Batik Ciwaringin yang berasal dari Kabupaten Cirebon masih tetap eksis hingga saat ini. Batik Ciwaringin yang telah ada sejak tahun 1940-an ini masih mempertahankan bahan alami sebagai pewarna.
Dimuat dari jurnal budaya Departemen Pendidikan Seni, Universitas Pendidikan berjudul "Analisis Makna Motif Batik Ciwaringin Cirebon” karya Aditya Aditama Putri dan Desi Wulandari, batik ini berkembang di lingkungan pesantren.
Kerajinan batik telah menjadi kegiatan di luar pendidikan agama yang diajarkan di salah Pondok Pesantren Raudlotul Tholibin di Babakan Ciwaringin. Pada awalnya motifnya merupakan hasil pengembangan dari santri asal Lasem, Rembang.
Namun karena kemampuan membatik hampir dipunyai oleh banyak santri, akhirnya dikembangkan oleh pengelola dan menjadi produk khas dari pesantren tersebut. Motif Ciwaringin diketahui banyak mengambil inspirasi dari alam dan lingkungan sekitar, seperti tumbuhan, sungai dan lain sebagainya.
“Salah satu yang menjadi ciri khas adalah polawit ngrambat yakni dedaunan yang merambat dan menjuntai. Ini ciri khas wilayah pedalaman (perkampungan), dengan perbedaan kuat dari batik Trusmian yang kebanyakan bertema luaran alias Keraton dan Kerajaan,” tulisnya yang dimuat Merdeka.
Ceritakan penderitaan
Hal yang menarik dari motif batik Ciwaringin adalah penggambaran penderitaan rakyat akibat penjajahan. Saat itu warga Cirebon dan Ciwaringin dalam kondisi kelaparan akibat perang dan penjajahan.
Karena itu masyarakat kesulitan mencari makan dan hanya bisa menghisap sari tebu untuk mengganjal perut. Ini cara warga agar bisa bertahan hidup, karena pasokan makanan dikendalikan pemerintah Belanda yang saat itu berkuasa.
“Motif yang menggambarkan penderitaan rakyat akibat penjajahan juga tertuang di Tebu Sekeret,” tulis laman Disparbud Jabar.
Batik Ciwaringin juga memotret perjuangan para santri dalam melawan penjajah. Pada masa itu, para santri bersama para pendakwah menjadi kelompok yang memukul mundur para penjajah.
Semangat para santri ini tertuang dalam motif batik pecutan. Menggambarkan semangat santri dalam melawan penjajahan.
“Seolah memecut para santri agar semangat dalam mensyiarkan agama Islam dan memukul mundur para penjajah yang membuat rakyat menderita,” jelasnya.
Masih gunakan bahan alami
Batik Ciwaringin hingga saat ini masih menggunakan pewarna alami dan mempertahankan proses pembuatan manual. Karena itu memerlukan waktu beberapa minggu untuk menghasilkan satu kain sepanjang 2,5 meter.
Sejak dulu, para santri memanfaatkan apapun yang ada untuk membuat batik, termasuk dedaunan dan batang akar untuk mewarnai kain batik. Bahan-bahan ini mudah ditemukan di lingkungan pesantren.
Karena itulah, warnanya tak setajam pewarya kimia. Tetapi batik ini tetap memiliki penggemar terutama dari luar negeri.
Ini karena konsumen luar, sangat menyukai berbagai hal yang masih alami. Harga Batik Ciwaringin berkisar antara Rp 500 ribu hingga Rp 1,5 juta untuk bahan katun.
Dukungan pemerintah sangat diperlukan untuk terus mendampingi dan memberikan permodalan bagi para perajin batik. Dengan demikian, batik Ciwaringin tidak hanya menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang budaya Indonesia tetapi juga sebagai warisan yang terus hidup dan berkembang di tengah modernisasi.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


