Manusia modern kerap memperlihatkan perilaku serba cepat dan serba efektif saat beraktivitas. Mentalitas seperti itu dianggap baik, apalagi pada era teknologi yang banyak menuntut hasil dalam waktu instan.
Memang ada sisi baiknya, tapi modernitas juga berdampak buruk bagi manusia itu sendiri. Karena tuntutan berlebih manusia menjadi lebih destruktif dalam berperilaku dan pelan-pelan mengikis akar tradisionalitas di dalam diri.
Modernitas dengan cepat menyebar karena pengaruh budaya barat. Namun, seiring waktu, orang-orang barat pun sadar butuh hidup menjauh dari kehidupan serba cepat. Istilah slow living atau hidup lambat pun diperlihatkan mereka dengan menjauhi gawai hingga hidup jauh dari perkotaan.
Slow Living ala Jawa
Menurut Paksi Raras Alit sebagai pelestari budaya Jawa, slow living ala bule bukanlah barang baru terutama di masyarakat Jawa. Prinsip hidup pelan dan menyatu dengan alam sudah ditanamkan dalam diri orang Jawa sejak dulu.
“Misalnya di film Eat, Pray, Love Julia Roberts di Ubud, Bali ya. Masyarakat modern kan citranya bule, tapi ingin hidup lebih pelan, ingin hidup menyatu lagi dengan alam. Nah, dari situ, dari fenomena ini kemudian trennya muncul slow living, slow food, slow macam-macam, slow fashion. Padahal kita di Jawa mempunyai itu semua, ada filsafat alon-alon waton kelakon,” ucap Paksi kepada Good News From Indonesia dalam segmen GoodTalk.
Selain slow living, Paksi juga melihat menyinggung prinsip hidup dengan alam yang diperlihatkan orang luar negeri. Baginya, orang Jawa juga sudah lama mengenal itu lewat pranata mangsa.
“Jawa mempunyai pranata mangsa atau aturan menanami sesuatu agar tidak mengeksploitasi alam dalam satu siklus 12 bulan. Kapan harus menanam jenis tanaman, apa yang ditanam, agar buminya atau tanahnya tidak jenuh,” ucapnya.
Lalu mengapa istilah slow living lebih populer dibandingkan alon-alon waton kelakon ala Jawa?
Paksi menilai ini lebih ke masalah diksi. Ia melihat istilah slow living ala Jawa dilihat orang terlalu kelokalan sehingga jarang didengungkan.
“Ini dinilai diksi-diksi berbahasa Jawa di dalam filsafatnya belum terlalu keren karena masih sangat lokal,” kata Paksi.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News