Magelang selain dikenal dengan Candi Borobudur yang amat megah, juga dikenal sebagai kawasan penghasil pemahat batu yang ulung.
Perjalanan Kabupaten Magelang menjadi daerah seniman tidak tiba-tiba ada. Melainkan ada jerih payah segelintir orang untuk menjadikan Kabupaten Magelang, tepatnya di Dusun Prumpung, Tamanagung, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, menjadi besar. Salah satunya adalah Mbah Kasrin.
Dilansir dari jurnal Historiografi, keluarga Mbah Kasrin sangat berjasa dalam melanggengkan Kabupaten Magelang menjadi daerah pemahat batu. Musto Pawiro, kakek dari Mbah Kasrin disebut menjadi pemegang kunci dalam pelestarian seni pahatan batu.
Musto Pawiro memiliki tiga anak yang juga bekerja sebagai seniman batu, yaitu Wiro Dikromo, Pawiro Jumeno, dan Salim Djayapawira. Kedua dari tiga anak Musto Pawiro, yaitu Wiro Dikromo dan Salim Djayapawira bahkan pernah tergabung dalam tim pemugaran pertama Candi Borobudur di bawah pengarahan Van Erp.
Dusun Prumpung, Tempat Para Pematung Ulung di Balik Kemegahan Candi Borobudur
Masa Kasrin dan Sepupunya Membesarkan Nama
Kasrin Endra Prayana merupakan anak Wiro Dikromo.
Namanya semakin besar saat Mbah Kasrin bersama Dulkamid Djayaprana dan Ali Rahmad – anak pamannya, Salim Djayapawira – pada tahun 1959 berhasil membuat duplikat arca kepala Buddha, seperti yang ada di Candi Borobudur.
Karya pertama itu berhasil memikat perhatian seorang pedagang barang antik asal Sumatra yang memiliki toko di Jalan Malioboro, Yogyakarta.
Sejak saat itu, mereka mulai serius menggarap bentuk-bentuk pahatan “baru” dengan mereproduksi bentuk-bentuk “lama”.
Fatonah, Maestro dari Sukapura yang Belajar Batik Secara Diam-Diam
“Dulu saya pergi ke Borobudur masih naik pit onthel (baca: sepeda). Saya naik terus saya kilani (mengukur menggunakan telapak tangan). Kilani itu kan mencari ukuran. Terus saya pulang ke kali (baca: sungai) mencari batu yang sesuai. Saya ke Borobudur sampai lima kali hanya untuk membuat kepala Buddha,” jelas Kasrin, dalam video yang diproduksi Frederica Nancy Sjamsuardi dalam Lomba Rekam Maestro yang digelar GNFI X Kemdikbud.
Keberhasilan tersebut tidak terlepas dari keberanian Kasrin dan sepupunya mendobrak kebiasaan masyarakat.
Saat itu, kerajinan batu yang dibuat warga Dusun Prumpung, Tamanagung, mayoritas berupa batu nisan, ubin, hingga batu umpak tempat meletakkan tiang penyangga rumah. Produk-produk dari batu tersebut dibuat lebih mengedepankan fungsi daripada cita rasa seni.
Mak Normah, Maestro Kepulauan Riau yang Gigih Mewariskan Kesenian Mak Yong
Sementara itu, Kasrin memiliki jiwa seni yang sangat tinggi.
“Seni itu kan sentuhan rohani,” tuturnya.
Kasrin mengaku dirinya sangat beruntung karena didukung dan dikelilingi oleh sumber bahan serta sumber inspirasi yang sangat luar biasa.
“Sumber material itu Gunung Merapi. Sumber inspirasi, Borobudur. Ini menjadi ladang saya,” tegasnya.
Hingga saat ini, di usianya yang menyentuh 83 tahun, Kasrin masih berkarya.
“Saya belum berhenti karena saya tidak suka menganggur,” ujarnya.
Berdiri dengan Gagah, Patung Gajah Mada di Mojokerto Pecahkan Rekor MURI Indonesia
Kasrin sebagai “Ibu” dari Seniman Batu di Magelang
Nama Kasrin semakin besar saat ia telah mendirikan sanggar di tahun 1968. Dari sanggar tersebut, Kasrin telah banyak melahirkan pemahat ulung.
Sebagian dari anak didik Kasrin ialah anak-anak putus sekolah. Hingga kini, banyak dari mereka yang telah mendirikan sanggar sendiri. Karya mereka pun dikirim ke sejumlah daerah di Indonesia hingga mancanegara.
Kasrin sendiri telah melanglang buana hingga ke Eropa untuk membuat miniatur Asia.
“Saya naik kapal terbang (baca: pesawat), saya baru ingat istilah mustikanya batu. Yang namanya mustika ya itu dari batu yang saya buat, yang saya bentuk,” jelas Kasrin.
Kasrin bertekad untuk selalu setia berkarya menjadi seniman pemahat batu.
“Selagi mampu, saya masih akan terus berkarya,” tandasnya, dikutip dari Kompas.id.
Candi Asu Sengi, Tempat Wisata di Magelang dengan Kisah Patung Sapi Serupa Anjing
Referensi:
Mauludhiah, Umirin & Dhanang Respati Puguh. 2021. "Biografi Seniman Pahat Batu Dulkamid Djayaprana 1960-2013". Historiografi. Vol. 2, No. 2, hlm. 154-162.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News