Liburan sudah usai. Koper kembali ke sudut kamar, alarm pagi berbunyi lagi, dan rutinitas perlahan mengambil alih hari. Namun ada satu hal yang tertinggal. Bukan barang, melainkan perasaan. Semangat menurun, hati terasa kosong, dan aktivitas yang dulu terasa biasa kini terasa berat.
Jika Kawan GNFI pernah mengalaminya, mungkin ini bukan soal malas, melainkan tanda bahwa tubuh dan pikiran sedang beradaptasi. Kondisi ini dikenal sebagai Post Holiday Blues.
Fenomena Post Holiday Blues atau PHB bukan sekadar perasaan sedih sepulang liburan. Fahmi Fotaleno, seorang peneliti, dalam Jurnal ISO: Jurnal Ilmu Sosial, Politik dan Humaniora menjelaskan bahwa PHB merupakan gejala psikologis yang muncul akibat transisi emosional dari suasana liburan menuju rutinitas sehari-hari.
Meski bersifat sementara, kondisi ini sering diabaikan karena dianggap wajar dan tidak perlu dibicarakan.
Ketika Liburan Diposisikan sebagai Satu-satunya Jeda
Banyak orang menaruh harapan besar pada liburan. Momen dianggap sebagai waktu untuk bernapas, beristirahat dari tekanan, dan memulihkan diri sepenuhnya. Dalam situasi ini, rutinitas sehari-hari justru dipersepsikan sebagai sumber utama kelelahan. Post Holiday Blues muncul ketika ekspektasi terhadap liburan tidak sejalan dengan realitas setelahnya.
Hal ini dapat dijelaskan melalui Teori Kognisi Sosial yang dikemukakan Albert Bandura. Teori ini menjelaskan bahwa emosi dan perilaku manusia terbentuk melalui interaksi antara pengalaman pribadi, lingkungan sosial, dan proses kognitif.
Ketika liburan dimaknai sebagai satu-satunya momen kebahagiaan, kembalinya rutinitas memicu ketegangan emosional karena harapan tidak terpenuhi. Akibatnya, bukan hanya tubuh yang lelah, tetapi juga pikiran yang merasa kehilangan.
Media Sosial dan Gambaran Liburan yang Terlalu Ideal
Makna liburan saat ini tidak bisa dilepaskan dari media sosial. Linimasa dipenuhi foto perjalanan, kebersamaan keluarga, dan momen bahagia yang tampak utuh. Konten-konten ini membentuk standar tidak tertulis tentang bagaimana liburan seharusnya dijalani.
Dalam perspektif Teori Interaksi Simbolik, liburan telah menjadi simbol kebahagiaan, kebebasan, dan keberhasilan hidup. Fotaleno menjelaskan bahwa simbol-simbol ini dibentuk melalui interaksi sosial dan diperkuat oleh media.
Ketika pengalaman liburan seseorang tidak sesuai dengan simbol yang beredar, muncul perasaan kecewa dan hampa setelah liburan berakhir.
Alih-alih merasa pulih, sebagian orang justru merasa gagal menikmati liburan sebagaimana yang ditampilkan di ruang digital.
Post Holiday Blues Bukan Tanda Lemah
Penting untuk dipahami bahwa Post Holiday Blues bukan tanda kurang bersyukur atau tidak mampu mengelola diri. Kondisi ini merupakan respons psikologis yang wajar terhadap perubahan ritme hidup. Transisi dari suasana santai menuju tuntutan kerja membutuhkan waktu, baik bagi tubuh maupun emosi.
Fotaleno menegaskan bahwa PHB tidak hanya dipicu oleh kelelahan fisik, tetapi juga oleh makna sosial yang dilekatkan pada liburan. Ketika momen ini diposisikan sebagai pelarian, rutinitas otomatis dipersepsikan sebagai beban. Padahal, keduanya merupakan bagian dari kehidupan yang saling melengkapi.
Komunikasi sebagai Ruang Pemulihan Emos
Salah satu temuan penting dalam penelitian tersebut adalah peran komunikasi interpersonal dalam membantu pemulihan emosi pascaliburan.
Berbagi cerita liburan, mengungkapkan rasa lelah, atau sekadar didengarkan oleh orang terdekat dapat membantu individu menyesuaikan diri kembali dengan rutinitas.
Fotaleno menjelaskan bahwa komunikasi tidak hanya berfungsi sebagai sarana bertukar informasi, tetapi juga sebagai ruang aman untuk mengolah emosi.
Percakapan yang suportif membantu individu memberi makna baru pada pengalaman liburan, bukan sebagai pelarian dari hidup, tetapi sebagai jeda yang wajar dalam siklus keseharian.
Dalam konteks ini, membicarakan rasa hampa setelah liburan justru menjadi bentuk perawatan diri.
Mengubah Cara Memandang Liburan dan Rutinitas
Post Holiday Blues memberi pelajaran bahwa mungkin yang perlu diubah bukan rutinitasnya, melainkan cara kita memaknainya. Liburan tidak harus selalu menjadi puncak kebahagiaan, dan rutinitas tidak selalu identik dengan penderitaan.
Dengan membangun ekspektasi yang lebih realistis serta meningkatkan literasi komunikasi dan kesehatan mental, transisi pascaliburan dapat dijalani dengan lebih ringan. Seperti yang ditunjukkan dalam penelitian bahwa pemahaman simbolik dan dukungan komunikasi berperan penting dalam menjaga keseimbangan emosional.
Liburan boleh berakhir. Namun, kepedulian pada kesehatan mental seharusnya tetap berlanjut.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


