cinta estetik media sosial insecure - News | Good News From Indonesia 2025

Cinta Estetik di Media Sosial: Mengapa Membuat Insecure?

Cinta Estetik di Media Sosial: Mengapa Membuat Insecure?
images info

Cinta Estetik di Media Sosial: Mengapa Membuat Insecure?


Pernahkah Kawan merasa hubungan yang dijalani saat ini terasa "kurang" hanya setelah melihat video couple estetik di TikTok atau Instagram? Sering kali, tanpa sadar kita mulai membandingkan kebahagiaan nyata kita dengan konten berdurasi singkat yang lewat di beranda.

Konten bertajuk relationship goals, cara bertukar pesan yang ideal, hingga kado mewah dari pasangan orang lain seolah menjadi standar baru dalam mencintai. Padahal, Kawan perlu menyadari bahwa tidak semua yang tampak berkilau di dunia maya mencerminkan realitas yang sebenarnya.

Fenomena ini bukan tanpa alasan. Peneliti seperti Boyd (2014) menyebutkan bahwa media sosial memang membentuk cara generasi muda memahami kedekatan.

Tantangannya, apa yang ditampilkan di layar sering kali hanyalah potongan momen terbaik (highlight reel), bukan gambaran utuh dari sebuah hubungan yang penuh dinamika dan air mata.

Saat Cinta Berubah jadi Konten

Kawan mungkin menyadari bahwa saat ini ada pergeseran makna dalam hubungan di era digital. Banyak pasangan merasa hubungan mereka harus memiliki "estetika" tertentu agar terlihat harmonis di mata pengikutnya.

Alih-alih mengutamakan kenyamanan berdua saat sedang bersantai, fokus terkadang bergeser pada apakah momen tersebut layak diunggah (post-worthy) atau tidak. Hal ini menciptakan tekanan baru yang sebelumnya tidak pernah ada dalam generasi terdahulu.

Penelitian oleh Fox dan Anderegg (2014) menjelaskan bahwa pasangan sering menggunakan media sosial untuk menjaga citra hubungan mereka di depan publik. Akibatnya, hubungan perlahan berubah menjadi sesuatu yang performatif—seolah-olah Kawan sedang berakting untuk terlihat sempurna demi mendapatkan validasi berupa tanda hati.

Momen spontan seperti bercanda receh atau obrolan santai di warung kopi sering kali dianggap kurang menarik hanya karena tidak memiliki pencahayaan yang bagus atau latar belakang yang estetik.

Dampak Standar Online terhadap Perasaan

Perbandingan terus-menerus ini tanpa sadar menumbuhkan rasa insecure yang mendalam. Melihat pasangan lain yang selalu memberi kejutan besar atau tampil romantis setiap saat membuat sebagian Kawan berpikir bahwa hubungan sendiri "kurang usaha" atau membosankan.

Inilah awal mula munculnya keraguan terhadap pasangan, padahal pasangan kita mungkin sudah memberikan kasih sayang yang luar biasa dalam bentuk yang berbeda.

Menurut Utz dan Beukeboom (2011), media sosial memang memudahkan munculnya rasa cemburu, ketidakamanan, hingga FOMO (Fear of Missing Out) dalam hubungan. Hal sederhana seperti perbedaan cara membalas pesan saja bisa memicu pikiran negatif.

Kawan GNFI mungkin pernah merasa cemas jika pasangan tidak membalas pesan sesingkat pasangan di video viral, padahal setiap orang memiliki kesibukan dan cara unik dalam mengekspresikan rasa cintanya.

Ekspektasi yang berlebihan dari standar dunia maya inilah yang akhirnya memicu konflik yang sebenarnya tidak perlu terjadi dan justru merusak kedamaian batin.

Mengembalikan Keaslian dalam Mencintai

Untuk mengembalikan keaslian dalam sebuah hubungan, sudah saatnya kita berhenti menjadikan konten orang lain sebagai tolok ukur kebahagiaan pribadi. Kawan, setiap hubungan memiliki ritmenya sendiri.

Sebuah hubungan tidak harus selalu terlihat fotogenik dan tidak wajib dipamerkan setiap saat untuk membuktikan bahwa cinta itu ada. Justru, privasi terkadang menjadi bumbu yang membuat sebuah ikatan terasa lebih sakral dan eksklusif.

Hal-hal kecil yang tidak tertangkap kamera justru sering kali menjadi fondasi yang lebih kuat, seperti:

  • Obrolan Jujur: Saling terbuka mengenai perasaan tanpa perlu memikirkan opini orang lain.

  • Tertawa Bersama: Menikmati momen sederhana dan lucu yang hanya dimengerti oleh Kawan dan pasangan.

  • Saling Pengertian: Memberi ruang bagi pasangan untuk menjadi dirinya sendiri tanpa tekanan standar media sosial.

  • Kehadiran Utuh: Meletakkan ponsel saat sedang bersama untuk benar-benar menikmati waktu berkualitas.

Cinta yang natural sejatinya tidak butuh pembuktian melalui jumlah likes atau views. Media sosial memang bisa menjadi sumber inspirasi untuk memberikan kejutan bagi pasangan. Namun, jika dijadikan standar mutlak, hubungan Kawan justru akan kehilangan jiwanya. Tidak semua momen indah harus diabadikan dan dibagikan secara instan.

Kesimpulannya, yang paling penting adalah bagaimana Kawan dan pasangan saling merasa nyaman dan dicintai, bukan bagaimana dunia melihat hubungan tersebut melalui layar kaca. Mari kita mulai menghargai proses yang tidak sempurna tetapi nyata, karena kebahagiaan yang sejati tidak membutuhkan filter tambahan.

Bagaimana menurut Kawan, apakah membatasi paparan konten relationship goals bisa membuat Kawan lebih bersyukur dengan pasangan yang ada saat ini?

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AP
KG
Tim Editorarrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.