Di bawah bayangan penanya, Sultan Hasanuddin hanya bisa tertunduk melihat kerajaan yang telah dibangun lewat darah dan keringat para leluhurnya harus takluk pada VOC melalui Perjanjian Bongaya pada tahun 1667.
Ada dendam yang tertanam di dalam sanubarinya, terlebih saat mengetahui keterlibatan Arung Palakka di balik jatuhnya Kerajaan Gowa. Namun, apa mau dikata, perjanjian ini telah menjadi titik awal tenggelamnya Kerajaan Gowa dari sisa-sisa peradaban yang pernah dibangunnya.
Namun, apa yang menyebabkan jatuhnya kerajaan terbesar di Indonesia Timur ini? Mengapa Arung Palakka yang notabene adalah orang asli Sulawesi malah berbalik arah menyerang saudara sebangsanya? Mari menyelami sejarah bersama!
Konflik Kerajaan Gowa-Bone: Berawal dari Dominasi, Berakhir dengan Islamisasi
Gowa dan Bone adalah dua kerajaan paling terbesar dalam sejarah Sulawesi. Maka tidak heran, jika keduanya seringkali terlibat konflik untuk berebut pengaruh, khususnya terhadap kerajaan-kerajaan kecil untuk memperluas wilayah kekuasaan.
Dikutip dari buku Najamuddin, dkk., yang berjudul “Sulawesi Selatan Tempo Doeloe”, Bone membentuk aliansi bersama Soppeng dan Wajo yang disebut sebagai Tellumpoccoe yang bertujuan untuk membendung pengaruh Gowa. Sayangnya, aliansi ini harus tumbang tidak lama setelah pengaruh Islam masuk ke Sulawesi pada awal abad ke-17.
Semua ini bermula saat Gowa, Kerajaan Islam pertama di Sulawesi, berinisiatif untuk mengajak kerajaan lain memeluk Islam secara damai.
Namun, kerajaan-kerajaan seperti Tellumpoccoe menolak dengan cara yang menyinggung perasaan Sultan Alauddin yang saat itu memegang kekuasaan di Gowa.
Gayung tak bersambut dibalas dengan senjata. Sultan Alauddin menggemakan Musu Asellengeng (Perang Islam) yang membawa misi menaklukkan Tellumpoccoe yang dimulai pada tahun 1607.
Dua tahun pertama pertempuran tidak membuahkan hasil bagi Gowa. Namun, pada tahun 1609, dengan persiapan yang lebih baik, Gowa berhasil memenangkan pertempuran. Selayaknya efek domino, kemenangan ini membuka jalan bagi Gowa untuk menaklukkan Kerajaan Soppeng (1609), Wajo (1610), dan yang terakhir, Bone (1611). Hal ini menjadi titik awal Kerajaan Gowa sebagai penguasa tunggal di Sulawesi Selatan.
Perang Makassar 1666—1669: Kehadiran Arung Palakka dan Strategi ‘Devide et Impera’ VOC
Kemenangan Gowa bukan berarti akhir dari cerita. Bone diam-diam menaruh dendam atas kekalahannya, terlebih perlakuan Gowa terhadap rakyat Bone membuat bangsawannya geram dan melakukan perlawanan.
Berdasarkan Jurnal Walasuji, titik balik perlawanan dimulai dari Arung Palakka, seorang pangeran Bone yang kabur dari pemberontakan dan bersembunyi di Buton untuk meminta bantuan kepada VOC.
VOC yang juga terlibat konflik perdagangan rempah-rempah dengan Gowa (yang saat itu dipimpin oleh Sultan Hasanuddin) melihat potensi cemerlang beliau untuk mengalahkan Gowa.
Maka mulailah strategi Devide et Impera (Politik Adu Domba) VOC guna ‘memanasi’ jiwa masyarakat Bone yang lelah di bawah kendali Gowa untuk melakukan pemberontakan.
Bersumber dari buku Sutrisno, K., & Mardanas, S., yang berjudul “Sultan Hasanuddin”, tepat 24 November 1666, VOC yang dipimpin oleh Speelman bersama Kerajaan Bone, Buton, Ternate, dan Ambon berlayar menuju Makassar dengan kekuatan 1711 pasukan.
Dengan besarnya kekuatan armada dan persenjataan yang modern, VOC mulai menyerang Gowa. Mulai dari Taro, menuju Panju, Bantaeng, dan Jeneponto, VOC bersama sekutunya berhasil membumihanguskan daerah kekuasaan Gowa sedikit demi sedikit, khususnya di Jeneponto, sumber pangan yang penting bagi Gowa.
Setelah ‘menggertak’ di sudut-sudut kerajaan, VOC mengambil kesempatan untuk menyerang Somba Opu, pusat kekuasaan Kerajaan Gowa. Pasukan Ternate dan Soppeng bertugas menyerang Somba Opu dari utara, sedangkan Arung Palakka bersama pasukan Bone menyerang sisi selatan, dan armada induk yang dikendalikan langsung oleh Speelman menyerang dari arah barat.
Gowa terkepung, tetapi bermodalkan senjata meriam, mereka berhasil mengusir para musuh sementara waktu. Hal ini membuat VOC terdesak, terlebih banyaknya pasukan yang jatuh sakit dan bahan pangan yang kian menipis.
Speelman akhirnya meminta bantuan dari Maluku sebelum kembali menyerang Gowa dan berhasil menaklukkan Benteng Barombong (salah satu benteng terpenting Gowa) pada 23 Oktober 1667.
Hal ini membuat Sultan Hasanuddin melunak, terlebih saat melihat banyaknya rakyat Gowa yang menjadi korban. Sehingga, saat VOC meminta ‘damai’, beliau terpaksa menyambut ide tersebut dengan berat hati.
Perjanjian Bongaya 1667: Takluknya Sultan Hasanuddin dan Dimulainya Monopoli Perdagangan VOC di Indonesia Timur
Tepat 13 November 1667, diskusi ‘gencatan senjata’ akhirnya dimulai dengan perwakilan dari masing-masing pihak Gowa dan VOC.
Gowa menjadi pihak yang terdesak, mengingat tuntutan VOC lebih merugikannya, seperti melepaskan sedikit demi sedikit daerah kekuasaan, tunduk pada kebijakan VOC dan menyerahkan kendali perdagangan rempah-rempah di Indonesia Timur yang telah dikuasai Gowa setelah sekian lama.
Dikutip dari IDN Times Sulsel, perundingan berlangsung selama kurang lebih 4 hari dengan banyaknya dinamika yang terjadi, mulai dari bangsawan dan rakyat Gowa yang memilih berpihak pada VOC hingga jengahnya Speelman dengan diskusi yang alot sebelum menjatuhkan ultimatum untuk menyelesaikan perjanjian pada 18 November 1667.
Sultan Hasanuddin tak gentar, walaupun pada akhirnya turut hadir dalam pengesahan perjanjian antar kedua belah pihak. Beliau membubuhkan tanda dalam sebuah lembaran yang memuat 30 poin perjanjian yang mendesak Kerajaan Gowa untuk:
- Melepaskan kendali kekuasaan terhadap kerajaan yang telah ditaklukkannya, khususnya Kerajaan Bone yang kelak dikuasai Arung Palakka.
- Mengakui dan memberikan kendali perdagangan rempah-rempah untuk dimonopoli oleh VOC dan sekutunya.
- Penyerahan Benteng Ujung Pandang (yang kelak diganti menjadi Benteng Fort Rotterdam) kepada pihak VOC serta penghancuran benteng-benteng Kerajaan Gowa, kecuali Benteng Somba Opu yang menjadi pusat kerajaan.
- Pergerakan Kerajaan Gowa di bidang maritim dibatasi, termasuk memerlukan izin VOC untuk berlayar dengan daerah jelajah yang terbatas.
- VOC menjadi satu-satunya pihak asing yang berhak melakukan perdagangan di Indonesia Timur.
- Ganti rugi kepada VOC selama Perang Makassar berlangsung.
Hal ini menandai takluknya Sultan Hasanuddin takluk dan jatuhnya kendali ekonomi Sulawesi di tangan VOC. Walaupun demikian, Sultan Hasanuddin tetap memperjuangkan eksistensi Kerajaan Gowa melalui berbagai pemberontakan. Sayangnya, perjuangan itu usai pasca jatuhnya Benteng Somba Opu pada tanggal 24 Juni 1669.
Perang Makassar akhirnya selesai secara resmi dan membuat Sultan Hasanuddin menyerahkan kekuasaannya pada anaknya, Sultan Amir Hamzah, sebelum akhirnya wafat pada 12 Juni 1670.
Demikian proses lahirnya perjanjian Bongaya yang telah menaklukkan kerajaan paling berjaya di Sulawesi. Hal ini menjadi bukti besarnya pengaruh strategi ‘Divide et Impera’ yang dilakukan VOC pada awal kekuasaannya di Indonesia untuk menjatuhkan kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Walaupun demikian, perjuangan Sultan Hasanuddin tetap melegenda sebagai ‘ayam jantan dari timur’ dan menjadi sumber perjuangan rakyat sulawesi melawan penjajah. Selamat merefleksikan sejarah!
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


