Menjelang hari kemerdekaan, film animasi Merah Putih: One for All produksi Perfiki Kreasindo akan tayang perdana pada 14 Agustus 2025 di seluruh bioskop di Indonesia.
Dalam posternya, film ini diklaim menjadi film animasi Indonesia pertama bertemakan kebangsaan. Poster film juga dilengkapi dengan slogan "Kami kecil, tapi cinta kami untuk merah putih, tak pernah kecil dari perbedaan, kami temukan kekuatan".
Biaya Produksi Hingga Rp6,7 Miliar
Perfiki Kreasindo, rumah produksi film animasi ini berada di bawah naungan lembaga swasta, yaitu Yayasan Pusat Perfilman H. Usmar Ismail. Produsernya, Toto Soegriwo merupakan Sekretaris Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI). Film ini juga menggandeng Endiarto dan Bintang Takari sebagai sutradara sekaligus penulis skenario.
Menjelang penayangannya, film bertemakan kebangsaan ini banyak mengundang perhatian publik. Alih-alih mendapatkan pujian, film animasi Merah Putih: One For All justru menuai kritik dari berbagai kalangan. Pasalnya, biaya produksi film mencapai Rp6,7 miliar, sementara kualitas animasi dinilai buruk dan jauh dari standar industri.
Kontroversi lain datang dari dugaan bahwa beberapa aset visual dalam film, mulai dari latar hingga karakter dibeli dari toko digital. Proses pembuatan film juga hanya memakan waktu kurang dari satu bulan.
Meskipun begitu, produser eksekutif film, Sonny Pudjisasono menanggapi positif kritik yang bermunculan di media sosial. Ia menyebut bahwa publik tidak seharusnya menilai sebuah film hanya dari cuplikannya saja. Sonny mengajak masyarakat untuk menyaksikan keseluruhan film pada 14 Agustus nanti.
Sinopsis Film Animasi Merah Putih: One For All
Film animasi ini berlatarkan sebuah desa yang tengah menyiapkan perayaan 17 Agustus. Di tengah-tengah persiapan, sebuah insiden terjadi secara tiba-tiba. Bendera merah putih yang biasa dikibarkan setiap Upacara Hari Kemerdekaan mendadak hilang secara misterius.
Sebagai solusi, Pak Lurah membentuk tim yang bernama "Tim Merah Putih" untuk menemukan kembali bendera yang hilang. Tim tersebut terdiri dari anak-anak yang berasal dari suku dan daerah yang berbeda-beda, seperti Betawi, Papua, Medan, Jawa Tengah, Tegal, Makassar, Manado, hingga Tionghoa.
Mereka memulai pencarian Sang Saka Merah Putih dengan berbagai rintangan, mulai dari lebatnya hujan, menyebrangi arus sungai yang deras, hingga bertemu dengan ular besar di tengah hutan.
Namun ternyata, rintangan alam bukanlah tantangan terbesar. Anak-anak tersebut harus belajar menghadapi ego masing-masing, mulai bekerja sama, dan mengatasi perbedaan pendapat. Petualangan tersebut menjadi ujian persahabatan yang harus mereka atasi.
Pesan moral yang dapat diambil dari film ini cukup kuat. Perbedaan pendapat dan keberagaman bukanlah penghalang untuk bersatu. Anak-anak dari suku dan budaya yang berbeda-beda dalam film mengajarkan kita cara untuk saling menghargai dan bekerja sama dengan baik.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News
