Indonesia memang terkenal dengan keragaman kulinernya. Dalam kekayaan kuliner tradisional tersebut, ada satu hidangan yang menarik perhatian karena keunikan cara memasaknya dan cita rasanya yang khas, tapa kolo. Hidangan ini menjadi bagian penting dari berbagai ritual adat di NTT.
Tapa kolo atau yang juga disebut kolo merupakan sajian khas dari Nusa Tenggara Timur (NTT) yang terbuat dari beras yang dimasak dalam bambu muda dan dibakar di atas bara api. Makanan ini memiliki sejarah panjang dan sangat penting dalam tradisi masyarakat setempat.
Asal Usul Sajian Kolo Khas NTT
Nama "kolo" berasal dari bahasa Rote yang berarti "memasak dengan bambu". Hidangan ini berbahan dasar beras yang dimasak dalam bambu muda, kemudian ditaruh di atas bara api untuk dibakar. Proses pembakaran ini memberikan cita rasa yang gurih dan aroma yang khas.
Kolo berasal dari kebutuhan masyarakat Manggarai yang sering bepergian jauh untuk bekerja di ladang atau hutan. Mereka membutuhkan makanan yang praktis dan tahan lama untuk dibawa selama perjalanan.
Berangkat dari kebutuhan tersebut, muncul ide untuk memasak nasi di dalam bambu sebagai solusi. Proses ini tidak hanya memungkinkan nasi tetap segar lebih lama, tetapi juga memberikan cita rasa yang unik.
Kolo sering disajikan pada acara-acara adat seperti penti (ritual syukur atas panen), pernikahan, dan perayaan budaya lainnya. Hidangan ini biasanya disantap bersama sayur dan lauk. Hal ini melambangkan kebersamaan dan persatuan dalam masyarakat.
Proses Pembuatan Kolo
Pembuatan kolo tergolong mudah dengan bahan-bahan yang juga mudah didapat. Berikut cara pembuatan kolo khas NTT.
- Beras dicuci hingga bersih, kemudian dicampur dengan air, garam, dan santan kental yang akan memberikan cita rasa gurih.
- Bambu muda yang telah dicuci bersih kemudian dilapisi dengan daun pisang di bagian dalamnya dan diisi dengan beras yang telah disiapkan sebelumnya.
- Bagian ujung bambu lalu ditutup dengan daun pisang untuk menjaga kelembapan dan memberikan aroma khas.
- Bambu yang telah diisi beras diletakkan di atas bara api dan diputar secara berkala agar beras matang merata.
- Proses pembakaran membutuhkan waktu sekitar 30 menit hingga nasi matang dan menyerap rasa dari bumbu dan bambu.
- Setelah matang, kolo dikeluarkan dari bambu dengan hati-hati.
- Setelah dikeluarkan, kolo biasanya disajikan di atas daun pisang.
Makna Budaya Kolo
Kolo telah menjadi bagian dari tradisi kuliner NTT selama berabad-abad. Makanan ini tidak hanya dikenal karena rasanya yang lezat tetapi juga karena kepraktisannya untuk dibawa dalam perjalanan atau saat bekerja di ladang.
Kolo juga menjadi pilihan praktis bagi mereka yang bekerja di ladang atau melakukan perjalanan jauh, karena mudah dibawa dan memiliki rasa yang tetap enak meskipun disantap dingin.
Proses memasak kolo dengan bambu dan bara api memberikan nasi aroma dan rasa yang khas, yang sulit didapatkan dengan metode memasak modern.
Selain itu, penggunaan bambu sebagai alat masak adalah sebuah upaya ramah lingkungan, yaitu dengan mengurangi kebutuhan akan wadah plastik atau logam dan dapat mengurangi limbah.
Kolo menjadi sebuah hidangan yang kaya akan makna. Dalam setiap gigitan, dapat dirasakan harmoni antara tradisi, alam, dan komunitas, menjadikan kolo lebih dari sekadar nasi, tetapi simbol kebersamaan dan rasa syukur bagi masyarakat NTT.
Baca juga: Sop Konro, Sajian Spesial dengan Beragam Identitas
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News