Sebagian besar wisatawan, perantau, dan orang-orang di luar pulau Jawa akan mengalami culture shock ketika menanyakan petunjuk arah suatu tempat kepada warga lokal Jogja. Kebingungan seringkali terjadi karena orang Jogja akan menjawab pertanyaan Kawan dengan arah mata angin.
“Mas, maaf mau nanya, kalau mau ke Tugu lewat mana, ya?” Tanya seorang wisatawan yang nampaknya sedang tersesat.
“Oh, tinggal ke utara aja mas, nemu prapatan lurus ke timur nanti jalan sedikit ketemu.” Wisatawan tersebut membalasnya dengan ucapan terima kasih dan senyum getir.
Apakah Kawan pernah mengalami kejadian serupa saat berkunjung ke kota Jogja? Wah, pastinya sangat sulit untuk orang awam membaca mata angin apalagi di tempat yang baru. Yuk, kita kulik mengapa orang Jogja suka menggunakan arah mata angin ketika menunjuk arah!
Baca juga: Tugu 9 November 1945, Saksi Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Rakyat Banjarmasin
Jiwa Pelaut Mengalir Deras
Ternyata salah satu alasan mengapa orang Jogja suka menunjuk arah dengan mata angin adalah karena kultur yang diturunkan oleh bangsa Austronesia. Bangsa nenek moyang orang Indonesia ini memiliki jiwa pelaut yang kuat dan menggunakan mata angin sebagai pedoman perjalanan.
Meskipun begitu, tidak hanya orang Jogja saja yang masih mempertahankan kultur ini. Jika Kawan berkunjung ke kota-kota di sepanjang Pulau Jawa, maka Kawan akan menemukan masyarakat lokal yang masih menggunakan arah mata angin untuk menunjuk arah.
Kiblat Papat Lima Pancer
Masyarakat Jogja memiliki kepercayaan Kiblat Papat Lima Pancer yang berarti empat arah dan satu pancer atau titik tengah. Empat arah tersebut merujuk pada empat arah mata angin, yaitu utara, selatan, barat, dan timur, sedangkan satu pancer diartikan sebagai manusia.
Manusia di sumbu tengah melambangkan suatu kedudukan yang disebut jagad gede atau dalam arti lain manusia memiliki kuasa yang ada di dalam dirinya. Sementara itu, kepercayaan ini juga dikaitkan dengan sumbu filosofis kota Jogja.
Arah utara berpatok pada Gunung Merapi yang menghasilkan lava sehingga menyebabkan kesuburan pada daerah sekitarnya dan dapat ditanami kemudian menjadi sumber kehidupan. Gunung Merapi ini menjadi simbol atau lambang seorang ayah dengan kekuatan laki-laki.
Di seberang utara, ada arah selatan yang berpatok pada Pantai Selatan. Daerah ini dilambangkan sebagai ibu yang memiliki watak dingin, teduh, dan lembut. Selain itu, Pantai Selatan identik dengan perempuan Nyi Roro Kidul dan Ratu Kidul.
Sumbu filosofis di atas kemudian melahirkan konsep sangkar parang di mana manusia berada di sumbu tengah (pacer) tidak lain karena kekuatan atau daya yang berasal dari bapak dan ibu.
Sementara itu, barat dan timur melambangkan arah matahari terbit dan tenggelam yang akan selalu berjalan beriringan. Seiring berjalannya waktu.
Baca juga: Mengenal Pakaian Adat Tertua di Dunia, Berasal dari Sulawesi Selatan
Bentang Alam Pulau Jawa
Alasan selanjutnya adalah karena bentang alam yang dimiliki oleh pulau Jawa. Pulau ini membentang dari barat ke timur sehingga mudah untuk mengidentifikasi arah barat maupun timur dengan melihat terbit tenggelamnya matahari.
Kota jogja juga berlokasi di titik ideal untuk penggunaan arah mata angin, di mana utara berpatok pada Gunung Merapi, selatan pada Pantai Selatan, serta arah barat dan timur bisa dilihat dari siklus matahari terbit dan tenggelam.
Selain itu, kebanyakan jalan besar di kota Jogja membujur lurus dari utara ke selatan dan dari barat ke timur. Tata letak kota Jogja juga memiliki lambang filosofis berupa Tugu-Keraton-Pantai Selatan yang berada dalam satu garis lurus. Hal ini yang kemudian menjadi kebiasaan warga Jogja yang seringkali menunjuk arah menggunakan mata angin karena lebih mudah.
Tips Mudah Mengenal Mata Angin di Yogyakarta |
Wah, ternyata Joga memiliki kultur dan sejarah yang unik, ya! Jadi, apakah kawan mengerti bagaimana menggunakan penunjuk arah mata angin di Jogja?
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News