Oleh: Putri Zahira
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Seni di Universitas Syiah Kuala.
Aceh merupakan provinsi yang dikenal luas dengan istilah ”Seramoe Mekah”. Sebutan ini bukan sekedar aceh sebagai daerah yang kental pada nilai keislaman dan syariatnya. Akan tetapi, menegaskan karakter religius yang diselaraskan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakatnya. Ketegasan dalam hukum islam di Aceh juga menyimpan sisi sosial yang hangat, terbuka dan penuh kebersamaan. Kehangatan hubungan masyarakat Aceh salah satunya yaitu dapat dilihat pada wujud warung kopi. Aceh bahkan dijuluki sebagai “Negeri Seribu Satu Warung Kopi”, keberadaan warung kopi dapat dilihat di setiap sudut kota dan desa. Saking kuatnya budaya minum kopi di Aceh, “Teuku Umar” sebagai salah seorang pahlawan Aceh pernah berkata: “Beungoh singoh geutanyoe jeb kupi di keude meulaboh atawa ulon akan syahid” yang berarti: “Besok pagi kita akan minum kopi di kedai meulaboh atau aku akan syahid” sebagai kalimat terakhir sebelum akhirnya beliau tewas di tangan Garnizun Belanda pada 11 februari 1899 di keude lhok bubon.
Warung kopi sering di arahkan pada pandangan bahwa orang Aceh pemalas atau tidak berkegiatan karena sering menghabiskan waktu di warung kopi. Padahal warung kopi bukan sekedar tempat menikmati secangkir minuman, tetapi menjadi tempat berbagai aktivitas baik kegiatan formal, informal maupun sekedar mengobrol remeh-temeh serta media untuk memecahkan berbagai masalah, bersosialisasi dan bersilahturahmi. Tempat ini menjadi haluan bagi lintas generasi yang kerap dipenuhi dengan wajah-wajah lelah para pegawai, mahasiswa, dosen maupun masyarakat biasa. Bahkan, banyak yang memilih untuk menikmati minuman pekat ini di warung kopi ketimbang di rumah sendiri. Hal ini tentunya cocok menjadi ungkapan dan deskripsi identitas orang Aceh dalam segelas kopi panas. Warung kopi membentuk identitas masyarakat Aceh, disisi lain justru orang Aceh yang mempengaruhi perkembangan warung kopi. Terjadi ketergantungan atau saling berpengaruh antara keberadaan warung kopi dengan kebiasaan orang Aceh. Hal ini, seolah-olah juga menyiratkan bahwa orang Aceh yang tidak suka minum kopi bukanlah orang aceh yang hakiki.
Dilansir dari buku “De AtjeherDari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi” oleh Saiful Akmal dan Muhajir Al Fairus (2018) menyatakan Kopi merupakan minuman khas yang mulai masuk ke Indonesia dimulai sejak 1699 melalui pulau jawa oleh kapitalis belanda. Perhatian pada tanaman kopi mulai muncul sekitar tahun 1804 yang diperkenalkan oleh pihak belanda sebagai pelopor juga melibatkan orang-orang Tionghoa. Hal ini membuat orang aceh sedikit mulai memberdayakannya. Kemudian, mereka membawa kopi jenis Robusta dan Arabika ke Aceh berkisar tahun 1904-1908 dan mulai diberdayakan di tanah gayo. Awalnya, tujuan didirikannya warung kopi oleh pihak belanda agar mereka mudah dalam membuat titik kumpul masyarakat Aceh, terlena oleh suasana warung kopi yang santai sehingga lupa untuk memikirkan hal-hal tentang perlawanan terhadap belanda dengan harapan aceh bisa dikendalikan.
Di Aceh, kopi jenis Arabika sendiri muncul pasca Tsunami. Hal ini di latar belakangi oleh kehadiran lembaga internasional pasca tsunami dan Rumoh Aceh menjadi salah satu tempat penyajian kopi Arabika. Selain itu, seorang mahasiswa yang usai pulang dari perkuliahannya di Taiwan bernama “Erik” membawa pulang mesin ekspreso dan merintis usaha “Cafe La Regno” di peurada, Banda Aceh pada tahun 2011. Hal ini tentunya memperkenalkan budaya baru dalam efesiensi sajian kopi. Banda Aceh juga dikenal dengan produksi “Solong Uleu Kareng” sebagai rumah produksi kopi Robusta dan Arabika di Aceh.
Baca Selengkapnya