mengenal sistem hidup masyarakat kampung adat miduana di selatan cianjur - News | Good News From Indonesia 2025

Mengenal Sistem Hidup Masyarakat Kampung Adat Miduana di Selatan Cianjur

Mengenal Sistem Hidup Masyarakat Kampung Adat Miduana di Selatan Cianjur
images info

Mengenal Sistem Hidup Masyarakat Kampung Adat Miduana di Selatan Cianjur


Indonesia dibangun dari keberagaman. Suku, bahasa, dan adat hidup berdampingan dalam satu ikatan kebangsaan. Prinsip itu dirangkum dalam Bhinneka Tunggal Ika. Di balik semboyan tersebut, setiap komunitas adat sejatinya menjaga nilai-nilai luhur yang menjadi penopang kehidupan bersama, baik antar-manusia maupun dengan alam sekitarnya.

Nilai inilah yang dalam kajian antropologi disebut sebagai kearifan lokal. Bukan hanya sekadar tradisi, kearifan lokal berfungsi sebagai pedoman hidup, sistem nilai yang mengatur hubungan sosial, tata kelola lingkungan, hingga cara manusia memaknai perubahan zaman.

Meski demikian, budaya bukanlah entitas yang kaku. Ia terus bergerak seiring dengan dinamika masyarakat. Di era globalisasi, teknologi informasi, dan laju urbanisasi masa kini, pergeseran nilai menjadi hal yang sulit dihindari. Oleh karena itu, proses adaptasi dan penyesuaian pun mutlak terjadi.

baca juga

Jawa Barat dan Tantangan Multikulturalisme

Sebagai provinsi penyangga Ibu Kota Negara, Jawa Barat mengalami tingkat mobilitas sosial yang tinggi. Multikulturalisme tidak hanya dipicu oleh migrasi penduduk antardaerah, tetapi juga melalui masuknya budaya global. Dampaknya terasa hingga ke struktur bahasa Sunda, pola relasi sosial, dan cara masyarakat memandang otoritas adat.

Dalam konteks ini, komunitas adat menjadi ruang penting untuk membaca bagaimana tradisi mampu bertahan, bernegosiasi dengan modernitas, atau justru tergerus zaman. Kabupaten Cianjur termasuk wilayah yang masih menyimpan komunitas adat dengan karakter budaya yang kuat. Salah satunya adalah Kampung Adat Miduana di Desa Balegede, Kecamatan Naringgul.

Pemerintah Kabupaten Cianjur sendiri telah mendorong upaya revitalisasi kampung adat. Tujuannya untuk tetap menghidupkan kembali peran tokoh adat dalam pemerintahan lokal, pembangunan, dan pelayanan masyarakat. Upaya ini menjadi penting di tengah kompleksitas kehidupan sosial modern.

baca juga

Miduana, Kampung di Antara Dua Sungai

Salah satu kampung adat yang dilestarikan oleh Pemprov Jabar adalah Kampung Miduana. Nama Miduana berasal dari kata midua yang berarti terbagi dua. Istilah ini merujuk pada posisi kampung yang berada di antara dua aliran Sungai Cipandak, yakni Cipandak Girang dan Cipandak Hilir, yang kemudian menyatu. Sungai ini dikenal berarus landai dan menjadi sumber kehidupan warga.

Kampung Adat Miduana menyimpan jejak sejarah berupa sejumlah situs purbakala yang diyakini berasal dari masa Sunda kuno. Salah satunya Batu Rompe, sebuah situs yang berasal dari sisa menhir yang diyakini berusia ribuan tahun, dan Arca Cempa Larang Kabuyutan yang dipercaya sebagai peninggalan Sunda yang berusia lebih dari 2.000 tahun. Ada pula Goa Ustralia atau Goa Australia, meski aksesnya cukup menantang.

Secara administratif, Kampung Adat Miduana berada di wilayah seluas sekitar 1.041 hektare, terdiri dari 11 RT dan 4 RW. Penduduknya berjumlah sekitar 1.207 jiwa yang tersebar dalam 280 kepala keluarga. Sebagian besar warga menggantungkan hidup pada sektor pertanian dan masih memegang tetekon, yaitu aturan tradisional dalam mengelola sawah dan ladang secara turun-temurun.

Tetekon bukan sekadar teknik bertani. Ia mencakup etika mengolah tanah, waktu tanam, hingga relasi spiritual antara manusia dan alam. Meski sebagian warga kini berdagang atau membuka usaha kecil, pertanian tetap menjadi poros kehidupan Miduana.

baca juga

Jejak Sejarah dari Pajajaran

Menurut penuturan kokolot adat Kampung Adat Miduana, Abah Yayat, wilayah Balegede tidak bisa dilepaskan dari dua tokoh kembar: Eyang Jagat Nata dan Eyang Jagat Niti. Keduanya disebut sebagai keturunan Kerajaan Pajajaran yang membuka pemukiman baru untuk menghindari kemelut menjelang runtuhnya Kerajaan Sunda.

Mereka mendirikan Balegede (dari kata bale gede atau bale ageung) sebagai tempat pertemuan besar (pasamoan). Dari garis keturunan Eyang Jagat Niti lahirlah Eyang Jiwa Sadana, tokoh yang membuka Dusun Miduana dengan istilah Jogol Alas Roban, yang berarti membuka hutan belantara untuk pemukiman.

Pada awalnya, Miduana hanya dihuni sembilan kepala keluarga. Jumlah ini kelak dikenang dalam sistem adat Dongdonan Wali Salapan, yang menjadi fondasi spiritual dan sosial masyarakat setempat.

baca juga

Dongdonan Wali Salapan: Kitab Tak Tertulis

Masyarakat Miduana mengenal Dongdonan Wali Salapan, sebuah pedoman adat yang tidak dibukukan, tetapi dihafal oleh para kokolot. Istilah ini berarti “Petunjuk Sembilan Wali”. Isinya mencakup doa-doa buhun, mantra, dan tuntunan hidup dalam bertani, beternak, menikah, hingga berinteraksi dengan alam.

Di dalamnya terkandung larangan (pamali) yang berfungsi menjaga keseimbangan lingkungan. Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa selalu diletakkan sejajar dengan kewajiban merawat alam. Sederhananya, melanggar alam berarti melanggar tatanan hidup bersama.

baca juga

Ritual, Pertanian, dan Siklus Hidup

Dalam kehidupan sehari-hari, warga Miduana masih menjalankan berbagai ritual adat, baik secara pribadi maupun komunal. Doa dan jampe dibacakan saat memulai aktivitas, menanam padi (ngaseuk), memupuk (ngaberak), memanen, hingga mencari ikan (lintar).

Salah satu ritual penting adalah Mandi Kahuripan yang dilaksanakan di Sungai Cipandak pada bulanMuharram. Prosesi ini dipimpin kokolot adat dan diikuti warga sesuai kelompok Dongdonan Wali Salapan. Pada momen ini, sungai tidak boleh dikotori. Larangan membuang sampah dan kencing di sungai ditegaskan langsung oleh kokolot sebagai bentuk pendidikan ekologis berbasis adat.

Selain itu, ada Opatlasan Mulud yang digelar setiap 14 Mulud. Forum ini menjadi ruang musyawarah adat untuk mengingat kembali wejangan karuhun dan mantra utama agar tidak hilang ditelan zaman.

baca juga

Seni Tradisi yang Kian Langka

Miduana juga dikenal memiliki kekayaan seni tradisi. Wayang Gejlig, Nayuban, dan Lais adalah kesenian khas yang hidup di kampung ini. Wayang Gejlig merupakan pertunjukan pewayangan dengan gamelan lengkap, dimainkan oleh warga. Namun kini mulai jarang dipentaskan karena minim regenerasi dan pembinaan.

Lais, kesenian ketangkasan di atas tali setinggi hingga 20 meter, menjadi simbol keberanian dan keterampilan. Ia tidak hanya hiburan semata, tetapi juga latihan fisik dan mental bagi pemuda.

baca juga

Revitalisasi Kampung Adat Miduana

Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi dalam kunjungannya di Kampung Adat Miduana berencana melakukan revitalisasi. Ia berulang kali menegaskan bahwa revitalisasi kampung adat harus dimulai dari merawat alam. Kawasan perkebunan teh dan hutan yang dilalui disebutnya sebagai fondasi ekologis Jawa Barat. Akar tanaman teh, hutan lindung, dan tutupan vegetasi menjadi sistem alami penahan banjir dan longsor.

Salah satu agenda paling konkret dalam kunjungan tersebut adalah revitalisasi hunian warga. KDM mencermati bahwa sebagian rumah di Kampung Adat Miduana masih berada dalam kondisi tidak layak. KDM merancang skema revitalisasi yang mengikat kesejahteraan warga dengan tanggung jawab ejologis. Warga yang mampu melakukan penanaman pohon di lahan kritis seluas satu hektar akan memperoleh satu unit rumah layak huni.

Ini artinya, revitalisasi fisik kampung berjalan beriringan dengan rehabilitasi hutan dan lahan.

baca juga

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Aslamatur Rizqiyah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Aslamatur Rizqiyah.

AR
Tim Editorarrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.