Siapa saja nih, Kawan di sini yang pernah mencoba kue rangi ini? Atau bisa jadi Kawan malah belum pernah mencoba jajanan tradisional tersebut?
Kue rangi merupakan salah satu jajanan khas tradisional Betawi yang dulunya banyak di jual di daerah Jakarta dan sekitarnya. Namun seperti halnya jajanan tradisional lain yang ada di Indonesia, kue rangi ini juga sudah mulai jarang dijumpai di tengah masyarakat.
Jajanan yang sekilas mirip dengan kue pancong ini dulunya merupakan salah satu makanan yang banyak dibeli oleh masyarakat Jakarta dulunya. Lantas bagaimana penjelasan lebih lanjut tentang jajanan tradisional khas Betawi yang satu ini?
Kerak Telor, Makanan Khas Betawi yang Sarat akan Nilai Budaya
Mengenal Kue Rangi
Seperti yang sudah disebut pada bagian sebelumnya, kue rangi merupakan jajanan tradisional khas Betawi yang bisa Kawan jumpai di daerah Jakarta dan sekitarnya. Jajanan yang satu ini juga memiliki beberapa nama sebutan lain di tengah masyarakat, seperti sagu rangi dan ranggi.
Penamaan kue rangi ini sendiri berdasarkan pada singkatan dari nama tersebut, yakni 'digarang wangi.' Singkatan ini merujuk pada proses memasak ketika membuat jajanan tradisional yang satu ini.
Kue rangi dibuat tanpa menggunakan minyak dalam proses memasaknya. Akan tetapi, pembuatan kue tradisional ini menggunakan arang dari bara api kayu dalam proses memasak.
Penggunaan parutan kelapa yang menjadi salah satu bahan dari kue rangi merupakan alasan mengapa proses pemasakan jajanan tradisional tersebut tidak menggunakan arang. Sebab parutan kelapa tersebut nantinya akan mengeluarkan minyak sendiri ketika proses pengarangan.
Pembuatan yang menggunakan arang inilah yang nantinya membuat bau dari kue rangi menjadi wangi dan unik khas pengarangan.
Sekilas kue rangi ini memiliki kemiripan dengan jajanan tradisional lainnya, yakni kue pancong. Akan tetapi, terdapat sedikit perbedaan yang bisa Kawan jumpai dari kedua makanan ini.
Dikutip dari Ensiklopedi Makanan Khas Banten & Betawi, perbedaan antara kue pancong dan kue rangi ini terletak pada adonan yang digunakan. Kue rangi menggunakan adonan dasar yang berasal dari tepung sagu dan parutan kelapa.
Di sisi lain, kue pancong biasanya dibuat dengan bahan dasar tepung beras yang dicampur dengan gula jawa dan bahan-bahan lainnya. Selain itu, ukuran cetakan dari kedua jajanan ini juga memiliki ukuran yang berbeda.
Ukuran cetakan kue rangi biasanya lebih kecil jika dibandingkan dengan kue pancong. Bahkan terdapat juga beberapa pedagang yang membuat kue rangi tanpa menggunakan cetakan sama sekali.
Kue rangi ini nantinya bisa dimakan bersama dengan kuah kinca. Para pembeli juga bisa memvariasikan rasa tambahan dalam kuah kinca tersebut, seperti nangka, pandan, durian, dan lainnya.
Dalam kesehariannya, kue rangi ini dulunya biasa digunakan sebagai kudapan sampingan ketika meminum teh atau kopi. Biasanya jajanan ini dikonsumsi masyarakat pada waktu pagi menjelang siang hari.
Namun tidak jarang juga kue rangi ini dikonsumsi pada sore menjelang malam ketika masyarakat sudah selesai menjalankan rutinitas rutin di hari tersebut.
Kue Pepe, Kue Berlapis Warna-Warni dari Betawi
Mulai Jarang Dijumpai
Dulunya para pedagang kue rangi biasa menjajakan dagangannya dengan menggunakan gerobak. Para pedagang ini biasanya akan berkeliling dari satu kampung ke daerah lainnya untuk menjajakan masakannya.
Kue rangi yang terbuat dari bahan baku yang mudah basi membuat jajanan ini mesti habis dalam satu hari saja. Oleh sebab itu, bisa dipastikan ketika Kawan berniat membeli kue rangi ini, jajanan tersebut baru dan fresh dibuat pada hari itu.
Namun seiring berjalannya waktu, pedagang kue rangi ini sudah mulai jarang dijumpai di beberapa sudut daerah yang ada di Jakarta dan sekitarnya. Biasanya Kawan bisa menemukan jajanan tradisional ini jika ada hajatan atau gelaran acara tertentu saja.
Semoga keberadaan kue rangi tidak hilang begitu saja ditelan zaman, sehingga generasi di masa yang akan datang tetap bisa menikmati jajanan tradisional khas Betawi tersebut.
Sumber:
- Amar, A. "Ensiklopedi Makanan Khas Banten dan Betawi. Institut Teknologi Indonesia." vol 4: 71-80.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News