Di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, terdapat sebuah bangunan tradisional yang hingga kini masih berdiri kokoh meski usianya sudah lebih dari 300 tahun. Rumah adat tersebut dikenal dengan namaRumah Panjalin, sebuah rumah panggung yang sarat dengan nilai sejarah sekaligus legenda masyarakat setempat.
Mengutip laman direktoripariwisata.id, rumah adat Panjalin pertama kali didirikan oleh Raden Sanata, keturunan Kerajaan Talaga Manggung pada abad ke-18. Dikisahkan bahwa Raden Sanata merupakan murid di Pondok Pesantren Pager Gunung, yang letaknya tidak jauh dari Kampung Panjalin, Desa Panjalin, Kecamatan Cikijing, Majalengka.
Cerita menjadi semakin menarik ketika Raden Sanata jatuh hati kepada Putri Seruni, anak dari Raja Syahrani atau Pangeran Atas Angin, yang merupakan murid Sunan Gunung Jati. Namun, restu untuk menikahi sang putri tidak datang dengan mudah.
Pangeran Atas Angin mengajukan sebuah syarat berat: Raden Sanata diminta menebas habis hutan rotan yang kala itu masih lebat. Dengan penuh tekad, ia akhirnya berhasil melaksanakan syarat tersebut. Setelah itu, sebuah rumah panggung dibangun dan kemudian dikenal sebagai Rumah Adat Panjalin.
“Raden Sanata akhirnya bisa memenuhi syarat itu, kemudian dibangunlah sebuah rumah panggung. Rumah panggung itulah yang saat ini menjadi Rumah Adat Panjalin,” tutur Iyang Saeful Ikhsan, juru bicara Rumah Adat Panjalin, seperti dikutip Detik.
Saksi Penyebaran Islam
Rumah Panjalin tidak hanya menjadi bangunan bersejarah, tetapi juga saksi penting perjalanan penyebaran Islam di Jawa Barat. Merujuk catatan Napak Jagat Pasundan, rumah adat ini konon dibangun hanya dengan menggunakan satu batang pohon jati. Keunikan lainnya, pohon jati tersebut tidak ditebang habis, sebab akar pohon masih tertanam di bawah bangunan hingga sekarang.
Selain itu, rumah adat ini juga dikaitkan dengan peran besar Sunan Gunung Jati, atau Syekh Syarif Hidayatullah, dalam menyebarkan ajaran Islam di wilayah Majalengka.
“Rumah adat ini dibangun pada zaman Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Ini (Rumah Adat Panjalin) jadi saksi bisu penyebaran Islam di Majalengka,” jelas Saeful.
Peran dalam Perang Kedongdong
Nilai historis Rumah Panjalin tidak berhenti sampai di situ. Pada awal abad ke-19, bangunan ini juga menjadi saksi bisu perlawanan rakyat terhadap penjajah Belanda. Dalam catatan sejarah, sekitar tahun 1812 hingga 1816, pecah pertempuran yang dikenal sebagai Perang Kedongdong antara pasukan rakyat Ki Bagus Rangin melawan kolonial Belanda.
Saeful menuturkan bahwa Rumah Panjalin menjadi lokasi persembunyian pasukan Ki Bagus Rangin saat pertempuran berlangsung.
“Ketika Perang Kedongdong rumah ini tempat ngumpetnya pasukan Ki Bagus Rangin. Saat itu gerombolan kolonial menyerang, namun mereka tidak melihat apapun saat sampai di rumah ini, jadi seolah-olah pasukan Ki Bagus Rangin tidak terlihat dan dilindungi,” ungkapnya.
Pesan Leluhur di Dinding Rumah
Selain menyimpan sejarah besar, Rumah Panjalin juga menyimpan pesan moral dari para leluhur. Di salah satu dinding kayu rumah, ditemukan sebuah tulisan berbunyi “Mutus Karuhun, Megat Katurunan” yang ditulis secara melingkar, dengan kata “Munafek” di bagian tengahnya.
Pesan itu mengandung arti mendalam: warisan leluhur harus dijaga, dan siapa pun yang memutus tali silaturahmi dianggap sebagai orang munafik. Nilai filosofis inilah yang membuat Rumah Panjalin bukan sekadar bangunan fisik, melainkan simbol kearifan lokal masyarakat Majalengka.
Rumah Panjalin Kini Jadi Cagar Budaya
Seiring berjalannya waktu, Rumah Panjalin ditetapkan sebagai salah satu cagar budaya Kabupaten Majalengka. Bentuk arsitekturnya disebut memiliki kemiripan dengan rumah adat Minahasa, meski struktur utamanya tetap berupa rumah panggung khas Sunda.
Kini, fungsi rumah ini lebih banyak digunakan untuk kegiatan budaya. Setiap tahun, masyarakat Panjalin kerap menggelar acara adat di sana, seperti peringatan hari jadi desa, upacara guar bumi, hingga syukuran musim tanam.
“Sekarang cuma dipakai acara tahunan saja, misalnya hari jadi Panjalin, saat guar bumi atau musim tanam, baru rumah ini ramai oleh warga kumpul di sini buat menggelar syukuran,” tambah Saeful.
Penutup
Dengan usianya yang telah mencapai lebih dari tiga abad,Rumah Panjalin tidak hanya menyimpan kisah cinta, tapi juga menjadi simbol perlawanan, pusat dakwah Islam, serta warisan budaya yang harus dijaga. Kehadirannya menjadi bukti nyata bahwa Majalengka memiliki kekayaan sejarah dan kearifan lokal yang tak ternilai, sekaligus aset penting dalam menjaga identitas budaya Sunda di tengah perkembangan zaman.
Sumber:
- Rumah Adat Penjalin, Saksi Bisu Penyebaran Islam di Majalengka
- Sejarah Unik Rumah Adat Panjalin di Majalengka, Berusia 300 Tahun dan Dibangun hanya dengan 1 Batang Pohon
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News