Eksistensi Suku Duano, khususnya sektor mata pencarian semakin terancam disebabkan berbagai perubahan yang terjadi, mulai dari iklim hingga perilaku manusia.
Suku Duano yang kita kenal bukan hanya sekedar masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir dan hidup dari sumber daya alam laut.
Suku Duano, lebih dari itu.
Kampung Nelayan Modern di Pekalongan Akan Segera Hadir, Jadi Sentra Kuliner Olahan Laut
Suku Duano, Suku yang Hidup dan Menjaga Pesisir Sumatra
Suku Duano merupakan salah satu suku di Indonesia yang sebagian besar hidup di kawasan pesisir. Suku Duano biasanya bermukim di pesisir timur Sumatera dan pulau-pulau sekitarnya, termasuk Provinsi Riau, Kepulauan Riau, dan Jambi
Hampir semua desa yang didiami oleh masyarakat Duano berhadapan langsung dengan laut, seperti Desa Sungai Bela, Desa Sungai Laut, Kuala Patah Parang, Kuala Selat, dan Desa Tanjung Pasir yang berada di Provinsi Riau.
Suku Duano dikenal sebagai Orang Laut karena aktivitasnya yang selalu lekat dengan laut dan juga berpindah-pindah dari pesisir ke pesisir. Mereka sangat gemar untuk menjelajah.
Salah satu bukti masyarakat Duano sebagai penjelajah adalah adanya Desa Sungai Bela. Desa Sungai bela disebut sebagai daerah temuan Suku Duano.
Meski demikian, Suku Duano saat ini telah bermukim menetap di daerah pesisir.
Kampung Nelayan Modern di Pekalongan Akan Segera Hadir, Jadi Sentra Kuliner Olahan Laut
Laut memang telah menjadi bagian dari jiwa Suku Duano. Nama Duano/Duane sendiri memiliki makna penjaga laut atau pantai. Dalam kajian “Sejarah Sosiologis Budaya Bernafkah Komunitas Adat Suku Duano”, Suku Duano lebih dikenal sebagai Suku Nelayan.
Tidak hanya sebatas nama, Suku Duano turut menjadi masyarakat yang mendukung penuh sumber daya alam berkelanjutan.
Suku Duano telah mengabdikan diri untuk hidup bergantung sekaligus bertanggung jawab atas keberlanjutan ekosistem laut. Mereka bernafkah melalui laut dengan cara yang santun dan tidak serakah. Alat yang digunakan pun masih tradisional dan aman untuk keberlangsungan kehidupan laut.
Selain itu, nama Penjaga Laut disematkan karena sejarah masa lalu yang melibatkan Suku Duano sebagai penjaga pesisir pantai dan ditugaskan untuk menarik bea cukai (pajak) dari setiap kapal yang lewat pesisir pantai Timur Sumatera (khusus daerah Riau dan Jambi) di masa penjajahan Belanda.
Angkat Nasib Suku Duano, Siswi SMPK 4 Penabur Jadi Finalis Writing Contest Pulitzer Center
Permasalahan Suku Duano yang Diangkat Siswa SMPK 4 Penabur dalam Writing Contest oleh Pulitzer For Educations
Suku Duano telah mengalami permasalahan yang kompleks akibat perubahan iklim yang ekstrem. Perubahan iklim ini menyebabkan penghasilan Suku Duano berkurang bahkan hingga terancamnya tempat tinggal dan mata pencarian.
Gelombang pasang yang semakin naik ke permukaan menyebabkan Suku Duano beberapa kali berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mendapatkan tempat tinggal. Meski telah beberapa kali berpindah, Keti, tetua Suku Duano, mengungkapkan pemukiman mereka kini masih terancam tenggelam.
Pasangnya air laut ini salah satunya disebabkan semakin berkurangnya hutan mangrove karena adanya aktivitas penebangan kayu bakau dan api-api. Akibatnya, tidak ada lagi penghalau ombak laut untuk tidak menerjang garis permukaan.
Kerusakan hutan mangrove juga mengakibatkan tidak ada lagi telur-telur ikan yang berkembang biak di sana, sehingga hutan mangrove tak lagi jadi daerah tangkapan utama para nelayan.
Kondisi ini menyebabkan para nelayan harus menempuh jarak yang lebih jauh untuk mendapatkan ikan.
Asal Usul Munculnya Tradisi Menangkap Cacing Laut di Masyarakat Lembata
“Masa sekarang berbeda dengan masa lalu. Keadaan alam tidak bisa menjadi pedoman karena dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kebakaran hutan dan pasang surut yang tidak bisa dipastikan. Kami mengatasinya dengan GPS dan aplikasi untuk menentukan lokasi mencari ikan,” kata Muhammad Alif nelayan Suku Duano di Kampung Laut, Kecamatan Kuala Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi, dikutip dari Mongabay.
Pasang air laut juga berdampak pada aktivitas perempuan di Suku Duano. Dahulu, perempuan Suku Duano sangat dikenal dengan tradisi menyumbun, yakni tradisi menangkap kerang bambu (Solen lamarckii) atau sumbun.
Kerang-kerang tersebut biasanya hanya bisa ditangkap di pantai berstruktur pasir di tengah laut yang muncul saat air surut. Akan tetapi, tradisi tersebut kini terancam punah.
“Beda sekarang menyumbunnya dari kemarin. Kalau kemarin bisalah dapat 5-6 kilogram, kalau sekarang tidak bisa lagi karena betingnya (pantai) tidak luas, air banyak pasang daripada surut,” ujar Imung, seorang nelayan Sumbun.
Melihat kondisi tersebut, Ketua Adat Suku Duano, Asri Tara mengatakan bahwa masa depan nelayan Suku Duano di pesisir timur Jambi makin suram.
“Pada waktu itu Suku Duanu lah yang terkenal dengan menyumbun kini tidak seberapa lagi. Mungkin melihat perhitungannya tidak balik modal lah. Jadi banyak yang beralih bersihkan ikan di toke,” katanya.
Jogo Jagad, Gunung Bawah Laut yang Bersemayam di Selatan Jawa
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News