kopi arabika lain dulu lain sekarang - News | Good News From Indonesia 2024

Kopi Arabika, Lain Dulu, Lain Sekarang

Kopi Arabika, Lain Dulu, Lain Sekarang
images info

Sejak lama, minum kopi sudah lekat dengan keseharian masyarakat Indonesia. Hal ini tak lepas dari melimpahnya ketersediaan kopi, yang wilayah budidayanya tersebar dari Aceh sampai Papua.

Marsilani & Sukartiko (2020) bahkan menyebut, Indonesia merupakan salah satu negara produsen kopi terbesar di dunia, selain Vietnam, Brasil, dan Kolombia.

Dari beragam jenis kopi yang tumbuh di Indonesia, kopi robusta memang menjadi yang paling banyak.

Data dari Kementerian Pertanian (2019) mencatat, robusta menjadi varietas kopi dengan persentase terbesar, yakni 68,95%, unggul jauh dari arabika dengan 27.98%. Harganya pun relatif paling terjangkau.

Karena itulah, kopi robusta banyak digunakan sebagai bahan baku kopi kekinian atau kemasan di Indonesia. Dalam keseharian, kopi robusta juga menjadi jenis kopi yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia. 

Meski begitu, ternyata pernah ada jenis kopi yang lebih dulu eksis sebagai varietas terbesar, bahkan menjadi "pemain tunggal" di Nusantara. Rekam jejak sejarahnya secara global juga terbilang begitu panjang, karena sudah mulai terdokumentasi sejak lebih dari 1000 tahun silam. Kopi itu adalah kopi arabika. 

Ervine (1969) mencatat, kopi arabika pertama kali tumbuh di bagian barat daya Ethiopia (Afrika) lalu berkembang di Yaman, antara abad ke 6 sampai 13 Masehi. Dilansir dari Kompas.com, pada tahun 1600-an, kopi arabika sudah meninggalkan Yaman dan tumbuh subur di India. 

Wahyudi dan Jati (2012) menyebut kopi arabika di India mulai dibudidayakan sejak tahun 1600 di Chikmaglur, area dataran tinggi di Mysore, India Selatan, dan berkembang sampai wilayah Kananur, Malabar (sisi selatan pantai barat India, saat ini mencakup wilayah Negara Bagian Kerala, Tamil Nadu dan Karnataka).

Kopi arabika dari wilayah inilah, yang pertama kali didatangkan Kompeni Belanda (VOC) ke Nusantara. Pada tahun 1696, lewat bantuan Andrian van Ommen (Gubernur Jenderal Belanda di Malabar) atas prakarsa Nicolaas Witsen, Gubernur Jenderal VOC.

Berawal dari ambisi bisnis VOC untuk mengembangkan produksi kopi di Nusantara, arabika menjadi varietas kopi yang datang pertama kali, dan menjadi satu-satunya yang tumbuh di Nusantara.

Awalnya, Pulau Jawa, yang dinilai subur, dipilih sebagai lokasi awal budidaya kopi di Nusantara. Kelak, dari sinilah kopi arabika lalu dibudidayakan ke berbagai wilayah di Indonesia, dan menjadi sangat beragam seperti sekarang.

Pada prosesnya, Panggabean (2011) menyebut, situasi ini bertahan selama hampir 2 abad sejak tahun 1696. Namun, wabah penyakit karat daun (Hemileia vastatrix) pada tahun 1876, membuat kopi arabika nyaris musnah.

Sebagai gantinya, pemerintah kolonial Belanda mendatangkan kopi liberica dari Liberia (Afrika), yang juga nyaris ludes dihantam wabah karat daun pada tahun 1890.

Amstirdam, Titik Awal Kopi Robusta Nusantara

Tak patah arang, pemerintah kolonial Belanda lalu kembali beralih ke varietas kopi lain, dengan mendatangkan kopi robusta dari Kongo (Afrika). 

Pada akhirnya, setelah diteliti selama beberapa tahun, dan dinyatakan bebas penyakit karat daun, kopi robusta ditetapkan sebagai kopi komoditas utama pada tahun 1907. Dari sinilah, kopi robusta berkembang pesat dan menjadi varietas kopi terbesar di Indonesia hingga sekarang.

Van Noordwijk et.al (2021) mencatat, fenomena penyakit karat daun juga pernah terjadi di Brasil dan Amerika Selatan pada tahun 1970, tapi berkat teknologi pertanian yang sudah lebih maju dibanding seabad sebelumnya, dampaknya tak sampai sedrastis di Nusantara. 

Faktor inilah yang membuat posisi kopi arabika sebagai jenis kopi yang diproduksi terbanyak secara global, dengan persentase hampir 70%, tetap terjaga. 

Di Indonesia, tepatnya sejak tahun 1876, kopi arabika menjadi satu varietas kopi yang cukup rentan terhadap penyakit atau hama, dan hanya bisa tumbuh di dataran tinggi. Kerentanan ini belakangan semakin lengkap, karena adanya fenomena alam El Nino dan La Nina, yang menghasilkan suhu ekstrem.

Akibat kompleksitas lingkungan dan kondisi rentan inilah, harga kopi arabika cenderung lebih mahal dari robusta. Meski begitu, kopi arabika tetap menghadirkan karakter khas, yang kompleks, sepadan dengan harganya.

Menelisik Jejak Kopi Robusta di Indonesia 

Mempunyai rasa khas pahit cenderung masam, kopi arabika di Indonesia berkembang menjadi specialty coffee, dengan setiap daerah produsen kopi arabika punya karakter rasa khas. 

Kopi dari Pulau Sumatra misalnya, identik perpaduan dengan rasa masam, pahit dan aroma rempah. Ada juga kopi arabika Kintamani dari Bali, dan Flores (Nusa Tenggara Timur) yang cenderung fruity. Di pulau Jawa, ada kopi Priangan yang punya aroma harum.

Dengan demikian, meski bukan lagi komoditas kopi terbanyak seperti dulu, kopi arabika di Indonesia tetap menjadi sesuatu yang unik. Berbagai dinamika perubahan (dari era kolonial sampai kekinian) tidak membuatnya lenyap, tetapi dapat mengubahnya menjadi sesuatu yang istimewa.

 

Referensi:

  • Ervine, F.R. (1969). West African Agriculture: West African Crops, 3rd Edition, Volume 2.
  • van Noordwijk, M., Martini, E., Gusli, S., Roshetko, J. M., Leimona, B., & Nguyen, M. P. (2021). Cocoa and coffee in Asia: contrasts and similarities in production and value addition. Minang PA, Duguma LA, van Noordwijk M, eds.
  • Ditjenbun, Statistik Perkebunan Indonesia 2018-2020: Kopi, 77 (Kementan, Jakarta, 2019)
  • Panggabean I E 2011 Buku Pintar Kopi (Jakarta: Agromedia Pustaka)
  • www.kompas.com/stori/read/2023/05/29/060000979/sejarah-kopi-arabika-dan-peran-penting-indonesia
  • Marsilani, O. N., & Sukartiko, A. C. (2020). Chemical profiling of western Indonesian single origin robusta coffee. In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science (Vol. 425, No. 1, p.
  • Wahyudi, T., & Jati, M. (2012). Challenges of sustainable coffee certification in Indonesia. International Coffee Council 109th Session,(September), 1-14.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

YR
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.