Kesalehan sosial seseorang baik atau buruk bisa dilihat dari output sosialnya. Salah satunya adalah perilakunya yang berakhlak baik dan menghargai hak orang lain. Untuk tahu seberapa tinggi nilai kesalehan sosial orang, coba lihat bagaimana dia berkendara di jalanan.
Jalanan dan kendaraan yang berlalu-lalang adalah salah satu manifestasi kebaikan atau keburukan sosial seseorang. Jalanan memberikan bukti tentang karakter seseorang dengan jujur dan tanpa kepura-puraan. Mereka yang berpakaian sopan namun ugal-ugalan dalam berkendara di jalanan adalah bukti adanya sisi kesalehan sosial yang rapuh.
Dalam Islam ada Hadis yang membahas tentang peringkat keimanan, keimanan tertinggi adalah mengucapkan tahlil (La ilaha Illallah) dan yang paling terendah adalah “menyingkirkan hambatan dari tengah jalan”. Artinya, spirit untuk memudahkan orang yang melintas di jalanan.
Kesemrawutan Berkendara
Sebagai orang yang memiliki kendaraan tentu sudah pernah mencicipi rimba jalanan di Indonesia. Betapa banyak sekali pengendara yang menyalakan sein kanan malah belok kiri. Kemudian menyalakan lampu jauh (high beam) di tengah padatnya kendaraan yang macet di malam hari. Menyalakan klakson berkali-kali padahal traffic light menyala hijau baru sedetik.
Kesemrawutan berkendara yang semacam itu amat membahayakan. Membuat orang naik pitam hingga membuat kecelakaan di jalanan. Hal ini tentu saja mengancam eksitensi terpenting setiap orang, yaitu nyawa mereka.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) pernah merilis data bahwa kecelakaan lalu lintas menempati urutan ke delapan penyebab kematian utama di dunia dan penyebab utama kematian untuk anak-anak dan rejama usia 5-29 tahun. Kematian akibat kecelakaan bahkan melampaui kematian akibat infeksi HIV/AIDS dan Tuberculosis (TBC).
Pemerintah sendiri sudah mencoba untuk mengatasi problem ini melalui manajemen keselamatan berlalu lintas. Yaitu dengan mengedukasi generasi muda untuk menerapkan konsep keselamatan dalam berlalu lintas. Upaya ini selaras dengan Rencana Umum Nasional Keselamatan Jalan 2011-2035.
Kematian adalah hal yang menakutkan bagi sebagian besar orang. Termasuk kematian karena kecelakaan. Apalagi berkendara adalah hal yang menjadi keseharian hampir seluruh masyarakat Indonesia. Betapa mengerikannya ketika setiap berkendara kita dihantui oleh ancaman kecelakaan karena banyak pengendara tidak paham aturan dalam menggunakan kendaraan.
Salah satu momen yang paling rawan terjadi kecelakaan adalah jam pagi. Kisaran pukul 06.00-09.00. Di mana waktu itu adalah momen banyak orang berangkat sekolah dan pergi bekerja. Kecepatan pengguna jalan dalam memacu kendaraan seperti orang kesurupan. Bikin bulu kuduk berdiri.
Kita tak pernah berharap ketika kita sedang asik bekerja kemudian ada satu panggilan yang mengabarkan tentang sanak atau saudara yang kecelakaan. Saya sendiri pernah mengalami hal semacam itu dan rasanya jantung berhenti berdetak. Amat menyesakkan.
Ubah Perilaku Berkendara
Tak ada solusi yang efektif dan efisien untuk mengurangi bencana kecelakaan di jalanan selain mengubah perilaku kita sendiri di jalanan. Kesadaran kolektif terkait kehati-hatian dan taat aturan berkendara adalah hal mutlak. Tidak bisa ditawar!
Seberapapun canggih alat keselamatan dibuat untuk kendaraan dan fasilitas lalu lintas diciptakan tapi pengendaranya masih saja awur-awuran maka tak ada cahaya terang dalam meraih kenyamanan berlalu lintas. Jangankan nyaman, keselamatan saja masih menjadi kabut gelap alias tidak jelas.
Kendaraan adalah alat, ia seperti pisau. Bisa digunakan dengan baik dan benar atau sembarangan tergantung pemakainya. Semakin manusia terdidik dan paham dengan alat yang ia gunakan semakin besar kemungkinan untuk tidak melukai orang.
Saya teringat tentang kalimat satir dari M. Faizi dalam bukunya yang berjudul Celoteh Jalanan di halaman 36. Ia mengatakan begini, “Yang paling rendah di antara derajat tersebut adalah warga jalanan yang senantiasa merasa dan harus menang sendiri. Mereka adalah spesies melata paling lemah secara intelektual karena hanya bisa memegang kemudi tapi tidak bisa mengemudi.” Juga “bisa pegang kendali tapi tidak bisa mengendalikan, bahkan harus dikendalikan.”
Saya sendiri pernah ditegur oleh seorang kawan karena memacu kendaraan terlalu cepat saat melewati jalanan kampung. Ia bilang begini, “Pelankan kendaraanmu saat di kampung, kecepatanmu bisa melukai hati orang karena mengancam keselamatan penduduk di situ. Dan itu bisa menjadi caci maki padamu di hati mereka lalu menjadi doa yang mustajab karena mereka merasa dizalimi. Bukankah doa orang yang terzalimi itu mustajab?”
Seketika itu hati saya merasa dipukul palu godam. Benar juga apa yang dikatakan kawan saya ini. Ini masih soal kecepatan. Lalu bagaimana dengan mereka yang memakai knalpot brong yang melukai banyak telinga? Tentu amat mengerikan. Saya sendiri merasa amat risih bila ada kendaraan yang memiliki suara mesin terlampau bising. Ingin rasanya menghina pemakaianya.
Sudah banyak aturan yang dibuat, sudah banyak model sosialisasi yang digemborkan oleh pemerintah tentang keselamatan berkendara. Tapi itu semua menjadi sia-sia jika kita tidak mau mematuhinya. Aturan dibuat bukan untuk dilanggar, tapi dipatuhi untuk menciptakan keharmonisan dan menjaga kohesi sosial.
Kembali lagi ke Hadis di atas, apabila semua dalih dan alasan tentang safety di jalan tidak mampu menyadarkan kita, setidaknya keimanan kita yang menjadi landasannya. Apalagi masyarakat Indonesia adalah mayoritas Islam. Keimanan yang mewujud dalam patuh berkendara adalah bagian dari kesempurnaan keimanan seorang muslim. Sempurnakan iman dengan tidak ugal-ugalan di jalan.
Sumber:
- https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/tingginya-kecelakaan-lalu-lintas-di-indonesia
- https://www.detik.com/edu/edutainment/d-6907895/indonesia-jadi-negara-dengan-tingkat-kematian-tinggi-akibat-kecelakaan-se-asean
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News