penerapan cancel culture yang setengah hati - Culture | Good News From Indonesia 2025

Penerapan Cancel Culture yang Setengah Hati

Penerapan Cancel Culture yang Setengah Hati
images info

Penerapan Cancel Culture yang Setengah Hati


Media sosial kini telah mengubah cara masyarakat bereaksi terhadap kesalahan seorang figur publik. Dalam hitungan jam, sebuah pernyataan atau potongan video dapat menuai kecaman luas.

Istilah cancel culture kemudian muncul untuk menggambarkan praktik hukuman sosial melalui pemboikotan, penarikan dukungan, hingga penyingkiran seseorang dari ruang publik.

Namun, di Indonesia, penerapan cancel culture kerap hanya berlangsung sesaat dan belum menjadi mekanisme sosial yang benar-benar memberikan konsekuensi.

Reaksi publik sering kali tampak tegas. Kolom komentar dipenuhi kecaman, tagar boikot bermunculan, dan desakan permintaan maaf menguat. Akan tetapi, situasi ini jarang bertahan lama.

Ketika isu bergeser ke topik lain dan perhatian publik teralihkan, figur publik yang sempat dikecam perlahan kembali ke panggung. Cancel culture pun berubah menjadi kemarahan kolektif yang cepat muncul dan cepat menghilang.

Fenomena tersebut tidak dapat dilepaskan dari logika industri hiburan dan periklanan. Bagi banyak brand, angka engagement sering kali lebih menentukan daripada reputasi moral. Selama seorang figur publik masih mampu menarik perhatian dan menjangkau audiens luas, kontroversi justru dipandang sebagai nilai tambah.

Dalam situasi seperti ini, cancel culture sulit bekerja. Hukuman sosial kalah oleh kepentingan ekonomi, dan popularitas menjadi mata uang yang seolah mampu menghapus kesalahan.

Ketika figur publik yang bermasalah tetap menerima endorsement, pesan yang sampai ke masyarakat menjadi ambigu. Kesalahan seakan tidak memiliki konsekuensi nyata.

Publik, terutama generasi muda, belajar bahwa selama seseorang terkenal dan relevan, tanggung jawab etika dapat dinegosiasikan. Normalisasi inilah yang perlahan menggerus nilai akuntabilitas di ruang publik.

Cancel culture di Indonesia akhirnya berada di posisi yang serba setengah-setengah. Ia hadir sebagai wacana, tetapi tidak sebagai praktik yang konsisten.

Publik marah, tetapi sistem tetap berjalan seperti biasa. Figur publik dikritik, tetapi tetap diberi panggung. Dalam kondisi seperti ini, cancel culture kehilangan fungsinya sebagai pengingat sosial dan berubah menjadi sekadar siklus viral.

Dari perspektif hukum, kondisi ini juga menunjukkan kekosongan yang menarik. Indonesia tidak mengenal cancel culture sebagai konsep resmi dalam hukum positif. Tidak ada mekanisme yang mengatur sanksi sosial berbasis etika publik.

Hukum baru bekerja ketika terjadi pelanggaran yang jelas dan dapat dibuktikan secara yuridis. Akibatnya, ruang antara pelanggaran etika dan pelanggaran hukum menjadi wilayah abu-abu yang kerap diisi oleh opini publik.

Namun, absennya aturan hukum seharusnya tidak meniadakan tanggung jawab sosial. Cancel culture tidak harus dimaknai sebagai persekusi atau penghukuman berlebihan. Ia dapat berfungsi sebagai evaluasi terhadap perilaku figur publik yang memiliki pengaruh besar.

Masalah muncul ketika evaluasi tersebut tidak diiringi konsistensi dan kebijaksanaan. Tanpa batas yang jelas, kritik berubah menjadi kebisingan, sementara tanggung jawab justru menguap.

Di sisi lain, membiarkan figur publik bermasalah terus diberi ruang juga bukan tanpa risiko. Keteladanan merupakan aspek penting dalam kehidupan sosial.

Apa yang ditampilkan, ditoleransi, dan diberi keuntungan akan membentuk standar perilaku di masyarakat. Ketika kesalahan tidak lagi berdampak, publik perlahan kehilangan rujukan tentang tanggung jawab dan etika.

Pada akhirnya, persoalan cancel culture di Indonesia bukan sekadar tentang membatalkan atau tidak membatalkan seseorang. Pertanyaan yang lebih penting adalah siapa yang terus kita beri panggung, dan nilai apa yang kita biarkan hidup melalui pilihan tersebut.

Tanpa konsistensi, cancel culture hanya akan menjadi gema singkat di media sosial, sementara contoh yang kurang baik terus berulang di ruang publik dan memberi teladan yang keliru bagi masyarakat.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

WN
KG
Tim Editorarrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.