Marsellinus Wellip adalah sosok yang selama bertahun-tahun menjadi satu-satunya tenaga medis yang menjangkau kampung-kampung terpencil di Distrik Towe, Kabupaten Keerom. Dedikasi tersebut mengantarkannya meraih SATU Indonesia Awards 2014 kategori Kesehatan.
Sebagai informasi, kawasan Towe bukan sekadar “pelosok”. Di peta, wilayah ini muncul sebagai titik-titik kecil yang dilingkari batas hijau hutan. Untuk mencapai Kampung Bias, Lules, Tefalma, Terfones, atau Towe Atas, perjalanan kaki bisa memakan waktu berjam-jam, bahkan berhari-hari bila cuaca buruk. Tidak ada jalur kendaraan memadai. Sebagian besar akses hanyalah jalan setapak yang mengular melewati sungai dan tebing berbatu.
Dalam kondisi seperti inilah Marsellinus menjalankan tugasnya. Ia tidak menunggu pasien datang ke puskesmas. Ia yang mendekat. Membawa kotak obat di punggung, menyusuri rute yang sama dengan warga untuk berburu, berkebun, atau mencari kayu.
Ia membaur dengan kehidupan sehari-hari masyarakat adat agar keberadaan tenaga kesehatan tidak terasa formal dan berjarak. Pendekatan inilah yang kemudian membuat penyuluhan kesehatan diterima lebih mudah oleh warga.
Pelayanan kesehatan yang diberikannya mencakup nyaris semua hal mendasar, contohnya imunisasi, edukasi posyandu, perawatan luka, penanganan penyakit umum, hingga penyuluhan kebiasaan hidup bersih.
Di wilayah yang jumlah penduduknya mencapai hampir dua ribu jiwa, kehadiran seorang mantri seperti Marsellinus berarti perbedaan besar antara kesehatan yang layak dan keterbatasan layanan sama sekali.
Kondisi geografis yang ekstrem membuat kehadiran tenaga medis jarang, dan di banyak kesempatan, Marsellinus menjadi satu-satunya rujukan kesehatan bagi warga.
Kembali ke masa lalu, hal yang memotivasinya untuk menjadi tenaga kesehatan adalah manakala ayahnya sakit. Dirinya merasakan betapa kesulitannya mendapatkan pengobatan karena akses yang tidak memadai. Namun, beruntung salah satu mantri yang dihubungi bersedia melakukan perjalanan jauh untuk mengobati sang ayah.
Bahkan, memastikan proses penyembuhannya berjalan dengan baik dan tulus. Maka dari dedikasi ini, Marsellinus terpacu untuk kelak menjadi mantri seperti itu.
Disebutkan dalam ASTRA, ia tidak mempunyai keinginan lainnya selain menjadi tenaga kesehatan atau jadi perawat, di mana kini telah ia wujudkan.
Setelah lulus dari Akademi Poltekkes Jayapura, dia pernah ditempatkan di sebuah fasilitas kesehatan di distrik lain. Namun, Marsellinus meminta dipindahkan ke kampung halamannya, sebab ia sadar bahwa masyarakat di sana sangat membutuhkan tenaga medis seperti dirinya.
Ketika menerima SATU Indonesia Awards pada 2014, publik untuk pertama kalinya melihat lebih dekat kehidupan pelayanan kesehatan di Towe. Penghargaan tersebut bukan sekadar bentuk apresiasi, tetapi juga jendela bagi masyarakat luas bahwa di pedalaman Papua, layanan kesehatan dasar masih membutuhkan perjuangan fisik dan mental.
Setelah penghargaan tersebut, dukungan lanjutan datang. Salah satunya dengan adanya dua puskesmas plus tenaga medisnya di tahun yang sama. Marsellinus pun diangkat sebagai kepala puskesmas untuk memastikan pengawasannya.
Untuk seorang tenaga medis yang selama bertahun-tahun berjalan kaki menembus hutan belantara, bantuan seperti ini sangat berarti. Transportasi yang lebih memadai mempercepat respon terhadap keadaan darurat di kampung-kampung terpencil.
Kisah Marsellinus juga memperlihatkan bahwa pelayanan kesehatan di pedalaman bukan hanya soal membawa obat. Lebih dari itu, ia menghadirkan pendekatan sosial dan budaya yang selaras dengan kehidupan masyarakat setempat.
Ia duduk bersama warga saat mengunyah pinang, ikut berburu, ikut kegiatan adat, dan memahami kebiasaan masyarakat dalam mengelola lingkungan dan pangan. Dari situlah kepercayaan tumbuh, dan dari kepercayaan itulah pesan kesehatan menjadi lebih mudah diterima.


