diterbitkan oleh Universitas Indonesia, tentara KNIL yang berasal dari Maluku diberikan dua pilihan pasca dibubarkannya angkatan bersenjata itu.
Pertama, bergabung dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Serikat (APRIS) atau demobilisasi. Demobilisasi adalah pembebasan dari tugas militer setelah perang berakhir.
Dalam peraturan KNIL, demobilisasi berarti kebebasan untuk memilih terus tinggal di daerah mana saja yang disukai setelah dibebaskan dari tugas militer. Sederhananya, demobilisasi juga dapat diartikan sebagai “kembali ke tempat asal”.
Akan tetapi, tidak semua prajurit KNIL asal Maluku mau bergabung dengan APRIS. Sebagian dari mereka enggan karena kelompok tersebut pernah menjadi “lawan” mereka semasa agresi militer.
Masalah terjadi saat mereka yang ingin kembali di Maluku tidak diizinkan untuk tinggal oleh pemerintah. Hal ini dikarenakan adanya pembentukan Republik Maluku Selatan (RMS) yang memproklamasikan kemerdekaannya.
Pemerintah merasa khawatir jika para mantan serdadu KNIL ini akan bergabung dengan RMS. Dengan permasalahan itu, tidak ada kepastian dan kejelasan bagaimana dan di mana mereka akan tinggal.
Pemerintah Belanda berupaya berunding dengan pemerintah Indonesia agar mantan prajurit KNIL asal Maluku ini diperbolehkan kembali. Namun, hasilnya nihil. Di sisi lain, upaya demobilisasi mantan prajurit KNIL ke Jawa juga tidak diterima.
Singkat cerita, pemerintah Belanda mengusulkan kepada pemerintah Indonesia untuk membawa mantan tentara KNIL dan keluarganya ke Belanda. Mereka dijanjikan untuk tinggal di Belanda sementara sembari menunggu keadaan politik menjadi lebih stabil.
Museum Nasional, Keberagaman Warisan Budaya yang Kembali dari Belanda
Terdapat sekitar 12.500 warga Maluku yang diberangkatkan ke Belanda, yang terdiri dari 4.000 mantan tentara KNIL dan 8.500 anggota keluarganya. Mereka diberangkatkan pada 20 Februari 1951 dari Kota Surabaya dan bersandar di Rotterdam pada 21 Maret 1951.
Eksodus masyarakat Maluku ini berlangsung selama beberapa kali. Kapal terakhir yang berlabuh di Rotterdam tiba pada 21 Juni 1951.
Asimilasi antara Indonesia-Belanda
Setibanya di Belanda, warga Maluku ini ditempatkan di wilayah yang berbeda dengan masyarakat setempat. Awalnya, mereka yang dipindahkan ke Belanda hanya ditargetkan untuk tinggal selama tiga hingga enam bulan.
Akan tetapi, tidak ada titik terang dengan diskusi yang dilakukan oleh pemerintah Belanda dengan Indonesia. Dikarenakan para mantan prajurit dan keluarganya ini tidak bisa kembali ke Maluku, pemerintah Belanda akhirnya memutuskan untuk “mengintegrasikan” orang Maluku dengan masyarakat Belanda.
Sejak saat itu, mereka harus beradaptasi dengan lingkungan yang sangat berbeda dengan tempat tinggal mereka sebelumnya. Iklim, makanan, dan bahasa juga menjadi masalah besar yang dihadapi oleh para diaspora ini saat awal kepindahannya di Belanda.
Dengan berjalannya waktu, generasi-generasi baru bermunculan. Sebagian dari mereka juga “memilih” untuk berkeluarga dengan warga Belanda. Akhirnya, banyak dari warga Maluku ini menetap di Belanda hingga saat ini.
Menengok Pemukiman Belanda di Pedalaman Hutan Gunung Wilis, Ada Pabrik Kopi yang Masih Beroperasi
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News