film eksil 2022 penyambung lidah sejarah yang terkembur puluhan tahun - News | Good News From Indonesia 2024

Film ‘Eksil’ (2022), Penyambung Lidah Sejarah dari Mereka yang Terasingkan

Film ‘Eksil’ (2022), Penyambung Lidah Sejarah dari Mereka yang Terasingkan
images info

"Kuburan kami ada di mana-mana, kuburan kami berserakan di mana-mana, di berbagai negeri, di berbagai benua."

Pengggalan puisi di atas yang merupakan ciptaan (Alm) Chalik Hamid, seorang eksil, yang dikutip pada menit pertama film Eksil karya Lola Amaria.

Lola menarasikan film Eksil sebagai kumpulan memori kolektif rasa sakit dari 10 eksil yang diasingkan dari negeri sendiri akibat polemik politik tahun 1965.

Film dokumenter ini berupaya mengingatkan kembali puingan sejarah kelam yang disembunyikan. Selama 10 tahun, Lola harus berjuang keliling antarnegara untuk mendokumentasikan kesaksian para eksil yang mengalami genosida politik hingga film ini berhasil tayang pada 1 Februari 2024 di bioskop Indonesia.

Film Eksil, tidak hanya tontonan hiburan, tetapi memberikan realitas yang belum pernah tersampaikan.

Dilansir dari Kompas, film dokumenter Eksil (2022) yang menceritakan tragisnya kisah para eksil sebagai korban yang direnggut hak kewarganegaraannya hingga tidak dapat pulang ke tanah air selama puluhan tahun.

Para eksil ini semula hanya pemuda-pemudi Indonesia yang dipersiapkan oleh Soekarno untuk membangun negeri dengan diberikan beasiswa pendidikan ke berbagai negara, seperti Belanda, Rusia, China, Ceko, dan negara lainnya.

Kebijakan Gelap Masa Lalu, Kebijakan Eksil Bisa Kembali Terjadi di Indonesia?

Namun, peristiwa G30S PKI mengubah segalanya. Mereka tanpa parameter objektif dicap bagian dari PKI dan kaki tangan Soekarno. Dampak tangan besi kediktatoran Soeharto kepada para eksil secara utuh dihadirkan pada film ini.

Terdapat fakta yang semakin membuat penonton bergidik ketika para eksil yang berstatus tanpa kewarganegraan ini terlunta-lunta melintasi berbagai negara. Mereka berusaha menemukan rumah yang bersedia menampung mereka.

Seolah tak cukup penderitaan yang harus ditanggung, para eksil juga harus kehilangan kontak dengan keluarga di tanah air. Semisal, cerita Asahan Aidit yang sempat pulang ke Bangka hanya dua hari. Sebelum “diusir” oleh keluarga sendiri karena takut ditangkap tentara; Kuslan Budiman, eksil yang tinggal di Belanda memutuskan untuk tidak berkeluarga karena yakin akan diterima kembali di Indonesia; atau Samardji yang mendedikasikan hidupnya dengan merekam arsip-arsip mengenai peristiwa 1965.

Film dianggap seni aktivisme yang sempurna untuk merepresentasikan dan mengkonstruksi realitas kehidupan. Oleh sebab itu, film dapat digunakan sebagai alat propaganda karena jangkauaaya yang luas, populer, dan berdampak bagi emosional penonton.

Sebagaimana artikel A Troubled Vernacular: Legibility and Presence in Indonesian Activist Art karya Doreen Lee (jsstor.og), film dapat mendobrak legibilitas sebagai karya seni aktivis yang kerap menghadapi tantangan ketika menggunakan simbolisme yang sulit dipahaim oleh orang awam (Lee, 2015, pp.310-311).

Film dapat menjadi seni aktivisme yang efektif menyuarakan aspirasi. Sebab, mempunyai unsur audio visual dan dibangun dengan alur cerita jelas. Dengan demikian, pesan yang terkandung di dalamnya akan mudah ditangkap.

Selain itu terkait presence film, Lee menunjukkan bahwa seni aktivis tidak hanya sebagai media berekspresi, tetapi juga sarana menantang narasi dominan dan memberikan ruang suara kepada mereka yang terpinggirkan (Lee, 2015, p.319).

Seperti tujuan Lola, adanya film Eksil diharapkan dapat memberikan perspektif berbeda terhadap kejadian G30S PKI yang menyebabkan banyak saudara kita yang dipaksa hidup terasing di negeri orang.

Lewat film ini, penonton akan melihat para eksil yang mengalami krisis identitas dan stigmatisasi sebagai "antek-antek PKI". Keberadaan film Eksil sebagai seni aktivis menjadi penting untuk menciptakan kesadaran masyarakat akan fakta tersembunyi dari propaganda “Anti PKI” rezim Soeharto.

Kesaksian Sejarah dalam Film Dokumenter Eksil dari Mereka yang Tak Bersalah

Para eksil, melalui film ini, pasrah menjadi orang yang haknya akan sebuah tanah air dirampas oleh oknum di negerinya sendiri. Mereka mencoba beradaptasi dengan berkelana antarnegara untuk mencari suaka bahkan mengajukan kewarganegaraan di negara yang disinggahi.

Selaras pengakuan Tom Iljas, salah satu eksil yang tinggal di Swedia berujar, “Ini cuma kertas aja. Dokumen saja. Hati saya tetap Indonesia”.

Kehilangan status kewarganegaraan, membuat para eksil harus bekerja serabutan di luar latar keilmuannya agar dapat bertahan hidup. Sarmadji, mantan mahasiswa pendidikan anak di China, pernah menjadi pekerja pabrik kaca; atau I Gede Arka, mantan mahasiswa teknik mesin di Moskow yang pernah berprofesi sebagai aktivis budaya.

Tina Askanius dalam artikelnya Video for Change, menjelaskan video bukan hanya sebagai media dokumentasi, tetapi alat perubahan untuk menyebarkan pesan aktivisme dan memobilisasi publik secara lebih emosional (Askanius, 2014, p.456).

Film Eksil dapat membuat penonton meratapi ketidakadilan yang diterima para eksil. Menurut Pierre Bourdieu dalam bukunya Language and Symbolic Power, kekerasan simbolik merupakan kekerasan yang beroperasi dengan membentuk realitas sosial melalui simbol dan bahasa sebagai instrumen kekuasaan bagi objek yang didominasi (Bourdieu, 1991, p.163).

Propaganda “Anti PKI” era Soeharto selalu dinarasikan dengan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara. Bukannya menjadikan Pancasila untuk mempersatukan, tetapi dijadikan alat pembenaran atas penindasan terhadap orang yang dianggap dapat menggangu jalan politik Soeharto.

Meskipun film mempunyai potensi besar sebagai seni aktivisme, tetapi Askanius mencatat film rentan mendapatkan tantangan represif, misalnya risiko sensor. Seperti pelarangan tayang film Eksil di Samarinda, pada akhir Februari lalu.

Para eksil hanya menginginkan permintaan maaf secara resmi dari petinggi yang duduk di kursi pemerintahan. Selain itu juga pengembalian hak kewarganegaraan termasuk pemulihan nama baik dengan mencabut TAP MRPS Nomor 25/1966.

"Mereka dipisahkan dengan identitas negara tempat mereka dilahirkan. Itulah yang ada, Kecintaannya terhadap tanah air tak akan hilang, walaupun terbuang jauh di negeri seberang".

Referensi

  • Askanius, T. (2014). Video for Change.
  • Bourdieu, P. (1991). Language and Symbolic Power.
  • Lee, D. (2015). A Troubled Vernacular: Legibility and Presence in Indonesian Activist Art. The Journal of Asian Studi, 74(2), 303–322.
  • https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/eksil-mereka-yang-kehilangan-tanah-airnya
  • https://www.cnnindonesia.com/edukasi/20240912114306-569-1143727/rangkuman-peristiwa-g30s-pki-latar-belakang-dan-kronologinya
  • https://tirto.id/isi-tap-mprs-no-25-1966-terkait-pki-apa-saja-yang-dilarang-gwEn

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

DN
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.