ngabuburit bareng tafsir menanti magrib sambil belajar - News | Good News From Indonesia 2025

Ngabuburit Bareng Tafsir: Menanti Magrib Sambil Belajar

Ngabuburit Bareng Tafsir: Menanti Magrib Sambil Belajar
images info

Di era di mana waktu luang sering kali diisi dengan scroll media sosial atau binge-watching serial drama, muncul satu fenomena menarik di kalangan anak muda Muslim: ngabuburit sambil belajar tafsir Al-Qur'an. Bukan lewat halaqah konvensional di masjid dengan kitab tebal dan suasana formal, tetapi melalui platform digital yang lebih santai—Zoom, Instagram Live, bahkan TikTok.

Fenomena ini bukan isapan jempol. Di berbagai kota besar, komunitas dakwah anak muda mulai mengemas materi keislaman dalam format yang lebih segar dan relevan.

Salah satunya seperti yang dilakukan oleh komunitas @QuranHourID di Instagram, yang rutin mengadakan live session menjelang magrib selama Ramadan. Isinya? Tafsir surat pendek yang sering dibaca saat salat, dibahas dengan bahasa ringan dan kisah-kisah relatable dari kehidupan sehari-hari.

Tafsir Jadi Teman Ngabuburit

Laras, mahasiswi semester akhir di Bandung, awalnya mengikuti kajian ini karena iseng. "Awalnya gabut nunggu buka, eh ternyata nyantol. Pembahasannya tuh nancep banget, apalagi waktu bahas QS Al-‘Asr. Kayak diingetin bahwa hidup itu nggak cuma soal kerja keras, tetapi juga saling menasihati dalam kebenaran," ujarnya.

Laras bukan satu-satunya. Banyak anak muda merasa bahwa kajian singkat ini memberikan "asupan makna" yang selama ini hilang. Menjelang Magrib yang biasanya diisi dengan drama Korea atau main gim, kini menjadi waktu refleksi—tentang diri sendiri, tentang relasi sosial, bahkan tentang tujuan hidup.

Tafsir yang Membumi

Yang membuat sesi-sesi tafsir ini menarik adalah pendekatannya. Bukan dengan jargon atau istilah rumit, tetapi dengan bahasa yang membumi. Misalnya, saat membahas QS Al-Fil, pembicara mengaitkan kehancuran pasukan bergajah dengan bahaya arogansi digital saat ini. Saat membahas QS Al-Kautsar, dikaitkan dengan pentingnya bersyukur di tengah tekanan sosial dan FOMO (fear of missing out) yang melanda Gen Z.

Salah satu narasumber favorit Laras adalah Ustaz Hafizh Rachmat dari komunitas NgajiBareng. "Beliau tuh sering banget ngasih insight yang kena di hati. Kadang pakai analogi dari film, kadang dari obrolan sehari-hari. Nggak kerasa lagi dengerin ceramah, malah kayak lagi diajak ngobrol sama teman yang bijak," kata Laras.

Menurut survei internal komunitas NgajiBareng (2023), sekitar 67% peserta kajian daring mereka berusia di bawah 25 tahun dan lebih dari separuhnya merasa bahwa cara penyampaian yang "santai tapi ngena" membuat mereka lebih mudah memahami kandungan Al-Qur'an.

Ramadan, Momentum Kebangkitan Spiritual

Ramadan selalu jadi waktu yang istimewa dan bagi banyak anak muda, inilah momen ketika hati lebih terbuka untuk menerima nilai-nilai spiritual. Media sosial pun menjadi jembatan baru dalam menyebarkan kebaikan. Konten-konten yang biasanya diisi prank atau challenge, kini diganti dengan #RamadanRefleksi, #NgajiKilat, atau #TafsirSore yang viral.

Seorang kreator konten dakwah di TikTok, Rizky Fauzan, mengaku terkejut ketika salah satu video singkatnya soal tafsir QS Al-Ikhlas ditonton lebih dari satu juta kali. "Padahal cuma 60 detik, tetapi ternyata banyak yang komen 'masyaAllah', 'baru paham sekarang', atau 'makasih udah bikin ini'. Itu jadi penyemangat banget buat terus sharing," katanya.

Platform seperti TikTok, yang semula dianggap 'dangkal' oleh sebagian kalangan, justru jadi ruang dakwah baru. Video pendek dengan animasi ringan, subtitle kekinian, dan pesan tajam menjadi alat efektif menyentuh hati generasi muda.

Masjid yang Ramah Digital

Fenomena ini juga mendorong masjid-masjid kota besar untuk beradaptasi. Masjid Jogokariyan di Yogyakarta, misalnya, mulai rutin menayangkan kajian menjelang buka puasa via Instagram dan YouTube. Takmir masjid bekerja sama dengan remaja masjid untuk membuat kontennya lebih eye-catching.

Imam masjid tersebut, Ustaz Fairuz, mengatakan bahwa penting bagi masjid untuk tidak hanya jadi tempat fisik, tetapi juga hadir di ruang digital. "Kalau anak muda lebih sering buka Instagram daripada datang ke masjid, maka masjid harus hadir di Instagram. Kita bawa konten positif ke tempat mereka berkumpul," ujarnya.

Langkah ini terbukti efektif. Dalam waktu sebulan, akun Instagram masjid naik lebih dari sepuluh ribu pengikut. Responsnya positif. Banyak yang berkomentar bahwa mereka merasa dekat dengan masjid meskipun belum bisa rutin hadir secara fisik.

Pelajaran dari Tradisi

Menariknya, tren ini juga bisa dilihat sebagai bentuk baru dari tradisi lama. Dahulu, ngabuburit diisi dengan tadarus, berkumpul di surau, atau mendengar ceramah di radio. Kini, semangat itu hidup lagi dalam bentuk baru yang sesuai zaman.

Sosiolog agama dari UIN Syarif Hidayatullah, Dr. Nuraini Rahma, mengatakan bahwa yang penting bukan formatnya, tetapi esensinya. "Kalau dulu anak-anak ngaji di surau menjelang magrib, sekarang mereka mungkin nonton TikTok berisi tafsir. Namun, nilai yang diserap bisa sama kuatnya, bahkan lebih jika disajikan dengan cara yang mereka pahami."

Menanamkan Nilai, Bukan Sekadar Informasi

Ngabuburit sambil tafsir bukan hanya soal menambah pengetahuan agama. Lebih dari itu, ini tentang menanamkan nilai. Tentang menyadari bahwa di balik setiap ayat, ada pesan kehidupan yang bisa diterapkan sehari-hari. Bahwa agama bukan cuma hafalan, tetapi juga transformasi perilaku.

Laras, yang kini rutin mengikuti kajian daring ini, mengaku lebih tenang dan reflektif dalam menghadapi hidup. "Sekarang kalau marah, ingat QS Al-Furqan: sifat orang beriman itu nggak membalas dengan amarah, tetapi kasih jawaban yang baik. Itu ngajarin aku buat lebih sabar," katanya.

Penutup: Sebuah Harapan Baru

Fenomena ngabuburit bareng tafsir ini menunjukkan bahwa anak muda sebenarnya haus makna. Mereka bukan generasi yang antiagama, hanya butuh pendekatan yang lebih manusiawi, kontekstual, dan relevan.

Dengan teknologi sebagai jembatan, harapan untuk melihat generasi yang cerdas secara spiritual dan sosial semakin nyata. Maka tugas kita bersama—orang tua, guru, tokoh agama, bahkan kreator konten—adalah menjadikan ruang digital sebagai lahan kebaikan. Tempat menanam makna, memanen hikmah, dan berbagi cahaya. Karena sejatinya, setiap menjelang magrib bukan hanya waktu menunggu azan, tetapi juga kesempatan untuk mendekatkan hati pada Yang Maha Memberi Cahaya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MH
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.