#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung
Tradisi lisan adalah salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh masyarakat di berbagai belahan dunia. Tradisi ini merupakan warisan berharga yang disampaikan dari satu generasi ke generasi penerusnya melalui media lisan, seperti mantra-mantra, nyanyian, syair, dan banyak lagi unsur verbal lainnya. Namun, dalam konteks tradisi lisan, perlu dipahami tiga aspek penting yang berkaitan dengan teks, konteks, dan konteks-teks. Selain itu, tradisi lisan juga mencerminkan makna, fungsi, nilai, norma, dan kearifan lokal masyarakat. Salah satu bentuk tradisi lisan yang menarik adalah Vadi, sebuah nyanyian ritual yang berkembang di masyarakat Sulawesi Tengah, khususnya di desa Kaluku Tinggu.
Vadi atau Novadi secara bahasa merupakan istilah yang sering digunakan dalam rangkaian ritual Balia pada suku Kaili. Pelaksanaan Vadi sebagai nyanyian yang menggunakan bahasa Tiara atau lambang bunyi yang bersifat metafisik untuk dijadikan syarat dalam Balia Tampilangi. Vadi dinyanyikan oleh kaum perempuan dan tidak menggunakan instrumen pendukung (alat musik) karena diidentikkan dengan vokal yang berfungsi untuk mengidentifikasi kelengkapan jenis makanan sebagai syarat kesempurnaan prosesi Balia. Selain itu, perkembangan Vadi secara periodik, juga bersamaan dengan Ndolu Salonde atau bagian dari Balia yang disebut Salonde Tomanuru. Apabila menganalisis dari perspektif musik bahwa Vadi tersebut menggunakan tangga nada pentatonis atau nada minor sebagai ciri khas musik tradisional, sedangkan durasi pelaksanaannya kurang lebih 10 menit dan bukan hanya diperuntukan kepada perorangan, melainkan kelompok agar menghasilkan pembagian suara tinggi dan rendah.
Vadi dalam Konteks Ritual
Novadi secara ritual ini, dilaksanakan berdasarkan perundingan dan kesepakatan bersama antara ketua adat, pelaku ritual, maupun keluarga sebagai orang yang akan disembuhkan. Apabila ingin melaksanakan vadi, maka penentuan waktu dan tempatnya diserahkan penuh kepada orang yang akan disembuhkan sesuai dengan kesiapan biaya untuk melengkapi segala kebutuhan ritual termasuk rumah atau tempat presesi tersebut akan dilaksanakan. Oleh karena itu, tiba masanya akan melangsungkan proses penyembuhan, maka pelaku ritual akan menentukan hari baiknya atau kapan waktu melakukan Novadi. Dalam pelaksanaan ritual Vadi atau upacara penyembuhan, terdapat syarat dan proses yang dipercaya untuk melancarkan maupun menyempurnakan prosesi Novadi seperti Beras Kunyit sebagai simbol penghormatan atau penada bagi tamu yang menghadiri ritual, Sinjulo atau pengikat kepala sebagai perlengkapan ritual, Nombagu Tava Kayu sebagai jenis daun dari kayu yang telah diambil di hutan untuk dihimpun bersamaan dengan sesajen, Nangande ka ada sebagai proses makan secara massal kepada seluruh pelaku ritual, tokoh adat, dan partisipan yang hadir sebagai petanda kesetaraan, saling menghargai maupun menghormati.
Adaptasi Vadi menjadi Pertunjukkan Seni
Dinamika Vadi yang mengalami adaptasi terhadap tuntutan zaman atau sebagai langkah pelestarian bisa diwujudkan melalui pola pengembangan dan pemanfaatan. Sebagai contoh, dalam menampilkan Vadi, bisa juga diselenggarakan dalam bentuk seni pertunjukan atau menyesuaikan notasi nyanyian dan lirik sesuai dengan konteks. Hal ini disebabkan oleh perubahan pola pikir yang secara logis dipengaruhi oleh generasi saat ini yang telah terpapar oleh teknologi dan komunikasi massal. Akibatnya, perubahan ini dapat mengubah cara kita melihat kebudayaan dan pertunjukan sebagai media hiburan. Meskipun demikian, jika kita melihat ekosistem budaya secara tradisional, Vadi tetap dapat dianggap sebagai seni pertunjukan dengan berbagai unsur seni dan budaya. Suli (2015) juga menjelaskan bahwa seni pertunjukan memiliki beberapa fungsi, seperti memberikan kenikmatan estetika, menjadi sarana ekspresi, hiburan, komunikasi, representasi simbolis, merangsang respon fisik, mematuhi norma sosial, berkontribusi pada keberlanjutan dan stabilitas budaya, serta berperan dalam integrasi masyarakat. Oleh karena itu, Vadi yang diubah menjadi pertunjukan seni dengan semangat nyanyian tidak menghilangkan nilai atau esensinya, terutama jika kita memandangnya dari perspektif tradisi lisan, karena inti dari Vadi yang dinyanyikan dalam notasi tetap autentik, sedangkan perubahan terjadi pada teks dan konteks saat Vadi tersebut dipentaskan. Dengan demikian, aspek nyanyian Vadi juga dapat dilihat sebagai bagian dari warisan budaya yang merupakan bagian dari warisan tradisi lisan.
Studi kasus pengembangan vadi ini pernah dilakukan oleh sanggar Kololio, Topo Ende, serta Tirauve yang membuat kegiatan Konser Talusiswara dalam bentuk pertunjukan seni yang mengkolaborasikan antara nyanyian asli Vadi dan pengembangan dari nyanyian tersebut dari semula terdengar minor menjadi mayor dengan ketambahan instrumen musik tradisional dan modern. Maka dari itu, ini dapat menjadi indikator penting dalam mengembangkan dan memanfaatkan objek budaya tersebut harus memperhatikan aspek keberterimaan oleh masyarakat secara umum atau dalam bentuk pertunjukan seni. Tentunya, upaya tersebut dapat dijadikan permulaan yang baik untuk mengantisipasi kepunahan Vadi. Namun, Vadi belum masuk dalam daftar atau pencatatan Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK) yang saat ini berjumlah 11.711 berdasarkan data yang terhimpun dalam Sistem Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Dalam artian, upaya tersebut belum menjamin keberlanjutan Vadi apakah dapat bertahan sesuai dengan fungsi sebagai ritual atau berkembang menjadi nyanyian seni pertunjukan.
Upaya lainnya juga dapat dilakukan melalui peran Pemerintah Kabupaten Sigi bersama Tim Ahli yang sudah ditentukan, harus menindaklanjutinya secara serius sebagai wujud implementasi untuk menjaga eksistensi Vadi. Bahkan, perlu juga dilakukan analisis sebagaimana yang dilakukan oleh UNESCO tentang model ekosistem yang merujuk pada validasi dan verifikasi Kembali tentang Penciptaan, Produksi, Penyebaran, Eksebisi/Penerimaan/Pengiriman, dan Konsumsi/Partisipasi sehingga dapat diselidiki bagian mana yang sudah tidak berjalan dan harus dilakukan studi relevansi melalui wujud program stimulasi. Oleh karena itu, solusi dalam hal Apresiasi dan eksistensi ruang ekspresi perlu ditingkatkan melalui sinergitas yang berkelanjutan dari para seniman, budayawan, akademisi, pemerintah, tokoh adat, pelaku ritual, generasi penerus Vadi, dan masyarakat umum sehingga dapat diketahui program yang sesuai dengan kebijakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan. Dengan demikin, Vadi memiliki potensi besar untuk diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia dengan tantangan dan pertimbangan apakah generasi penerus masih tertarik dan berkomitmen untuk menjaga Vadi sebagai nilai budaya yang harus dijunjung tinggi.
Vadi adalah nyanyian ritual yang berkembang di masyarakat suku Kaili di Sulawesi Tengah. Seiring perkembangan zaman, Vadi telah berubah menjadi pertunjukkan seni, tetapi nilai-nilai dan esensi tradisi lisan ini tetap terjaga. Meskipun ada tantangan dalam melestarikan Vadi sebagai Warisan Budaya Tak Benda, langkah-langkah perlu diambil untuk memastikan kelangsungan tradisi ini dan menghargai warisan budaya yang berharga ini.
Referensi:
Riskita Purnamasari (2022). “Vadi” dari Nyanyian Ritual ke Nyanyian Pertunjukan. (Skripsi
Sarjana, Universitas Tadulako)
Suli (2015). Kajian Bentuk Pertunjukan Wayang Topeng Dalang “Rukun Pewaras” Desa
Slopeng Kecamatan Dasuk Kabupaten Sumenep. ( https://www.semanticscholar.org/paper/KAJIAN-BENTUK-PERTUNJUKAN-WAYANG-TOPENG-DHALANG-Suli/c02e1edc3df7afd09d9ff940ab319c523a4c0296 )
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News