Ketika tempe langka, sebagian besar dari kita jadi merasa ada yang kurang dan tak lengkap dalam menu kudapan dan makan kita, sesuatu yang biasanya mampu menggenapkan cita rasa. Hal ini wajar karena Indonesia memang merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50 % konsumsi kedelai Indonesia dijadikan tempe, 40 % tahu, dan 10 % dalam bentuk produk lain seperti tauco dan kecap. Konsumsi tempe rata-rata per orang per tahun di Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 6,45 kg (tempo.co, 1/10/21).
Makna Kultural
Tempe memang telah hadir dalam kehidupan bangsa sejak lama. Serat Sri Tanjung dari abad 12 telah menyebut kedele, bahan baku tempe. Serat Centhini (abad 19) menyebut tempe sebagai menu sajian kuliner ketika sang tokoh bertamu di pesantren dan di rumah seorang bangsawan. Tempe menjadi elemen yang mampu menembus batas sekat social dan geokultural.
Menurut Onghokham, tempe adalah bahan makanan yang menyelamatkan jutaan nyawa rakyat akibat kemiskinan dan kesengsaraan karena Tanam Paksa (1830-1870) hingga Orde Lama. Pada waktu itu tempe menjadi menu mewah bagi masyarakat. Tempe menjadi sumber protein nabati bagi tubuh yang tentu saja sulit dipenuhi dalam kondisi sosial ekonomi pada masa itu.
Tapi hal ini tidak serta merta membuat kita menarik kesiimpulan tempe sebagai makanan rendahan. Karena dibaliknya, tersimpan logika simbolik penting dan resistensif. Kita tahu, tempe punya daya fleksibilitas dalam proses pengolahannya, bisa matang, tapi juga bisa setengah matang. Contohnya mendoan, menu gorengan tempe setengah matang, yang menjadi kuliner khas wilayah Banyumas.
Di balik wujudnya mendoan menyimpan makna budaya masyarakat pinggiran yang jauh dari pusat kekuasaan. Sebagai wong cilik, mereka harus mengembangkan pola gemi lan nastiti (hemat dan cermat) serta dituntut lebih pandai dan kreatif menyiapkan strategi alternatif menyiasati hidup keluar dari keterbatasan, termasuk dalam hal makan.
Hal ini diterapkan dalam cara memasak mendoan. Tempe yang digoreng setengah matang mencerminkan ketidakcanggungan menerima karya olah budaya alternatif. Mengonsumsi makanan setengah matang tetap dilakukan walaupun berlawanan dengan kepatutan budaya jika memasak makanan haruslah matang.
Mendoan menjadi wujud sikap dan pandangan hidup masyarakat, tentang etos, kesederhanaan dan kekuatan tekad eksistensial. Dengannya, ia ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda nasional oleh Kemendikbud pada tahun 2021. Tempe adalah representasi nilai budaya bangsa.
Tempe telah mendunia sejak lama. Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan UGM Murdijati Gardjito, menyebut pada masa penjajahan, tempe mulai populer di Eropa dan Jepang. Dekade 70an, Australia, Amerika dan Kenya mengembangkan penelitian mengenai tempe sebagai makanan yang bermanfaat (Wijaya, 2020).
Jurnal Fermented Foods in Health and Disease Prevention (2017) menyebut tempe sebagai sumber terbaik untuk protein, vitamin, antioksidan, fitokimia, dan zat bermanfaat bioaktif lain. Asam amino dalam tempe menghasilkan protein untuk regenerasi dan pembentukan sel baru yang dibutuhkan bagi daya tahan tubuh. Sejak 1984 sudah tercatat beberapa perusahaan tempe di Eropa, Amerika, dan Jepang.
Perubahan zaman dan arus modernisasi tidak menenggelamkan eksistensi tempe. Ia tidak lagi menjadi makanan orang ndeso yang tak mampu membeli daging atau telur. Tempe eksis dan tidak kalah dengan budaya populer. Bahkan kini kaum elite banyak yang ikut makan berbagai olahan tempe. Mendoan misalnya, selain berjejal di pinggir jalan dan lorong pasar tradisional, ia hadir di mal, menjadi bagian dari fast food, ikon budaya modern. Atas nama nostalgia, kian hari mendoan kian diminati. Tempe mendoan menjadi bagian dari gaya hidup.
Penguatan Identitas
Realitas kultural ini bisa bermuara pada konsep penguatan identitas atau sistem ketahanan sosial-budaya masyarakat yang berimplikasi positif. Secara sosial ekonomi tempe menjadi kuliner yang meruntuhkan umur (tua-muda), etnis (pribumi-nonpribumi), hingga sekat sosial (kaya-miskin). Secara kultural, dalam konteks yang lebih luas, tempe menjelaskan banyak aspek mengenai persatuan bangsa, yang selama ini didengungkan itu.
Seperti halnya ketika tempe didaku sebagai identitas negara lain beberapa waktu lalu, kita bereaksi penuh emosi. Tempe tiba-tiba menjadi bagian dari apa yang disebut Stuart Hall sebagai "narrative of nation”, yakni serangkain cerita, citra, lanskap, skenario, peristiwa historis, simbol dan ritual yang merepresentasikan pengalaman bersama yang memberi makna bagi bangsa.
Tempe mengonstruksi makna Indonesia sebagai sebuah "imagine community", seperti kata Ben Anderson. Tempe membuat kita berefleksi mempunyai sebuah pijakan untuk menuju nasionalisme yang “tulus”, bukan nasionalisme "bara api" yang hanya menyala kalau dikipasi. Sebab, bagaimanapun, nasionalisme bukan sesuatu yang jatuh dari langit, tapi konstruk yang (mesti) dibangun dan direproduksi terus-menerus. Nasionalisme adalah proses yang tak henti memperbaruhi diri, yang berlangsung di ruang-ruang sosial (keluarga, institusi pendidikan, pemerintah, lembaga agama, dan media massa), mengingatkan kita bagian sebuah nasion bernama Indonesia (Aloha, 2009).
Pemaknaan atas tempe membawa pesan nasionalisme bagi manusia Indonesia modern melalui aset kekayaan budaya bangsa: suatu hal yang sulit dijangkau oleh regulasi, kebijakan politik, hingga agama. Dibalik hilangnya tempe, kita menyadari arti pentingnya sebagai refleksi kita bukan “bangsa tempe”. Tempe memuat inti makna nilai pengetahuan dan kearifan lokal sebagai pondasi pluralisme dalam ikatan nasionalisme, konsep yang kini terus dirongrong sekelompok orang yang menyalahartikan untuk memaksakan kehendaknya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News