#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung
Tahun baru Hijriah merupakan sistem permulaan dalam kalender Hijriah yang berlandaskan pada sistem Kalender Lunar, yaitu pembagian tahun menjadi beberapa fragmen bulan berdasarkan orbit Bulan dalam mengelilingi Bumi.
Peringatan tahun baru ini pertama kali diinisiasikan pada masa pemerintahan Umar bin Khattab (634-644 M) dalam upayanya memperingati peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad Saw. dari Makkah ke Madinah yang dilakukan pada tahun 622 M.
Kalender Hijriah membagi tahunnya dalam 12 bulan, yang terdiri dari Muharam, Safar, Rabiulawal, Rabiulakhir, Jumadilawal, Jumadilakhir, Rajab, Syakban, Ramadan, Syawal, Zulkaidah, dan Zulhijah. Periodisasi bulan pada Kalender Hijriah ini mengikut siklus Bulan baru, di mana kira-kira satu fragmen bulan hanya mencukupi 29,5 hari.
Tak pelak lagi kalender Hijriah kerap berbeda dengan periodik Masehi ala Gregorian yang periodisasinya berlandaskan pada siklus perputaran Matahari yang lebih umum dipakai di berbagai belahan dunia.
Tak berbeda dengan perayaan malam tahun baru yang umum dirayakan di seluruh dunia, tahun baru Hijriah juga banyak dirayakan di seluruh dunia, terlebih pada belahan-belahan dunia yang penduduknya mayoritas beragama Islam.
Seperti yang dilakukan pada tradisi Jawa, mereka merayakan tahun baru Islam ini dengan sebutan yang dikenal sebagai Malam Satu Suro. Minimnya perbedaan terkait periodik tradisi Jawa dengan tradisi Islamis menyebabkan banyak persepsi yang menganggap bahwa kedua hal tersebut merupakan suatu hal yang sama.
Pada mulanya, periodisasi tradisi Jawa menganut pada kalender Saka—berasal dari agama Hindu—yang berlandaskan pada periodik bersistem Solar. Namun, pasca-takhta Kerajaan Mataram oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) yang telah memeluk agama Islam, ia ingin memadukan antara kalender Saka dan kalender Hijriah, agar periode yang sejak tahun 78 M dianut oleh masyarakat Jawa pada masa itu dapat selaras dengan tradisi-tradisi Islamiah.
Dengan perpaduan dua kalender tersebut, maka lahir sintesisnya yang dikenal sebagai Kalender Jawa atau Kalender Sultan Agungan.
Dalam memperingati sekaligus merayakan datangnya tahun baru Hijriah dan/atau Sultan Agungan, yang dikenal oleh tradisi Jawa sebagai Malam Satu Suro, masyarakat Jawa merayakannya pada pasca-magrib dengan tradisi-tradisi yang dikenal sebagai Jamas Pusaka, Ruwatan, hingga Tapa Brata.
Perayaan dipercayai bersifat sakral dan cenderung inheren dengan mitos-mitosnya, meskipun demikian terdapat nilai-nilai positif yang inheren di dalamnya, seperti mencari kedamaian dan keamanan batin, serta menangkal bala dan mara bahaya.
Kegiatan-kegiatan pada Malam Satu Suro tidak berlandaskan pada hukum-hukum Islam yang menjadi indikasi nyata bahwa terdapat sinkretisme dalam ajaran kepercayaan Kejawen, Hindu, dan Islam.
Namun satu hal yang perlu kawan GNFI ketahui, sinkretisme tersebut dilakukan bukan tanpa dasar: kuatnya kepercayaan yang telah lama diyakini masyarakat Jawa hanya akan membuat alotnya penyebaran agama Islam jika dilakukan tanpa persuasi dan akulturasi terhadap ajaran-ajaran kepercayaan pada masa itu.
Sulit, bukan berarti mustahil, untuk mengaitkan benang merah relevansi mitos-mitos yang ada pada era sains dan empirisme saat ini.
Namun jelas, mitos-mitos juga membantu dalam membentuk pribadi-pribadi yang selaras dengan hukum pada suatu wilayah. Seperti yang tertera pada buku Sapiens (2011), mitos-mitos pada era kepercayaan animisme membantu menjadikan norma-norma yang ada pada manusia juga harus turut mempertimbangkan kepentingan makhluk lain, mengingat animisme dan manusia yang menganutnya mempercayai bahwa segala benda mempunyai roh yang mendiaminya masing-masing.
Hal ini pula yang membendung niat-niat manusia untuk melakukan hal semena-mena di muka bumi.
Dengan demikian, menghilangkan seluruh mitos-mitos dari muka bumi hanya merupakan bentuk langkah untuk melupakan jasa-jasa baik yang telah dihasilkan olehnya.
Namun, dengan mengambil langkah moderat, ada baiknya pula menghilangkan kepercayaan mitos yang merugikan masyarakat sosial dan kaum marjinal. Mari melangkah lebih maju tanpa melupakan masa lalu.
Referensi:
https://www.britannica.com/topic/Islamic-calendar
https://www.kratonjogja.id/ragam/21-kalender-jawa-sultan-agungan/
Syiam, Masruroh, and Fatikhah “Sinkretisme Jawa-Islam dalam Perspektif Komunikasi Lintas Budaya” (2022)
Yuval Noah Harari, Sapiens: Sejarah Singkat Umat Manusia (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2017)
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News