cerita peradaban masa lalu dari pulau tuangku aceh singkil - News | Good News From Indonesia 2024

Cerita Peradaban Masa Lalu dari Pulau Tuangku Aceh Singkil

Cerita Peradaban Masa Lalu dari Pulau Tuangku Aceh Singkil
images info

Coba Kawan GNFI buka pet, lalu carilah pulau kecil di barat Pulau Sumatra, tepatnya di utara Pulau Nias. Sebuah pulau yang terletak di Kabupaten Aceh Singkil ini menyimpan sebuah peradaban yang menarik untuk dikulik. Memang ada apa dengan pulau itu?

Kepulauan Banyak dikenal sebagai kawasan wisata di Kabupaten Aceh Singkil. Potongan surga Nusantara ini tersaji dalam keindahan gugusan pulau, terumbu karang yang masih alami, hingga ombaknya yang banyak diburu oleh para peselancar mancanegara.

Kepulauan Banyak memiliki 99 gugusan pulau. Adapun pulau terbesar yang dimiliki adalah Pulau Tuangku yang memiliki daerah administrasi Kecamatan Pulau Banyak Barat ini terbagi menjadi empat desa yakni Haloban, Asantola, Ujung Sialit, dan Suka Makmur.

Lekat Pulau Tuangku | Sumber: peta wikimedia commons
info gambar

Sebelum dimekarkan pada menjadi kecamatan baru pada 2010, pulau ini merupakan bagian dari Kecamatan Pulau Banyak yang memiliki pusat pemerintahan di Pulau Balai. Namun, sejarah Pulau Tuangku lebih dari kecamatan muda hasil pemekaran wilayah. Lebih dari itu, sejarah Pulau Tuangku meliputi awal ditemukan, penamaan, hingga terbentuknya kerajaan.

Sejarah mengenai awal ditemukan hingga perkembangannya menjadi kerajaan dikisahkan secara turun-temurun melalui tradisi lisan. Namun, belum ada catatan sejarah yang pasti mengenai tahun berdirinya kerajaan. Dalam buku Di Tepi Zaman: Tari Langsir, Kesenian Rakyat dari Suku Haloban (2021), diperkirakan kerajaan ini muncul sekitar tahun 1795.

Baca juga: Mengagumi Keindahan 99 Pulau di Aceh Singkil
Pulau Rangit, salah satu pulau di gugusan Kepulauan Banyak | Sumber: dokumentasi pribadi
info gambar

Awal Ditemukannya Pulau Tuangku

Dikisahkan terdapat dua orang yang saling bertarung karena masing-masing merasa sebagai orang pertama penemu pulau tersebut. Hukum yang berlaku saat itu adalah barang siapa yang pertama kali menemukan pulau, maka dia berhak untuk menguasainya.

Dua orang tersebut bernama Lasengak dari Nias dan Lawoek dari Simeulue. Namun, di tengah-tengah pertarungan, mereka melihat sebuah asap. Itu artinya, telah ada orang lain yang ternyata lebih dulu menemukan pulau ini daripada mereka. Ketika ditemukan asal asap tersebut, mereka bertemu dengan Tutuwon yang bermarga Nasution yang sedang membuka lahan pertanian.

Mereka berdua kemudian menunjuk Tutuwon untuk menjadi raja atau penguasa pulau tersebut. Namun, Tutuwon menolaknya karena ia tidak memiliki garis keturunan bangsawan. Mereka kemudian menyusuri pulau, barangkali ada orang lain yang ternyata lebih dahulu menemukan pulau ini.

Hingga bertemulah mereka dengan dua orang yang ternyata memang sudah lebih dulu menetap, yakni Malikul Braya dan Hutabarat. Dua orang tersebut kemudian juga ditawari untuk menjadi raja di pulau ini. Namun, keduanya menolak dengan alasan yang sama, yakni tidak ada yang memiliki garis keturunan bangsawan.

Baca juga: Legenda Putri Pukes dan Danau Laut Tawar, Cerita Rakyat dari Tanah Gayo Aceh
Kampung Haloban, pintu masuk Pulau Tuangku | Sumber: dokumentasi pribadi
info gambar

Kerajaan di Pulau Tuangku

Menurut Putra dan Astuti (2022) yang termuat dalam Handep: Jurnal Sejarah dan Budaya, mereka akhirnya menunjuk Malikul Braya yang dianggap paling bijaksana untuk menjemput raja dari Pagurung karena dia berasal dari Pagaruyung.

Sesampainya di Pagaruyung, Raja Pagaruyung yang berkuasa pada masa itu menunjuk Sutan Malingkar Alam untuk menjadi raja yang memerintah di Pulau Tuangku. Sutan Malingkar Alam juga membawa panglima, imam, bilal, dan khatib dari Pagaruyung.

Para penghuni pertama pulau tersebut juga turut ditunjuk menjadi pejabat kerajaan. Tutuwon (Nasution) diberi gelar Datuk Besar, Lawoek bergelar Datuk Maharaja, Lasengak bergelar Datuk Muda, dan Hutabarat menjadi Datuk Pamuncak.

Keempatnya disebut dengan Datuk Barampek. Adapun Malikul Braya menjadi imam besar atau Imam Garang. Kelima orang tersebut mewakili lima etnis yang pada akhirnya melahirkan suku Haloban, masyarakat yang kini mendiami pulau tersebut. Lima etnis tersebut antara lain Minangkabau, Nias, Simeulue, Mandailing, dan Batak.

Dalam menjalankan Kerajaan, seorang raja pasti selalu memiliki panglimma. Ada sebuah cerita yang berkembang tentang seorang panglima yang terkenal akan kesaktiannya. Ia adalah seorang panglima laut yang bernama Bedil Oyok.

Kesaktian Bedil Oyok ini konon tidak terkalahkan. Kesaktiannya ini berupa ilmu kebal yang membuatnya sangat sulit dikalahkan. Namun, ia hanya memiliki satu kelemahan yang terletak pada telinganya. Bedil Oyok hanya bisa mati ketika telinganya ditembak (dibedil).

Oleh karena itu, ia pun dinamai dengan Bedil Oyok (telinga), yang bermakna orang yang hanya bisa mati apabila telinganya ditembak.

Pusat pemerintahan kerajaan berada di sebuah wilayah yang kini bernama Kampung Lamo. Di sana juga dapat ditemukan kuburan raja-raja yang dahulu pernah memerintah. Namun, seiring pergantian zaman, Kampung Lamo kini sudah tidak dihuni oleh penduduk Pulau Tuangku.

Kini, pusat pemerintahan dan pusat kegiatan masyarakat Pulau Banyak Barat berada di Desa Asantola dan Desa Haloban. Kedua desa tersebut berada di pesisir utara dari Kampung Lamo.

Baca juga: Menelusuri Jejak Diaspora Minangkabau di Tapak Tuan, Aceh Selatan

Asal-usul Penamaan Wilayah

Nama Pulau Tuangku sendiri diambil dari gelar raja yakni Tuanku. Adapun nama Haloban berasal dari nama kayu yang banyak tumbuh di daerah tersebut yakni kayu Alaban. Desa Asantola pun memiliki asal-usul nama, yakni ungkapan berbahasa Nias ”asala tola” yang berarti ”asal bisa”, maknanya adalah asal bisa kami tinggal di sini.

Siapa sangka sebuah pulau kecil di barat Pulau Sumatra ini menyimpan peradaban tua yang sangat menarik untuk digali? Pulau yang di dalamnya tercipta dari keeksotisan alam dan keluhuran sejarah membuat Kawan GNFI harus memasukkan pulau ini ke dalam daftar tempat yang harus dikunjungi.

Sumber:

Balai Pelestarian Nilai Budaya Provinsi Aceh. (2021). Di Tepi Zaman: Tari Langsir, Kesenian Rakyat dari Suku. Banda Aceh: Balai Pelestarian Nilai Budaya Provinsi Aceh.

Gayo, H. A., Palawi, A., & Hartati, T. (2018). TRADISI BERKESENIAN ADOK DALAM MASYARAKAT HALOBAN KEPULAUAN BANYAK, SUMATERA. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Program Studi Pendidikan Seni Drama, Tari dan Musik , 280-290.

Mirwansyah. (2024, Agustus 13). Wawancara Asal-usul Pulau Tuangku. (Y. H. Aqilah, Pewawancara)

Putra, D. K., & Astuti, W. W. (2022). ASAL-USUL, BENTUK, DAN EKSISTENSI TARI LANGSIR DARI ETNIK HALOBAN. Handep Jurnal Sejarah dan Budaya, 129-146.

Sofiyan. (2024, Agustus 14). Wawancara Asal-usul Pulau Tuangku. (Y. H. Aqilah, Pewawancara)

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

YH
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.