Pohon Kendal adalah nama pohon yang dipercaya sebagai inspirasi nama Kabupaten Kendal, terdapat legenda menarik dari cikal bakal lahirnya Kabupaten ini.
Dikutip dari buku Yudiono K. S. yang berjudul Cerita Rakyat dari Kendal (Jawa Tengah), dikisahkan pada zaman dahulu, ketika Kendal masih belum memiliki nama dan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Daerah tersebut digunakan sebagai pangkalan angkatan laut dan ditempati oleh para petinggi atau pejabat.
Ki Suromenggolo adalah salah satu tokoh yang menempati Kendal saat itu. Ia merupakan seorang ahli militer, ahli pemerintahan, dan ahli agama.
Ki Suromenggolo kemudian terkenal dengan sebutan Pendekar atau Empu Pakuwojo.
Runtuhnya Majapahit pada akhir tahun 1400-an disusul dengan berdirinya Kerajaan Islam Demak Bintoro. Lambat laun, ia mengutus seorang pendakwah untuk menyebarkan syiar Islam di Kendal-Kaliwungu, yang dipandang berpotensi besar karena sudah ramai penduduknya.
Bhatara Katong atau Sunan Katong berangkat menuju Kaliwungu untuk mendirikan padepokan dan mengajarkan agama Islam kepada penduduk setempat yang masih beragama Hindu/Budha. Hasilnya, ternyata ajarannya disambut baik oleh masyarakat.
Namun tak berselang lama, terdengar tantangan dari Empu Pakuwojo yang mengaku masih berkuasa di bawah bayang-bayang Majapahit. Sunan Katong menerima tantangan tersebut dan meminta kepada orang-orang terdekatnya untuk mengatur waktu serta tempat pertemuan dengan Empu Pakuwojo. Selain itu, juga menentukan apa yang akan dijadikan bahan pembicaraan nanti.
Pertemuan akhirnya terjadi sebagai sebuah diskusi yang perlahan menjadi perdebatan sengit tentang masalah agama. Kedua belah pihak sama-sama meyakini bahwa agama yang mereka anut adalah agama yang benar. Hingga akhirnya perdebatan berubah menjadi sebuah pertarungan.
Menjaga Kelestarian Air Ala Masyarakat Kendal, Beri Syarat untuk Menebang Pepohonan
Empu Pakuwojo di hadapan para pengikutnya berseru bahwa ia akan bersedia menjadi murid Sunan Katong dan tunduk kepada Demak Bintoro jika dirinya kalah dalam adu kesaktian.
Sementara Sunan Katong menanggapi bahwa yang dicari dari pertarungan hanyalah sebuah kebenaran sejati.
“Yang dicari bukan kalah dan menang, tetapi kebenaran sejati. Boleh saja beradu kesaktian, tetapi hanya Allah yang akan menetapkan siapa menang dan siapa kalah,” ujar Sunan Katong.
Empu Pakuwojo berseru lantang “Apa pun yang terjadi, sebaiknya sama-sama bersikap kesatria. Kalau Sunan Katong yang kalah, dilarang mengganggu kekuasaan Pakuwojo.”
Pertarungan antara kedua tokoh itu berlangsung selama berhari-hari. Adu kesaktian benar-benar dilakukan. Hingga pada akhirnya sampailah Pakuwojo pada keadaan terdesak. Ia juga kesakitan dengan luka yang ditorehkan oleh Keris Sunan Katong.
Di tengah upayanya menghindari Sunan Katong beserta prajurit, Pakuwojo berlari bertelanjang dada karena badannya terasa panas. Tempat pelarian itu kelak dinamai sebagai Desa Klego yang berarti bertelanjang dada.
Pakuwojo juga bersembunyi di semak belukar untuk menghindar dari kejaran prajurit Sunan Katong. Tempat tersebut kemudian menjadi Desa Ndelik yang memiliki arti ‘bersembunyi’. Merasa belum cukup aman, Pakuwojo berpindah tempat lagi melewati pematang sawah yang sedang digarap petani, sehingga membuat pematang tersebut berantakan.
Daerah tersebut kemudian berkembang disebut sebagai Desa Tambakrata (tambak yang rata berantakan). Kini berganti nama menjadi Tambakreja yang berarti ‘bekas tambak atau tanggul yang makmur’.
5 Rekomendasi Destinasi Wisata Air Terjun di Kabupaten Kendal, Memikat mata!
Pada akhir pelariannya, Pakuwojo bersembunyi di sebuah pohon berlubang lebar yang menyerupai gua, dengan harapan agar tidak dapat ditemukan oleh prajurit Sunan Katong. Namun takdir berkata sebaliknya, Pakuwojo berhasil ditemukan sehingga sudah tidak dapat melarikan diri lagi.
Dalam keadaan terkepung, Pakuwojo melunak hatinya dan mengaku kalah, ia juga memenuhi perkataannya yang akan mendukung Islam dan kekuasaan Demak Bintoro.
Setelah meminta Pakuwojo untuk mengucap kalimat syahadat sebagai bentuk perdamaian antara mereka, Sunan Katong berseru:
“Saksikanlah, di tempat inilah Empu Pakuwojo terbuka hatinya memeluk Islam. Pohon besar yang berlubang ini merupakan penanda keterbukaan hatinya. Ini sebuah peristiwa yang penting dan perlu dikenang sepanjang zaman. Karena itu, catatlah pohon ini hendaknya disebut pohon Kendal. Artinya, penerang atau pembuka kesadaran.”
Empu Pakuwojo sejak saat itu diberi gelar sebagai Pangeran Pakuwojo. Ia berhasil menjadi murid yang tekun. Kadang, dirinya menetap di tempat asalnya yang kini disebut sebagai Desa Getas. Namun, sering juga berada di Bukit Sentir yang merupakan pusat dakwahnya.
Tempat bersaksinya Pakuwojo kemudian menjadi Desa Kendalsari. Dari sana, lahir pemerintahan Kendal yang berkembang di masa pemerintahan Sultan Agung.
Tumenggung Bahurekso adalah tokoh penting yang merintis pemerintahan di Kendal. Pengangkatannya tercatat pada hari Jum’at tanggal 8 September 1614.
Sumber:
- Yudiono K.S. Cerita Rakyat dari Kendal. Grasindo, 2009.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News