“Ayahku ada, tapi rasanya nggak pernah benar-benar tau aku itu siapa.” Kalimat seperti itu mungkin terdengar sederhana, tapi nyatanya mewakili perasaan banyak remaja di Indonesia. Fenomena ayah yang “ada tapi tidak hadir” bukan sesuatu yang langka, justru sangat dekat dengan realita keluarga kita. Banyak anak tumbuh dengan ayah yang ada di rumah, tetapi tidak terlibat dalam keseharian atau perasaan mereka.
Istilah fatherless memang belum seterkenal broken home, padahal dampaknya sama seriusnya. Data yang dikutip Saif dalam Fajarrini & Nasrul (2023) bahkan menunjukkan Indonesia dijuluki sebagai negara fatherless nomor tiga di dunia. Bukan karena ayahnya hilang, tapi kerena keterlibatan emosional yang minim dalam pengasuhan.
Akibatnya, banyak remaja menjalani masa tumbuh embang yang terasa timpang karena kehilangan sosok panutan, merasa tidak aman, dan seringkali harus mencari pijakan sendiri. Ini bukan drama remaja, melainkan tanda bahwa kebutuhan emosional mereka tidak terpenuhi sejak awal.
Ketika ayah tidak hadir secara emosional, fase pencarian jati diri remaja jadi makin berat. Masa remaja sudah identik dengan kondisi yang rapuh dan mudah goyah, jadi mereka sebenarnya butuh tempat aman untuk bercerita, didengarkan, dan dibimbing saat mengambil keputusan. Tanpa itu, banyak remaja akhirnya mencari pelarian yang kurang sehat, mulai dari pergaulan yang tidak selektif sampai hubungan yang impulsif. Situasi ini makin parah kalau di rumah tidak ada komunikasi yang hangat dari keluarga. (Bimbingan et al., 2025)
Tulisan ini membahas bagaimana ayah yang “ada tapi tak hadir” dapat membentuk pola pikir, rasa percaya diri, pilihan hubungan remaja, dan pencarian role model sekaligus memberikan gambaran solusi untuk membangun pola relasi yang lebih sehat.
Waktu Ayah Jauh Secara Emosi, Pikiran Anak Ikut Kena
Menurut Abdullah dalam Hanifah et al. (2024) ayah yang terlibat langsung dalam pengasuhan puna pengaruh besar untuk perkembangan anak. Riset University of New Jersey juga menunjukkan bahwa anak yang sering berinteraksi dengan ayahnya lewat ngobrol, bermain, atau aktivitas kecil lainnya memiliki IQ lebih tinggi dan lebih berani menjalani hidup. Sejalan dengan hal tersebut Nurhayani dan Fauzana dalam Hanifah et al. (2024) menambahkan bahwa lewat kehadiran ayah, anak belajar empati, hubungan sosial, dan kasih sayang.
Sebaliknya, ketika ayah tidak menjalankan perannya, anak lebih rentan merasa rendah diri, mudah stres, kesepian, dan kesulitan mengambil keputusan. Anak juga bisa tumbuh jauh lebih berani menghadapi hidup ketika mereka merasa ada ayah yang benar benar mendampingi (Fajarrini & Umam, 2023).
Relasi Dewasa Ikut Kena: Dari Cinta sampai Pergaulan
Pernahkah kamu melihat temanmu yang selalu ribet dengan relasi romantisnya? Menurut Brown dalam Romantis (2024) menjelaskan bahwa anak perempuan membangun hubungan di masa dewasa berdasarkan begaimana mereka dulu belajar dicintai. Dari keluargalah mereka mendapat gambaran awal tentang cinta yang kadang terlihat ideal, tapi sebenarnya rapuh dan melukai.
Dari situ Diananda dalam Hasna & Syarifah (2025) menambahkan bahwa pengalaman seperti ini bias membentuk pola kelekatan (attachment) yang tidak aman seperti, mudah cemas (anxiety) atau justru menarik diri (avoidant). Itu sebabnya muncul perilaku seperti cepat overthinking saat chat telat balas, atau menjauh ketika hubungan mulai dekat.
Bukan karena mereka bermasalah, tetapi karena sejak kecil mereka tidak punya ruang aman untuk merasakan cinta yang tulus dan tanpa syarat.
Kehilangan Role Model & Pencarian Figur Laki-Laki Pengganti
Diananissa dalam Hasna & Syarifah (2025) menyatakan bahwa, anak perempuan yang mengalami fatherless akan mengalami kecemasan terhadap komitmen serta kesulitan menentukan standar pasangan hidup karena tidak punya figur ayah yang bisa dijadikan panutan atau role modelnya.
Mereka sering kali ragu ketika harus mempercayai orang lain (trust issue), atau justru menurunkan standar hanya demi merasakan kehadiran figur laki-laki yang selama ini hilang. Situasi ini sering terbawa hingga dewasa dan memengaruhi keputusan dalam memilih pasangan maupun membangun hubungan jangka panjang.
Pada akhirnnya, emotional absense seorang ayah meninggalkan jejak nyata pada pola pikir dan hubungan seorang anak perempuan. Untuk itu, penting untuk memahami dampak yang ditimbulkan agar dapat diantisipasi akibat negatifnya serta membuka pintu perubahan. Dari memahami akar masalahnya, kita dapat belajar tumbuh tanpa terus terikat oleh bayangan masa lalu.
Untuk memutus rantai dampak negatif dari absennya peran emosional ayah, inilah langkah-langkah yang bisa diambil oleh keluarga maupun remaja itu sendiri:
Membangun Komunikadi Dialogis dalam Keluarga
Keluarga perlu menciptakan kumunikasi yang hangat dan terbuka. Ayah harus mulai terlibat dalam aktivitas sederhana seperti mengobrol atau bermain untuk meningkatkan kepercayaan diri dan kemampuan sosial anak, ini juga membantuanak belajar empati dan merasa punya tempat aman untuk bercerita
Literasi Pengasuhan bagi Orangtua
Penting bagi ayah untuk memahami bahwa perannya bukan sekadar menari nafkah, tetapi juga pendamping emosional. Kesadaran akan dampak fatherless terhadap pembentukan karakter anak dapat mendorong ayah untuk lebih hadir secara utuh dalam keseharian anak.
Self-Healing dan Membangun Standar Relasi yang Sehat
Bagi remaja perempuan, memahami bahwa luka masa lalu tidak menentukan masa depan adalah langkah awal yang penting. Remaja perlu belajar mengenali pola kelekatan (attachment) mereka agar tidak terjebak dalam hubungan yang impulsif atau trust issue. Mencari mentor atau figur pelindung lain yang positif bisa membantu mengisi kekosongan role model.
“Luka dari ayah dapat membentuk kita, namun bukan itu yang harus menentukan ke mana kita melangkah.”
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


