Agus Mulyadi dikenal sebagai seorang penulis, khususnya esais yang unik. Ia kerap kali menyelipkan bumbu-bumbu humor dalam tulisannya sehingga esai yang tulis tidak monoton dan membosankan.
Ia bahkan tidak segan-segan menceritakan pengalaman pribadinya, keluarga, hingga teman-temannya dalam tulisannya. Konon, tulisan semacam itu terinspirasi dari beberapa penulis kondang, termasuk Raditya Dika.
“Aku merasa harus memberi kredit tertentu, kredit kepada Raditya Dika karena dia memopulerkan persona genre literatur, nulis catatan keseharian karena dulu aku menganggap itu bukan hal yang pantas ditulis oleh orang yang belum punya pangkat. Tapi gara-gara raditya dika, orang-orang jadi merasa percaya diri nulis kisah kesehariannya. Dari situlah aku suka mulai nulis curhatan di blog,” ujar Agus Mulyadi.
Mengenal DeLiang Al-Farabi, Penulis Cilik yang Menulis 40 Buku Bahasa Inggris
Agus Mulyadi atau biasa dikenal Agus Magelangan pernah menjadi redaktur salah satu media di Indonesia yang sesuai dengan karakter tulisannya, Mojok.co.
Agus Mulyadi memiliki beberapa buku yang telah diterbitkan, di antaranya Bergumul dengan Gusmul, Rambat yang Selingkuh dengan Penjaga Stand Bazar Buku, Lambe Akrobat, dan Sebuah Seni Untuk Memahami Kekasih.
Rupanya, kehebatan tulisan seorang Agus Mulyadi atau Agus Magelangan terasah berkat warnet yang pernah dijaganya waktu itu.
Kisah Perkenalan Agus Mulyadi dengan Dunia Literasi: Awalnya Karena Bungkus Tempe
Kisah Agus Mulyadi: dari Jaga Warnet hingga Jadi Penulis
Dikatakan Agus Mulyadi dalam sebuah wawancara langsung bersama Good News From Indonesia dalam “GoodTalk Eps. Agus Mulyadi: Buku, Indonesia Emas, dan Manchester United” yang diunggah di YouTube resmi GNFI, minat membaca dan menulis Agus Magelangan telah tumbuh sejak zaman sekolah.
Apalagi saat berada di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), ia merasa mendapat perhatian lebih dari seorang guru Bahasa Indonesia. Katanya, sosok yang dipanggil Bu Rusmi itu memuji tulisan-tulisan Agus. Berkat pujian dan perhatian itulah, Agus merasa tumbuh rasa optimisme untuk menyelami dunia kepenulisan, termasuk jurnalisme.
“Kelas 1 SMA saya punya guru Bahasa Indonesia namanya Bu Rusmi, dia guru yang agak gemati sama saya. Aku menulis puisi yang aku rasa tidak terlalu bagus tapi Bu Rusmi memuji. Aku merasa optimisme dan semangatku dalam jurnalisme itu mulai tumbuh gara-gara Bu Rusmi. Dan sejak itu aku mulai agak suka membaca lebih tekun,” kata Agus.
Angkat Nasib Suku Duano, Siswi SMPK 4 Penabur Jadi Finalis Writing Contest Pulitzer Center
Minat tersebut lantas dibawa Agus saat ia bekerja sebagai penjaga salah satu warnet di Magelang. Dalam kondisi yang mengharuskan Agus berada di depan laptop, Agus justru memanfaatkan waktunya untuk mengeksplorasi tulisan-tulisan dan bacaan di internet.
Saat itu, tulisan yang banyak dikonsumsi berasal dari Kaskus, cerpen Kompas, hingga blog-blog lain.
“Jadi ada banyak blog dan website bagus yang saya baca. Akhirnya saya (merasa) bisa nih nulis kaya gini. Sejak saat itulah aku mulai suka menulis,” jelas Agus.
Sejak itu pula menulis menjadi candu bagi Agus. Menurutnya, setiap hari ia merasa wajib menyetor tulisannya di blog.
“Dulu saya pernah di fase sehari gak nulis aneh rasanya ‘masa sehari aku gak nulis sih.’ Aku merasa menjadi blogger yang cukup rajin setiap hari nyaris selalu ada postingan. Ngapain lagi setiap hari jaga warnet di depan komputer tapi gak nulis.”
Karya Tulis Dono, Kritik Polisi Korup hingga Terbitkan Kumpulan Novel
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News