kemeriahan tahun baru islam di lingkungan suko gombengsari - News | Good News From Indonesia 2024

Kemeriahan Tahun Baru Islam di Lingkungan Suko, Gombengsari

Kemeriahan Tahun Baru Islam di Lingkungan Suko, Gombengsari
images info

1 Muharram tak pernah lepas dari meriahnya perayaan dan kegembiraan. Mengingat tanggal tersebut diperingati sebagai Tahun Baru Islam. 1 Muharram atau sering kali disebut 1 Suro merupakan salah satu event besar bagi umat muslim.

Hal ini dikarenakan pada tanggal tersebut terdapat banyak peristiwa penting bagi umat muslim seluruh dunia seperti hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah.

Maka, tidak heran umat muslim diseluruh dunia memanfaatkan hari ini untuk berbuat baik dan meningkatkan ibadahnya kepada Allah SWT.

Setiap daerah di Indonesia memiliki caranya sendiri dalam merayakan peristiwa 1 Muharram. Salah satunya adalah di kelurahan Gombengsari, Kecamatan Kalipuro, Kabupaten Banyuwangi, yang memiliki kebiasaan atau adat istiadat perayaan 1 Muharram. Dimulai dari satu hari sebelum hingga satu hari setelahnya. Setiap kegiatan ini diikuti masyarakat dengan penuh semangat, meriah, dan melibatkan semua lapisan masyarakat mulai dari anak kecil hingga dewasa.

Tradisi perayaan tahun baru Islam di Lingkungan Suko Gombengsari diawali dengan kegiatan oncor-oncoran pada malam menjelang 1 Muharram. Kegiatan oncor-oncoran ini adalah kegiatan arak-arakan atau pawai menggunakan obor yang menyala dengan berjalan berkeliling lingkungan Suko sembari melantunkan sholawat sepanjang jalan.

Kolaborasi Mahasiswa KKN-PPM UGM dalam Perayaan Malam Satu Suro di Desa Jagara, Kuningan

Sebelum berkeliling kampung, acara diawali dengan pembacaan Surat Yasin dan tahlil. Setelah berkeliling, seluruh masyarakat berkumpul kembali di Masjid untuk makan ancakan bersama-sama di sepanjang jalan depan masjid.

Kemeriahan perayaan 1 Muharram berlanjut hingga pagi harinya yang diisi dengan kegiatan bersih desa yang diselenggarakan di sepanjang jalan menuju kantor kelurahan Gombengsari. Kegiatan bersih desa ini dinamakan Sempatik (Seser Sampah Plastik).

Tradisi Malam Satu Suro sebagai Wujud Pensucian Diri Masyarakat Suku Jawa

Sempatik diikuti oleh seluruh warga kelurahan Gombengsari dan dimeriahkan oleh mahasiswa-mahasiswi dari 6 universitas yang melaksanakan kegiatan KKN di Kelurahan Gombengsari.

Beberapa universitas ini adalah Universitas Gadjah Mada, Universitas Brawijaya, Universitas PGRI Banyuwangi, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi, dan Universitas Negeri Jember.

Setiap universitas saling bekerja sama untuk mewujudkan satu tujuan, yakni Gombengsari Bersih. Keakraban ini diabadikan dengan foto bersama di akhir kegiatan dengan melibatkan lurah Gombengsari dan ibu-ibu Posyandu.

Perayaan 1 Muharram ditutup dengan pagelaran seni jaranan pada siang hingga sore hari. Jaranan ini diselenggarakan di Lingkungan Suko. Seni Jaranan yang ditampilkan di Kelurahan Suko dilakukan oleh kelompok Campursari Sekar Melati. Seni jaranan yang ditampilkan mencakup berbagai tarian mulai dari anak kecil hingga dewasa.

Atraksi Jaranan diperankan menggunakan replika kuda kepang. Puncak dari penampilan Jaranan adalah penari mengalami kesurupan dan akan mengejar orang yang bersiul.

Penari yang kesurupan akan mempertunjukkan aksi memakan kaca hingga bermain dengan api. Kegiatan inilah yang mendapat sorak sorai paling meriah dari penonton.

Kemeriahan perayaan 1 Muharram dapat terwujud akibat kerjasama berbagai pihak untuk mewujudkan acara-acara yang telah dipaparkan di atas. Namun, acara 1 Muharram di Kelurahan Gombengsari kali ini terasa spesial karena adanya keterlibatan banyak universitas atau perguruan tinggi sehingga terdapat proses pertukaran kultur dari masyarakat ke civitas akademika.

Sejarah, Sinkretisme, dan Mitos Malam Satu Suro

Proses pertukaran budaya secara langsung dari masyarakat kepada mahasiswa yang melaksanakan kegiatan KKN menjadi salah satu kegiatan pembelajaran berharga bagi mahasiswa karena dapat secara langsung merasakan kultur masyarakat Kelurahan Gombengsari yang mungkin berbeda dengan daerah tempat mereka berasal.

Hal ini membuat kalangan akademisi lebih aware dan memahami kondisi sosial masyarakat di lingkungan sekitar. Akademisi tidak hanya belajar melalui bangku perkuliahan. Namun, juga diharuskan belajar bermasyarakat untuk dapat menerapkan ilmu yang diperoleh sehingga bermanfaat bagi kemaslahatan orang banyak.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

KU
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.