Di tengah birunya perairan Laut Sawu yang penuh misteri, berdirilah sebuah komunitas yang menjadikan budaya sebagai inti kehidupannya. Masyarakat nelayan Lamalera, yang dikenal dengan tradisi perburuan pausnya, tidak hanya mempertahankan aktivitas ini sebagai sumber penghidupan, tetapi juga sebagai warisan budaya yang menghubungkan manusia dengan alam dan leluhur.
Tradisi ini merupakan cerminan dari kehidupan yang sarat nilai, di mana setiap langkah dilandasi ritual yang penuh makna.
Ritual leffa nuang menandai awal musim turun ke laut, yang berlangsung dari Mei hingga September. Namun, ini lebih dari sekadar penanda waktu. Leffa nuang adalah momen sakral di mana seluruh komunitas berkumpul, bukan hanya untuk mempersiapkan peralatan melaut, tetapi juga untuk memantapkan hati dan jiwa.
Dalam ritual ini, doa-doa dan prosesi adat dilakukan untuk memastikan keselamatan nelayan dan keberhasilan tangkapan.
Matheus Gilo Bataona, salah satu tokoh masyarakat Lamalera, menjelaskan bahwa persiapan ini melibatkan seluruh elemen masyarakat, mulai dari kepala adat, pemilik perahu, hingga warga biasa.
Pada momen ini, semua perbedaan disatukan dalam semangat kebersamaan, menjadikan ritual leffa nuang sebagai simbol persatuan dan tanggung jawab bersama.
Ritual ini tidak hanya sekadar seremonial. Ia melibatkan hubungan mendalam dengan dunia spiritual melalui perantara suku Lango Fujjo, yang memiliki tanggung jawab besar sebagai penjaga tradisi dan penghubung dengan leluhur di Gunung Labaleka. Dalam prosesi ini, doa-doa kuno dilantunkan, dan persembahan seperti tuak, tembakau, serta ayam jantan dipersembahkan.
Salah satu mantra berbunyi:
"Bele Raja Rimu,Bele Jawa Lepang Ina
Kame geje maserum mi grap lame
Ke kide kanukaja
Ke lef,ju fata,de gej lau una koker
De leta duru kalolo di kame
Fe kam gej ma leta di Bele Raja Rimu
No bele Jawa Lepang Ina
Mio begem kpako lolo fai
Ger punga fai,uaj lolo fai,fe kam metej lodo
De ma parafa kide knuka je lef,ju fata.”
Yang artinya:
"Wahai kakek Raja Rimu dan nenek Jawa Lepang Ina,
Kami datang kemari menemui kakek dan nenek berdua untuk menyampaikan keluh kesah dan ratap tangis para janda dan yatim piatu di pantai bahwa mereka, kelaparan dan kehausan.
Mereka telah datang ke rumah besar untuk menyampaikan semua ini. Kami datang kemari untuk memohon kepada kakek dan nenek, kiranya kami diberi sayur mayur ala kadarnya berupa: sayur paku, daun rotan untuk menhidupi keluarganya, baik di kampung atas maupun kampung bawah."
Mantra ini ducapkan sebanyak tiga kali sambil meletakkan siri pinang, tembakau, dan tuak di dekat lubang. Sesaat kemudian di antara kedua ekor ular di dalam akan keluar ular tersebut akan menjilat semua suguhan lalu mengangkat kepalanya, membuka mulutnya lebar-lebar untuk disuapi sebutir telur ayam oleh ketua rombongan pada saat sedang menyuapi telur ayam kemulut ular ketua rombongan kembali mengucap mantra berbunyi:
“Bele mi juam emu um lawak miuo ke jad kam tuegem ar mi juam dorigen. Fe te tet furu kalolo ta parafa kide knukuja ked a ju lef erra bal brata buk lejo puk da maluf …..Taisa ta ju ta …… kam moi mi dor."
Artinya:
“Kakek dan nenek telah mnerima hidangan kami. Dan sekarangpun kami akan kembali. Namun kami berharap, kirana kakek dan nenek akan segera menyusul kami, agar kita samasama menghantar sayurs-mayur ala kadarnya ini ke pantai untuk menghidupi mereka, yang meratap siang malam karena lapar dan haus. Mari ikut kami segera."
Mantra ini bukan hanya doa, tetapi juga pengingat akan tanggung jawab sosial masyarakat Lamalera terhadap sesama, khususnya mereka yang paling rentan. Setiap tindakan dilakukan dengan penuh penghormatan, mulai dari mengetuk batu hingga menyampaikan persembahan di lubang tempat tinggal dua ular besar yang dipercaya sebagai perwujudan leluhur.
Salah satu keunikan tradisi Lamalera adalah perpaduan indah antara adat kuno dan agama Katolik. Setelah ritual adat selesai, masyarakat melanjutkan dengan misa di Kapela Santo Petrus, yang terletak di tepi pantai.
Prosesi ini melibatkan pemberkatan perahu-perahu yang akan digunakan, mengukuhkan hubungan spiritual yang harmonis antara kepercayaan tradisional dan modernitas.
Hal ini mencerminkan betapa masyarakat Lamalera mampu menjaga warisan leluhur tanpa mengesampingkan keimanan mereka. Ritual ini menjadi bukti bahwa tradisi dan agama tidak perlu saling meniadakan, melainkan dapat berjalan berdampingan untuk menciptakan harmoni.
Lebih dari sekadar ritual, tradisi ini adalah simbol solidaritas sosial yang mendalam. Hasil tangkapan paus dibagikan secara merata, memastikan bahwa setiap anggota masyarakat, termasuk janda dan anak yatim, dapat menikmati hasil jerih payah bersama. Proses pembagian ini melambangkan gotong royong yang menjadi jantung kehidupan masyarakat Lamalera.
Bagi mereka, tradisi ini bukan hanya tentang bertahan hidup, tetapi juga tentang memupuk nilai-nilai luhur seperti kesederhanaan, kebersamaan, dan rasa syukur. Bahkan, sistem barter masih dipertahankan, di mana ikan paus kering ditukar dengan hasil bumi dari masyarakat pegunungan. Hal ini menunjukkan betapa mereka menghargai kehidupan yang sederhana namun penuh makna.
Dalam dunia yang semakin modern dan serba cepat, Lamalera berdiri sebagai pengingat bahwa keindahan hidup sering kali ditemukan dalam kesederhanaan dan keterikatan dengan akar budaya. Tradisi mereka mengajarkan bahwa manusia tidak hanya bergantung pada alam, tetapi juga memiliki tanggung jawab besar untuk menjaganya.
Tradisi Lamalera adalah bukti bahwa keberlanjutan tidak hanya bergantung pada teknologi atau kebijakan modern, tetapi juga pada kebijaksanaan lokal yang diwariskan turun-temurun. Dalam menghadapi arus globalisasi, masyarakat Lamalera membuktikan bahwa menjaga tradisi bukanlah langkah mundur, melainkan cara untuk maju dengan identitas yang kokoh.
Mari kita belajar dari Lamalera, bahwa harmoni sejati hanya bisa dicapai melalui penghormatan terhadap alam, leluhur, dan sesama manusia. Warisan budaya mereka bukan sekadar peninggalan masa lalu, tetapi fondasi untuk membangun masa depan yang lebih bijaksana dan penuh empati.
Sumber:
Boli, B. (2021). Tradisi Penangkapan Ikan Paus Pada Masyarakat Nelayan Lamalera Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Ilmiah Tarbiyah Umat, 8(1), 81–98. https://doi.org/10.36915/jitu.v8i1.54.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News