tektekan pertunjukan khas dari desa kerambitan kabupaten tabanan bali - News | Good News From Indonesia 2024

Tektekan, Pertunjukan Khas dari Desa Kerambitan, Tabanan, Bali

Tektekan, Pertunjukan Khas dari Desa Kerambitan, Tabanan, Bali
images info

Tektekan merupakan sebuah pertunjukan khas dari Kerambitan, Kabupaten Tabanan, Bali. Nama Tektekan berasal dari segala macam bunyi-bunyian dari benda yang dipukul, seperti bambu, seng, dan kayu.

Tektekan memiliki asal-usul yang kaya akan makna dan simbolisme. Seni ini tidak hanya mencerminkan kekayaan budaya Bali, tetapi juga memiliki hubungan erat dengan nilai-nilai religius dan filosofis yang mendalam.

Asal-usul Tektekan berhubungan dengan budaya di Bali terkait dengan bunyi-bunyian untuk meminimalisir sifat negatif dari makhluk-makhluk astral. Kebiasaan ini biasanya dilakukan menjelang perayaan Hari Raya Nyepi.

Budaya terkait bunyi-bunyian yang dihasilkan dari memukul benda-benda ini dinamakan nektek. Di Kerambitan, budaya ini dikemas menjadi suatu tabuh kreasi. Instrumen yang digunakan berasal dari bambu, perunggu (dalam bentuk gong), kulit sapi (dalam bentuk kendang), dan seruling.

Mengenal Tradisi Keakraban dalam Kuliner Kue Tamo Khas Sangir

Tari topeng dan tari lelegongan diiringi dengan musik yang berasal dari gong gede (gong besar), sebuah instrumen besar dan sakral yang memerlukan banyak personil serta mahal.

Pada tahun 1969, beberapa tokoh seni di Kerambitan mengubah pakem penggunaan gong menjadi sesuatu yang lebih sederhana, tetapi tetapi mengandung makna religius dan sakral. Oleh karena itu, pada tahun 1969, Tektekan mulai muncul sebagai seni tabuh di Puri Anyar Kerambitan. 

Selain karena makna bunyi tektektek sebagai pengusir makhluk yang bersifat negatif, penggunaan bunyi tektektek ini juga memiliki makna lain. Makna lainnya adalah Indonesia merupakan negara agraris, sehingga banyak masyarakatnya yang bermata pencaharian sebagai petani. Bunyi tektektek ini juga digunakan untuk mengusir hama burung yang ada di sawah. 

Pertunjukan Tektekan juga mengandung cerita yang diadopsi dari Jawa Timur, khususnya legenda Calonarang. Cerita ini mengisahkan tentang Walu Nateng Dirah yang merupakan seorang janda sakti yang memiliki putri semata wayang bernama Ratna Manggali.

Putri semata wayang ini tidak lekas mendapatkan jodoh karena tak banyak pemuda yang berani mendekati Ratna Manggali. Cerita ini melibatkan konflik mistis yang akhirnya diselesaikan melalui perkawinan yang membawa perdamaian.

Balai Adat Tidung dan Budaya, Penjaga Warisan dan Tradisi di Tarakan
Pertunjukan Tektekan (Dokumentasi Puri Agung Kerambitan))
info gambar

Dalam Tektekan di Kerambitan, cerita Calonarang disimbolkan melalui tarian Barong dan Rangda, yang merepresentasikan pertarungan antara kebaikan dan keburukan.

Dalam filosofi Bali, kebaikan dan keburukan tidak dianggap sebagai dua hal yang saling bertentangan secara mutlak. Namun, sebagai dua sisi yang harus berdampingan secara harmonis, seperti siang dan malam. Filosofi ini dikenal dengan nama "Rwa Bhineda", yang menekankan pentingnya keseimbangan dalam kehidupan.

Sebelum menjadi bentuk hiburan, Tektekan di Bali berfungsi sebagai bagian dari ritual untuk mengurangi sifat negatif dari makhluk astral, terutama saat matahari menuju khatulistiwa pada bulan Maret. Hal ini dikenal sebagai tradisi Ngerupuk yang jatuh pada tilem sasih kesanga (bulan mati yang ke-9).

Tradisi nektek dilakukan selama sebulan penuh sebelum tradisi Ngerupuk saat matahari tenggelam, dengan Tektekan dimainkan di desa untuk meminimalisir sifat negatif dari makhluk astral.

Perayaan Ngerupuk telah berkembang menjadi tradisi Ogoh-ogoh, di mana patung-patung besar yang menggambarkan makhluk-makhluk jahat diarak keliling. Makhluk-makhluk tersebut diperlakukan dengan baik dan diberi makanan favorit mereka sebagai bentuk ajakan untuk berdamai, selaras dengan prinsip hidup bersama secara harmonis.

Ritual ini disebut somya, bertujuan untuk menyenangkan bhuta kala agar mereka tenang dan tidak lagi mengganggu masyarakat.

Dalam budaya Bali, segala sesuatu, baik itu tumbuhan, hewan, maupun manusia, dianggap memiliki kekuatan dan perlu hidup bersama dalam harmoni. Prinsip ini disebut "Tri Hita Karana".

Tradisi Pawai Obor Pembuka Muharram di Desa Kotawaringin

Ini mencakup Parhyangan (hubungan antara manusia dan Sang Hyang atau Tuhan), Pawongan (hubungan antarmanusia), dan Palemahan (hubungan manusia dengan lingkungan).

Prinsip ini menggambarkan filosofi Bali bahwa semua makhluk adalah setara dan harus hidup berdampingan dengan damai.

Cerita-cerita di Bali, termasuk tektekan, sering kali mengandung unsur suka, duka, lara, dan pati. Unsur ini mencerminkan siklus kehidupan yang penuh dengan sukacita dan penderitaan.

Suka merupakan perasaan bahagia, duka merupakan perasaan sedih, lara merupakan kesengsaraan, dan pati merupakan kematian. Filosofi ini menekankan pentingnya keseimbangan dan harmoni dalam kehidupan, yang menjadi fondasi utama dari seni dan budaya Bali.

Tektekan bukan hanya sekedar bentuk seni tabuh, tetapi juga sebuah simbol dari kekayaan budaya dan nilai-nilai religius serta filosofis Bali. Melalui tektekan, kita bisa memahami lebih dalam tentang cara hidup masyarakat Bali yang mengutamakan keseimbangan, harmoni, dan keberagaman dalam setiap aspek kehidupan.

 

 

 

Sumber informasi dari artikel ini adalah wawancara dengan Ratu Ade Saren Kangin, Anak Agung Ngurah Adnya Praba pada Kamis 25 Juli 2024.

Penulis: Zahra Aisya Rosa Febrianingtyas

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

SJ
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.