#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung
Pulau Rempang di Kecamatan Galang, Kota Batam, Provinsi Kepri belakangan ramai dibicarakan. Hal ini terkait rencana investasi PT Makmur Elok Graha (MEG) yang berdampak pada rencana relokasi yang mendapat penolakan dari masyarakat tempatan (masyarakat lokal) yang menghuni kampung-kampung tua di Rempang.
Luas pulau Rempang 16.583 hektar yang secara administrasi terdiri dua kelurahan, yakni Rempang Cate dan Sembulang. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Batam, ada 7.512 jiwa yang tinggal di pulau Rempang. Ini hasil sensus penduduk 2020 lalu.
Ada 16 kampung tua yang ada di Rempang dan Galang. Yakni, Tanjung Kertang, Tanjung Kelingking, Rempang Cate, Belongkeng, Pantai Melayu, Mongak, Pasir Panjang, Kampung Sadap. Selain itu juga ada Sembulang, Sembulang Hulu Sungai Raya, Dapur Enam, Tanjung Banun, Sijantung, Dapur Tiga, Air Lingka, Galang Baru, dan Pengapit. Dari segi budaya, Pulau Rempang memiliki potensi warisan budaya tak benda (WBTB) dan cagar budaya yang belum mendapat perhatian dalam aspek kajian akademis.
Potensi WBTB
Di sejumlah kampung yang ada di wilayah Rempang, masih ada tradisi Melayu yang masih eksis. Masyarakat Melayu di kampung Rempang Cate masih memegang tradisi yang bersumber dari nilai-nilai agama Islam, karena agama Islam merupakan agama yang mayoritas di Setiap Bulan Ramadhan, masyarakat Melayu Rempang Cate menggelar tradisi yang disebut masyarakat setempat dengan nama Malam Tujuh Likur.
Tradisi yang dilakukan sejak masa lalu secara turun-temurun oleh masyarakat Melayu Rempang Cate dengan menyalakan lampu atau penerangan tradisional atau pelita yang ditempatkan diberbagai penjuru jalan, halaman rumah dan teras-teras rumah penduduk. Pada Malam Tujuh Likur anak-anak di Rempang Cate biasanya memainkan kembang api, petasan, dan berjalan membawa obor keliling kampung. (Yanti & Nina, 2019).
Tradisi Malam Tujuh Likur adalah sebuah bentuk ungkapan syukur masyarakat Melayu Rempang Cate yang telah menjadi tradisi turun temurun. Malam Tujuh Likur biasa diperingati pada malam ke 27 bulan ramadhan.
Minggu terakhir di Bulan Ramadhan dipercaya sebagai saat yang istimewa bagi umat Islam, dimana pada minggu terakhir di Bulan Ramadhan, dipercaya sebagai malam Lailatul Qodar yaitu malam diturunkannya Al-Qur’an sebagai kitab suci yang dijadikan petunjuk umat Islam. Hampir seluruh kegiatan yang dilakukan pada Tradisi Malam Tujuh Likur dianggap oleh masyarakat Rempang Cate mengandung arti atau makna-makna tersendiri sehingga makna pada simbol-simbol yang dipecayai oleh masyarakat dianggap dapat menjauhi malapeta dan sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur.
Selain tradisi Malam Tujuh Tikur, di kampung-kampung yang ada di Pulau Rempang, juga masih eksis kesenian joget lambak dalam acara-acara pesta perkawinan atau acara keramaian lain.
Di daerah lain seperti Karimun populer istilah joget dangkong, namun di daerah Rempang dan daerah Batam lainnya dikenal dengan nama joget lambak. Hal menarik lainnya, dalam acara adat juga ditampilkan silat pengantin.
Hal lainnya yang menarik adalah di Pulau Rempang, juga ada masyarakat adat. Orang Batam mengenalnya Orang Hutan. Namun, dalam kajian antropologi, mereka dikenal dengan nama Orang Darat (Orang Benoa).
Mereka mendiami Kampung Sadap di Kelurahan Rempang Cate. Jumlah mereka diambang kepunahan karena tinggal tiga kepala keluarga (KK). Perlu perhatian serius agar jumlah mereka tidak terus menyusut. Keberadaan Orang Darat jadi penanda bahwa Pulau Rempang sudah didiami sejak lama. Meskipun dalam dokumen-dokumen Belanda baru tercatat sejak abad ke-19. (Arman, 2023).
Tinggalan Cagar Budaya
Pulau Rempang menjadi daerah penting dalam perang dunia kedua bagi Jepang. Pasca kekalahan Jepang melawan pasukan sekutu, bala tentara Jepang diwilayah Kepulauan Riau dikumpulkan di Pulau Rempang tahun 1945.
Total ada 112.708 serdadu Jepang yang tinggal di Pulau Rempang menunggu jemputan kembali ke Jepang. Dari jumlah ini, 128 serdadu meninggal dunia dan dimakamkan di Rempang. (https://disbudpar.batam.go.id/2022).
Dalam mengenang kisah pilu ini, dibangun Minamisebo atau tugu Jepang tanggal 23 Agustus tahun 1981 oleh Rempang Friendship Association (RFA), sebuah lembaga non profit yang dibentuk oleh masyarakat Jepang.
Tugu Jepang ini bukan hanya sebuah monumen biasa, tetapi juga sebuah penanda sejarah yang sangat berarti. Di dalam monumen berdiameter 3 meter ini, terdapat nama-nama dan foto-foto eks Tentara Jepang yang pernah menetap di Sembulang yang terpampang di dinding monumen.
Menarik juga dilakukan penelitian untuk mencari lokasi makam serdadu Jepang tersebut. Keberadaan makam nantinya bisa jadi cagar budaya. Potensi besar dalam menggaet turis Jepang untuk melakukan wisata sejarah ke Rempang. Mereka bisa melihat Minamisebo dan juga makam para leluhur.
Selaim makam tentara Jepang, potensi cagar budaya yang perlu dilakukan penelusuran tapak-tapak sejarahnya adalah keberadaan bangsal atau tempat pengolahan gambir di Pulau Rempang. Catatan Elisa Netscher (1854), pegawai pemerintah Belanda yang pernah menjadi Residen Riau di Tanjungpinang, ada dua bangsal gambir di Pulau Rempang abad ke-19. Lokasinya di Sungai Sembulang dan Sungai Galang.
Netcher yang datang ke Pulau Rempang menemukan di sana sudah ada perkebunan gambir yang luas. Pemilik kebun adalah Orang Tionghoa dan pekerjanya adalah Orang Tionghoa dan Melayu.
Menarik kalau dilakukan penelusuran untuk menemukan tapak bekas bangsal gambir. Pasalnya, disejumlah daerah di Provinsi Kepri, seperti Desa Kudung (Kabupaten Lingga) dan Sawang (Kabupaten Karimun), masih ada perkebunan gambir yang eksis hingga kini. Bangsa pengolahan gambirnya masih ada yang bangunannya masih asli. Potensinya besar untuk ditetapkan sebagai cagar budaya.
Baik warisan budaya tak benda (WBTB) maupun cagar budaya, perlu kajian mendalam di Pulau Rempang. Ini berguna karena Pulau Rempang tinggal menunggu waktu dikembangkan jadi kawasan yang diberi nama Rempang Eco City.
Konon nantinya pemerintah menyiapkan kluster cagar budaya dalam kawasan ini. Tugas Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Batam, TACB Provinsi Kepri ataupun sejarawan dan arkeolog dari perguruan tinggi atau lembaga riset untuk melakukan kajian.
Referensi:
- Dedi Arman. Orang Darat di Kampung Sadap. Tersisih Dampak Kemajuan Kota Batam. Yogyakarta: Sulur Pustaka, 2023.
- Fitri Yanti & Nina Historia: Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Vol 4. No 2 (2019): 99-104.
- https://disbudpar.batam.go.id/2022/09/07
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


