simak dampak dan cara mengatasi fenomena toxic positivity pada media sosial - News | Good News From Indonesia 2025

Fenomena Toxic Positivity pada Media Sosial, Simak Dampak dan Cara Mengatasinya!

Fenomena Toxic Positivity pada Media Sosial, Simak Dampak dan Cara Mengatasinya!
images info

Fenomena Toxic Positivity pada Media Sosial, Simak Dampak dan Cara Mengatasinya!


Saat seseorang dihadapkan pada tekanan hidup, tuntutan produktivitas, kecemasan akan masa depan, serta kesehatan mental, dukungan emosional yang bersifat positif sangat dibutuhkan.
Media sosial kini kerap menyajikan berbagai konten positif sehingga dapat menjadi ruang untuk mencari dukungan emosional. Banyaknya kalimat positif yang muncul saat scrolling dapat memberi semangat, motivasi, dan meningkatkan kepercayaan diri.
Namun, tahukah kalian bahwa kalimat positif tidak selalu baik, di balik itu ada fenomena yang disebut toxic positivity? Mari, simak perbedaan antara kata-kata positif yang sehat dan toxic positivity.

Perbedaan Kalimat Positif Menyembuhkan dan Menyakitkan

Whitney Goodman (2022) menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Toxic Positivity: Keeping It Real in a World Obsessed with Being Happy bahwa toxic positivity muncul ketika seseorang membagikan pengalaman sulitnya dan mendapatkan respon yang menunjukkan sikap positif. Namun, disampaikan tanpa empati sebagai bentuk penyangkalan terhadap emosional seseorang. Berikut perbedaan kalimat positif dan kalimat toxic positivity.

  • Kalimat Positif
    Kalimat yang bersifat mengakui perasaan orang lain, memberikan dukungan tanpa emosi negatif, dan memberikan kenyamanan agar seseorang merasa dimengerti. Berikut contoh kalimat positif.
    “Kamu boleh sedih hari ini, tapi besok kita coba lagi pelan-pelan ya.
    “Bukan ketinggalan, tapi kamu sedang berproses.”
    “Kalau kamu capek, boleh kok istirahat dahulu sejenak. Jika sudah, baru lanjutkan lagi progresmu.”
  • Kalimat Toxic Positivity
    Kalimat yang bersifat tidak mengakui perasaan orang lain, sehingga membuat seseorang merasa tidak boleh sedih atau jujur pada perasaannya. Contoh kalimat toxic positivity.
    “Positive vibes only, no negativity allowed.”
    Capek! Kamu kurang bersyukur aja tuh!”
    “Lagi down? Senyumin aja. Nanti juga hilang sendiri!”

Strategi Membangun Ruang yang Nyaman dan Aman bagi Pengguna Media Sosial

Pengguna media sosial sering kali memberikan likes, shares, dan komentar sebagai bentuk penghargaan terhadap konten yang diunggah. Hal tersebut dapat mendorong pengguna untuk membuat konten yang terlihat menginspirasi dan dapat menyebabkan penekanan emosi. Sebab, seseorang cenderung menyembunyikan perasaan negatifnya karena adanya rasa takut pada penilaian sosial yang diberikan.

Dampak dari tekanan ini yaitu seseorang merasakan kecemasan, depresi, tidak bisa mengekspresikan perasaan mereka, dan ragu akan diri sendiri.

Oleh karena itu, Kajal dan Rani (2025) seorang ahli psikologi menyebutkan beberapa strategi untuk memberikan ruang psikologis yang nyaman bagi pengguna dalam jurnal yang berjudul Toxic Positivity and Social Media: The Pressure to Always ‘Look on the Bright Side’ sebagai berikut.

  1. Mendorong Kejujuran Emosional
    Menciptakan ruang rasa aman bagi seseorang untuk mengekspresikan diri sendiri termasuk dalam aspek emosional. Hindari penggunaan kata seperti “Good vibes only” atau “Just stay positive”.
  2. Mengekspresikan Emosi yang Seimbang dan Sehat
    Membagikan pengalaman atau cerita sendiri dengan campuran emosi termasuk tantangan dan kegagalan, juga jujurlah saat sedang mengalami kesulitan. Melatih diri untuk mendengarkan cerita seseorang dengan tidak menghakimi disertai dengan empati agar seseorang tersebbut merasakan dihargai dan didengarkan.
  3. Mengkritisi Toxic Positivity secara langsung
    Menanggapi dengan baik postingan yang mempromosikan toxic positivity. Buat konten yang mengkritisi toxic positivity dengan memberikan contoh dampak yang merugikan hingga bisa merusak mental.

Dengan demikian, kemampuan untuk membedakan kalimat positif dengan kalimat toxic positivity sangatlah penting agar tidak terjadinya penekanan emosional dan penutupan emosional diri. Ini dapat menciptakan ruang media sosial yang nyaman dan aman.

Dukungan emosional yang dibutuhkan manusia saat ini tidak harus selalu terlihat bahagia, melainkan dukungan yang memvalidasi perasaan resah seseorang dan memberikan motivasi.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

NN
KG
Tim Editorarrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.