Demi menjaga kepercayaan masyarakat, utamanya umat Muslim, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) bersama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyepakati solusi untuk produk-produk bersertifikat halal yang penamaannya dianggap bermasalah.
Beberapa produk yang mendapatkan sertifikat halal memiliki nama-nama yang merujuk pada penamaan bahan-bahan yang dianggap haram.
Sebelumnya, terdapat beberapa barang pangan dengan nama “tuyul”, “tuak”, “beer”, dan “wine” yang beredar di pasaran. Seluruh produk tersebut juga sudah mendapatkan sertifikat halal.
Akibatnya, terdapat kebingungan di masyarakat dengan produk-produk yang menggunakan penamaan nonhalal tersebut.
Oleh karena itu, BPJPH bersama MUI dan Komite Fatwa Produk Halal melakukan konsolidasi untuk mencari solusi atas bahan pangan yang memiliki penamaan berkonotasi haram di dalamnya. Bagaimana solusinya?
Dua kondisi penamaan produk
Sesuai dengan ketentuan MUI, penamaan produk yang memiliki simbol kekufuran, kemaksiatan, maupun berkonotasi negatif dapat menjadikan sebuah entitas produk menjadi tidak halal.
Mantap! Indonesia Kini Punya Lembaga Sertifikasi Halal Berbasis Komunitas Muslim di Jepang
Selain itu, produk yang menggunakan nama benda atau hewan yang diharamkan, produk dengan bentuk dan kemasan babi dan anjing, produk dengan rasa atau aroma dari benda dan hewan yang diharamkan, serta produk dengan kemasan yang berbentuk atau bergambar tidak etis juga dilarang.
Dalam Fatwa MUI Nomor 44 Tahun 2020 Tentang Penggunaan Nama, Bentuk, dan Kemasan Produk yang Tidak Dapat Disertifikasi Halal, terdapat dua kondisi terkait penamaan produk.
Pertama, produk yang menjadi ‘urf atau kebiasaan di tengah masyarakat dan tidak terasosiasi dengan suatu yang haram dianggap tetap halal.
Contoh dari produk yang menjadi ‘urf adalah bir pletok. Minuman ini dikategorikan halal, suci, dan tidak terasosiasi dengan pengertian bir yang mengandung alkohol.
Minuman khas Betawi ini terbuat dari rempah-rempah dan tidak mengandung alkohol. Bahkan, bir pletok juga memiliki khasiat yang baik bagi tubuh.
Hal yang sama juga berlaku pada kata “wine”. Tidak semua jenis kata tersebut dikategorikan menjadi nonhalal. MUI mengklaim, kata “red wine” misalnya, kata tersebut merujuk pada jenis warna yang secara empirik digunakan di tengah masyarakat.
Kedua, produk yang secara substansi memang tidak sejalan dengan fatwa, sesuai dengan kondisi-kondisi yang sudah disebutkan di atas, terutama dari segi nama, bahan, maupun kemasan.
Ketua Bidang Fatwa MUI, Asrorun Niam Soleh menjelaskan, pihaknya berkomitmen untuk melakukan perbaikan. Di sisi lain, ia juga meminta pelaku usaha untuk melakukan perbaikan dan perubahan sesuai dengan standar fatwa.
Dengan demikian, MUI mengimbau kepada seluruh produsen yang memiliki produk yang jelas bertentangan dengan fatwa, terutama dalam hal penamaan, harus diperbaiki atau diperbaharui namanya.
Permudah Perdagangan dan Jaminan Produk Halal, Indonesia Gandeng Singapura untuk Kerja Sama
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News