Mau sampai kapan kita menggantungkan nasib rakyat pada kapal impor yang setiap saat bisa karam?
Di negeri ini, gandum tumbuh bukan dari tanah, melainkan dari kapal. Ia datang bersama gelombang impor, dibongkar di pelabuhan, ditimbang, lalu dijadikan mie instan dan roti. Ironisnya, gandum yang tak pernah menancap akar di tanah Nusantara justru telah mencengkeram dalam di perut orang Indonesia. Kini, sepertiga pangan pokok bangsa ini bukan hasil bumi sendiri, melainkan hasil dagang orang lain.
Pangan, yang dulu menjadi urat nadi kedaulatan, berubah menjadi komoditas global. Dari rempah-rempah yang diburu armada Eropa di abad ke-16, hingga gandum yang ditumpuk dalam kontainer abad ke-21, Indonesia tetap berdiri di titik yang sama, yakni pasar, bukan produsen. Sejarah tampaknya mengulang dirinya, hanya dengan wajah yang berbeda.
Pemerintah, dari satu rezim ke rezim lain, lebih sibuk menutup lubang kebutuhan dengan karung impor ketimbang menumbuhkan ladang yang kuat di rumah sendiri. Kebijakan pangan ibarat plester luka—cepat menutup, tapi tak menyembuhkan. Jagung, sagu, dan umbi-umbian yang dulu menjadi tiang kehidupan kini terpinggirkan, seperti kisah lama yang dipaksa keluar dari panggung modernitas.
Tetapi, apa yang disebut modernitas itu? Ia datang dalam bentuk mie instan murah, roti tawar lembut, biskuit manis yang dikemas rapi. Ia membius masyarakat dengan rasa praktis, sambil perlahan-lahan menggeser memori lidah dari singkong rebus atau papeda. Modernitas yang dijanjikan pasar ternyata lebih dekat dengan ketergantungan, bukan kemandirian.
Baca Selengkapnya