Masyarakat Bali dikenal dengan masyarakat yang menerapkan sistem kasta atau Wangsa. sistem kasta diibaratkan telah mewarnai kehidupan masyarakat Bali, seperti nama-nama orang Bali yang mewakili wangsa keluarganya.
Hampir semua aspek kehidupan diatur dalam sistem kasta, termasuk juga sistem perkawinan adat di Bali. Umumnya, masyarakat akan menikah dengan orang yang memiliki kasta yang setara dengannya. Akan tetapi, ada sistem pernikahan adat Bali yang berlawanan dengan hal tersebut, yaitu perkawinan Nyerod.
Nyerod dalam Bahasa Bali berarti “terpeleset”. Nyerod dalam konteks pernikahan di Bali memiliki definisi sebagai suatu pelaksanaan pernikahan dalam masyarakat adat Bali antara seorang perempuan yang berasal dari kasta Triwangsa (atau lebih tinggi) dengan seorang laki-laki dari kasta Jabawangsa (atau kasta yang lebih rendah).
Jadi, perempuan yang melangsungkan perkawinan ini disebut Nyerod (terpeleset) dan perkawinan yang dilangsungkan disebut “perkawinan Nyerod”.
Sebenarnya perkawinan Nyerod merupakan salah satu jenis perkawinan yang dilegalkan dalam perkawinan adat Bali. Namun dalam pelaksanaannya, pernikahan ini sangat berdampak akan kehidupan sosial budaya mempelai perempuan tersebut ke depannya.
Upacara Adat Bali: Refleksi Kehidupan Spiritual Masyarakat Bali
Ada dua bentuk “perkawinan Nyerod” dalam ajaran masyarakat bali, yaitu perkawinan Asu Pundung atau pernikahan antara laki-laki dari golongan satria dan golongan Wisya dengan seorang perempuan dari golongan Brahmana. Kemudian, perkawinan Alangkahi Karang Hulu, atau perkawinan antara laki-laki dari golongan Sudra Wangsa dengan wanita dari golongan Ksatria.
Secara harfiah ungkapan Alangkahi Karang Hulu berarti “melompati kepala”,sedangkan Asu Pundung dapat diartikan “menggendong anjing (Asu)”. Perkawinan Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu oleh ajaran tradisional adat Bali zaman dahulu dianggap menentang hukum alam. Sebab, air mani laki-laki berkasta lebih rendah dialirkan ke atas melalui ovum perempuan yang kastanya lebih tinggi. Artinya hal tersebut sama dengan melangkahi kepala para bangsawan Bali.
Dahulu, mereka yang melakukan pernikahan tersebut akan mendapatkan sanksi hukum baik bagi mempelai laki-laki dan mempelai perempuan. Contohnya seperti penurunan kasta bagi mempelai perempuan, hukuman buang keluar Bali yang dikenal dengan hukuman Selong bagi kedua mempelai, bahkan sampai hukuman Labuh Gni dan Labuh Batu.
Tak hanya itu, kehidupan pasangan perkawinan beda kasta ini dapat dikatakan mengalami banyak tantangan mulai dari awal pernikahannya bahkan saat sudah terjadinya perceraian. Dahulu, sebelum dihapusnya Paswara yang mengatur pelarangan perkawinan beda kasta, sering kali kedudukan seorang perempuan diperlakukan secara tidak adil.
Perempuan Sudra yang menikah dengan laki-laki golongan Triwangsa tidak akan pernah masuk ke dalam soroh atau klan suaminya. Artinya, perempuan tersebut tidak akan berubah kastanya mengikuti kasta suami.
Carano: Simbol Kehormatan dalam Upacara Adat Minangkabau
Sedangkan Perempuan Triwangsa yang menikah dengan laki-laki jaba wangsa harus menerima konsekuensi bahwa dirinya mendapatkan sanksi berupa penurunan kasta melalui upacara Patiwangi. Ini adalah upacara penurunan wangsa pihak perempuan agar sederajat dengan Wangsa pihak laki-laki.
Dalam kehidupannya, perempuan yang sudah turun kasta akan terdapat batasan-batasan dalam berhubungan dengan keluarganya. Dampak sosial yang diakibatkan adalah tata bahasa yang digunakan serta perlakuan yang berbeda bagi seseorang yang melakukan perkawinan beda kasta. Misalnya ketika perempuan yang sudah turun kasta pulang ke rumah asalnya harus menggunakan bahasa halus (Sor Singgih) dalam berbicara dengan orang tua, saudara, maupun kerabatnya.
Ditinjau dari perspektif budaya, seorang perempuan yang turun dari kastanya sudah tidak diupacarai di rumahnya dan sudah diserahkan pihak laki-laki sehingga hanya diupacarai di tempat laki-laki saja.
Sedangkan bagi perempuan Jabawangsa yang menikah dengan laki-laki Triwangsa, pada saat Metataban biasanya dibuatkan Banten yang berbeda yang diletakkan lebih rendah dari tempat suaminya.
Sang istri (perempuan) juga akan dilarang untuk sembahyang di pura keluarga dan dilarang untuk Nyumbah mayat jika keluarganya meninggal nanti. Sedangkan jika sang istri meninggal dunia, anak dan keluarga suaminya tidak akan diperbolehkan untuk memikul mayatnya dalam perjalanan menuju kuburan.
Bila perempuan yang melakukan perkawinan beda kasta ini bercerai, maka kedudukan perempuan akan tidak jelas baik di keluarga maupun di masyarakat. Perceraian yang terjadi akan menimbulkan dampak yang sangat besar bagi kedudukan perempuannya.
Dengan hilangnya gelar sebagai Triwangsa, maka perempuan tidak bisa balik ke keluarga asalnya serta tidak bisa tinggal di rumah mantan suaminya atau biasa disebut Ngutang raga.
Tradisi Keanekaragaman Masyarakat, Upacara Budaya Adat Batak Toba
Setelah dihapusnya peraturan Paswara, perkawinan beda kasta tidak dilarang untuk dilakukan. Adapun upacara Patiwangi juga tidak dilaksanakan lagi. Dengan demikian, maka perempuan yang akan melakukan perkawinan beda kasta tidak perlu kehilangan kastanya.
Ini adalah momen yang sangat berarti bagi perempuan triwangsa yang melakukan perkawinan beda kasta.
Jikalau terjadi perceraian, mereka masih bisa kembali ke rumah asalnya. Sebab, gelarnya tidak hilang dan masih diterima sebagai bagian dari keluarga.
Referensi:
Dewi, N. P., Ekasriadi, I. A., & Dwipayana, I. K. (2021). Polemik Perkawinan Nyerod (Turun Kasta) dalam Karya Sastra Berlatar Kultural Bali. Stilistika, 9(2), 254-271.
Sudiatmaka, Adnyani, Asrini (2020). Kedudukan Perempuan Pascaperceraian Dari Perkawinan Beda Kasta Di Provinsi Bali. Seminar Nasional Riset Inovatif. Hal 82-83.
Sukerti, N. N., & Ariani, I. G. (2018). Budaya Hukum Masyarakat Adat Bali Terhadap Eksistensi Perkawinan Beda Wangsa. Jurnal Magister Hukum Udayana, 7(4), 516-528.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News