Halo kawan GNFI, bagaimana cuaca akhir-akhir ini? sangat panas bukan? Namun, apakah kalian tahu bahwa ada Wayang Kulit yang digunakan untuk mendatangkan hujan pada saat terjadi kekeringan di Lamongan, Jawa Timur.
Lamongan dikenal sebagai wilayah yang memiliki keanekaragaman budaya yang begitu unik. Mulai dari Nyadran, Upacara Tingkeban, Tradisi Petik Laut, hingga Pagelaran Wayang Kulit. Wayang Kulit merupakan salah satu kebudayaan asli dari masyarakat Jawa yang berbentuk seni pertunjukkan dan menampilkan boneka kulit yang ditancapkan melalui batang pisang dalam peragaannya. Pagelaran Wayang Kulit ini kemudian diadopsi oleh Masyarakat Lamongan dengan kemasan yang begitu unik.
Mengenal Wayang Kulit dari Masyarakat Lamongan
Masyarakat Lamongan sudah mengenal pagelaran Wayang sejak masa persebaran agama Islam oleh Sunan Drajat. Namun, dengan seiring berjalannya waktu, pagelaran Wayang Kulit Lamongan mengalami perubahan fungsi akibat pengaruh dari kondisi alam dan kebiasaan masyarakat setempat. Di Lamongan, pagelaran Wayang Kulit digunakan sebagai ritual untuk menurunkan hujan pada saat terjadi bencana alam kekeringan. Memang begitu unik, selain terkenal dengan wilayah akan keragaman budaya, Lamongan juga seringkali dikenal dengan wilayah yang rawan akan kekeringan, karena iklim yang tidak menentu.
Pada umumnya, pagelaran Wayang Kulit seringkali dilakukan untuk merayakan bentuk rasa syukur terhadap keberkahan yang telah menimpa mereka. Selain itu, pagelaran Wayang Kulit juga dirayakan untuk mengingat peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada kehidupan masyarakat. Namun, berbeda dengan budaya pagelaran Wayang Kulit yang diadopsi oleh Masyarakat Lamongan. Masyarakat Lamongan menggunakan pagelaran Wayang Kulit sebagai bentuk ritual untuk mendatangkan hujan pada saat terjadi musim paceklik, yakni pada saat terjadi kekeringan. Budaya ini jarang sekali diketahui oleh masyarakat setempat, karena banyak tergerus oleh modernisasi dan globalisasi.
Pagelaran Wayang Kulit Sebagai Ritual Mendatangkan Hujan
Melalui surat kabar kolonial Belanda, yakni yang berjudul Het Nieuws van Den Dag voor Nederlandsch-Indië yang terekam pada 6 Mei 1902. Surat kabar tersebut menjelaskan bahwa adat istiadat mengenai ritual pemanggilan hujan melalui pagelaran Wayang Kulit Lamongan dimulai dengan serangkaian urutan kegiatan. Hal pertama yang dilakukan adalah mengundang masyarakat sekitar untuk datang ke Panembahan untuk melakukan selamatan oleh Bupati Lamongan. Selanjutnya masyarakat melakukan doa bersama untuk meminta datangnya hujan. Rangkaian acara ini diakhiri dengan melakukan pagelaran Wayang Kulit sebagai salah satu bentuk ritual untuk mendatangkan hujan. Rangkaian acara tersebut dilakukan selama seharian.
Pagelaran Wayang Kulit sebagai ritual untuk mendatang hujan ini dilatarbelakangi oleh kebiasaan masyarakat Lamongan yang memanfaatkan Wayang Kulit sebagai bentuk untuk menyalurkan realitas keadaan sosial dan alamnya. Gaya wayang tersebut ditampilkan sebagai bentuk kebebasan masyarakat dalam berekspresi. Selain itu, alasan Wayang Kulit digunakan sebagai media untuk menurunkan hujan adalah karena pagelaran Wayang Kulit dianggap sebagai media penghibur di kala kekeringan melanda.
Sebenarnya, bukti dari adanya pagelaran wayang tersebut dapat dipahami sebagai bentuk rekaman komunikasi yang yang menyimpan kondisi realitas sosial dan alam dari masyarakatnya itu sendiri. Pada hakikatnya, mereka menggabungkan antara ajaran-ajaran kehidupan manusia dengan kondisi alam yang sedang terjadi. Masyarakat Lamongan mencoba memahami relevansi antara bencana alam dengan nilai-nilai filosofis terhadap kesenian, sehingga terciptalah Wayang Kulit sebagai media untuk menurunkan hujan pada saat kekeringan.
Dalam hal ini, makna realitas sosial dan budaya yang dapat diambil adalah orang-orang Lamongan tetap menggunakan cara tradisional di tengah-tengah maraknya teknologi yang sedang berkembang dari masa kolonial hingga sekarang. Tradisi ini kemudian dapat mengindikasikan bahwa tradisi leluhur masih terus dilestarikan, meskipun jiwa perkembangan zaman telah memengaruhi berbagai macam aspek kehidupan terhadap masyarakat Lamongan.
Peran lingkungan begitu aktif dalam membentuk kebudayaan di Lamongan. Keberadaan Sungai Bengawan Solo yang awalnya mengantarkan masyarakat pedalaman untuk datang ke Lamongan, membawa akulturasi budaya antara pendatang dengan masyarakat lokal Lamongan. Wayang Kulit kemudian diadopsi oleh Masyarakat Lamongan untuk mendatangkan hujan akibat anomali iklim kekeringan yang seringkali merugikan Masyarakat Lamongan.
Keberadaan Wayang Kulit kini
Melalui hasil wawancara bersama Sanjaya sebagai penduduk Lamongan, perayaan pagelaran Wayang Kulit untuk mendatangkan hujan tersebut hingga sekarang masih ditemukan di Lamongan, meskipun tidak di semua daerah di Lamongan. Namun, budaya tersebut sulit untuk ditemukan. Mengingat, pergeseran budaya lokal perlahan sudah banyak tergerus oleh pengaruh budaya global yang merebak di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk di Lamongan.
Dengan adanya hal tersebut, maka dapat ditegaskan bahwa masyarakat Lamongan memang memiliki peranan sebagai penggerak dan mengembangkan budaya dengan melihat kondisi realitas sosial dan alam yang sedang terjadi, sehingga memunculkan keunikan terhadap Wayang Kulit. Peristiwa tersebut menarik untuk dipelajari lebih lanjut, karena hal tersebut jarang ditemui dalam kebudayaan masyarakat Nusantara pada umumnya.
Dengan demikian, pagelaran Wayang Kulit sebagai ritual untuk memanggil hujan termasuk dalam salah satu bentuk kebudayaan asli dari Masyarakat Lamongan yang dipengaruhi oleh kondisi alam dan adat istiadat setempat. Pentingnya mengetahui akulturasi ini dapat memahami akan betapa luar biasanya peranan alam memengaruhi adat istiadat masyarakat, sehingga menciptakan budaya baru yang dapat dijadikan sebagai bentuk kekayaan budaya lokal.
Daftar Referensi
Herlyana, Elly. (2013). Pagelaran Wayang Purwa Sebagai Media Penanaman Nilai Religius Islam Pada Masyarakat Jawa. Jurnal Thaqafiyyat, 14, (1). 127-144.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 6 May, 1902.
Jatinurcahyo, R & Yulianto. (2021). Menulusuri Nilai Budaya yang Terkandung Dalam Pertunjukkan Tradisional Wayang. Jurnal Pariwisita dan Budaya, 12, (2). 159-165.
Muzakki, W, A. (2017). Humanisme Religious Sunan Drajat Sebagai Nilai Sejarah dan Kearifan Lokal. Prosiding Seminar Pendidikan Nasional , Pascasarjana Teknologi Pendidikan FKIP, Universitas Sebelas Maret.
Sarkawi, et, al. (2017). Sejarah Lamongan dari Masa ke Masa. Surabaya: Airlangga University Press.
Sarwanto. (2007). Sekilas Tentang Perkembangan Pertunjukkan Wayang Kulit di Jawa dari Masa ke Masa, Sebuah Tinjauan Historis. Jurnal Lakon, 6, (1). 1-15.
Susilo, Yohan. (2017). Struktur Pertunjukkan Wayang Kulit Gaya Jawa Timuran Gagrag Lamongan Lakon Sang Hyang Dewandaru Dalang Ki Kasiran. Padma Jurnal Seni dan Budaya. 11, (1) 113-122.
Wawancara, Sanjaya Ferdianto, 31 tahun, Lamongan, 2023.
digitalcollections.universiteitleiden.nl
#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbungUntukMelambung
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News