Perbedaan Kalimat Positif Menyembuhkan dan Menyakitkan
Whitney Goodman (2022) menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Toxic Positivity: Keeping It Real in a World Obsessed with Being Happy bahwa toxic positivity muncul ketika seseorang membagikan pengalaman sulitnya dan mendapatkan respon yang menunjukkan sikap positif. Namun, disampaikan tanpa empati sebagai bentuk penyangkalan terhadap emosional seseorang. Berikut perbedaan kalimat positif dan kalimat toxic positivity.
- Kalimat Positif
Kalimat yang bersifat mengakui perasaan orang lain, memberikan dukungan tanpa emosi negatif, dan memberikan kenyamanan agar seseorang merasa dimengerti. Berikut contoh kalimat positif.
“Kamu boleh sedih hari ini, tapi besok kita coba lagi pelan-pelan ya.”
“Bukan ketinggalan, tapi kamu sedang berproses.”
“Kalau kamu capek, boleh kok istirahat dahulu sejenak. Jika sudah, baru lanjutkan lagi progresmu.”
- Kalimat Toxic Positivity
Kalimat yang bersifat tidak mengakui perasaan orang lain, sehingga membuat seseorang merasa tidak boleh sedih atau jujur pada perasaannya. Contoh kalimat toxic positivity.
“Positive vibes only, no negativity allowed.”
“Capek! Kamu kurang bersyukur aja tuh!”
“Lagi down? Senyumin aja. Nanti juga hilang sendiri!”
Strategi Membangun Ruang yang Nyaman dan Aman bagi Pengguna Media Sosial
Pengguna media sosial sering kali memberikan likes, shares, dan komentar sebagai bentuk penghargaan terhadap konten yang diunggah. Hal tersebut dapat mendorong pengguna untuk membuat konten yang terlihat menginspirasi dan dapat menyebabkan penekanan emosi. Sebab, seseorang cenderung menyembunyikan perasaan negatifnya karena adanya rasa takut pada penilaian sosial yang diberikan.
Dampak dari tekanan ini yaitu seseorang merasakan kecemasan, depresi, tidak bisa mengekspresikan perasaan mereka, dan ragu akan diri sendiri.
Oleh karena itu, Kajal dan Rani (2025) seorang ahli psikologi menyebutkan beberapa strategi untuk memberikan ruang psikologis yang nyaman bagi pengguna dalam jurnal yang berjudul Toxic Positivity and Social Media: The Pressure to Always ‘Look on the Bright Side’ sebagai berikut.
- Mendorong Kejujuran Emosional
Menciptakan ruang rasa aman bagi seseorang untuk mengekspresikan diri sendiri termasuk dalam aspek emosional. Hindari penggunaan kata seperti “Good vibes only” atau “Just stay positive”. - Mengekspresikan Emosi yang Seimbang dan Sehat
Membagikan pengalaman atau cerita sendiri dengan campuran emosi termasuk tantangan dan kegagalan, juga jujurlah saat sedang mengalami kesulitan. Melatih diri untuk mendengarkan cerita seseorang dengan tidak menghakimi disertai dengan empati agar seseorang tersebbut merasakan dihargai dan didengarkan. - Mengkritisi Toxic Positivity secara langsung
Menanggapi dengan baik postingan yang mempromosikan toxic positivity. Buat konten yang mengkritisi toxic positivity dengan memberikan contoh dampak yang merugikan hingga bisa merusak mental.
Dengan demikian, kemampuan untuk membedakan kalimat positif dengan kalimat toxic positivity sangatlah penting agar tidak terjadinya penekanan emosional dan penutupan emosional diri. Ini dapat menciptakan ruang media sosial yang nyaman dan aman.
Dukungan emosional yang dibutuhkan manusia saat ini tidak harus selalu terlihat bahagia, melainkan dukungan yang memvalidasi perasaan resah seseorang dan memberikan motivasi.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


