Hari Sabtu di pekan pertama bulan November 2025, aku bersama teman-temanku mengikuti acara GNFI Embassy Visit yang diselenggarakan oleh GNFI x Seasia. Kali ini, kedutaan yang kami kunjungi adalah kedutaan Republik Sosialis Demokratik Sri Lanka yang berlokasikan di Jakarta Pusat.
Mula-mula kami dipersilahkan masuk ke gedung kedutaan dan melihat foto-foto lawas terkait hubungan Indonesia dan Sri Lanka. Kami juga melihat buku-buku panduan pariwisata Sri Lanka yang dibagi menjadi beberapa kelompok.
Ada yang membahas tentang festival tahunannya, destinasi alam, dan lain sebagainya. Sembari kami menunggu acara dibuka, kami disuguhi kudapan Sri Lanka berupa manisan.
Rasa dan teksturnya beragam, ada yang rasanya seperti susu sampai yang manis gurih kacang. Selain berbagai manisan, kami juga disuguhi minuman khas Sri Lanka, Ceylon tea.
Ceylon Tea, dari Sejarah ke Setiap Teguk yang Menyegarkan
Ceylon tea merupakan teh hitam yang berasal dari Sri Lanka, dan menurutku, teh ini memiliki aroma dan rasa yang unik. Saat pertama kali aku memegang secangkir teh tersebut di genggamanku, aku kira itu adalah teh manis pada umumnya.
Aku mulai meminumnya sedikit dan menyadari bahwa ada yang berbeda dari teh ini. Aku merasakan segarnya aroma dan rasa buah yang seperti markisa tapi terasa ringan dan tidak asam.
Mereka mencampurkan cukup gula sehingga tehnya tidak terlalu manis, tetapi tidak tawar juga oleh es batu yang meleleh. Justru, es batu yang ditambahkan memberikan sensasi dingin yang menyegarkan.
Sejarah teh ini dimulai pada masa penjajahan Inggris di Sri Lanka. Di bawah jajahan Inggris, negara tersebut dikenal dengan nama Ceylon. Nama ini dipertahankan bahkan setelah Ceylon merdeka dari Inggris pada tahun 1948.
Namun, pada tahun 1972, Ceylon berganti nama menjadi Sri Lanka. Industri utama mereka yang merupakan teh, dihadapkan pada sebuah permasalahan. Ceylon bukan hanya sekadar nama teh, tetapi juga salah satu merek teh terkemuka dunia, sehingga mengganti namanya menjadi ‘Teh Sri Lanka’ akan membutuhkan biaya rebranding yang besar.
Maka dari itu, sampai sekarang teh ini mempertahankan namanya dan masih dikenal dengan nama Ceylon tea. Karena rasa dan sensasinya yang khas, Ceylon tea menjadi komoditas unggulan Sri Lanka dan menjadi salah satu sumber devisa utama negara tersebut.
Pada tahun 2024, nilai ekspor Ceylon tea mencapai sekitar 1,44 miliar dolar AS sehingga menjadikan Sri Lanka sebagai negara pengekspor teh terbesar ke 4 di dunia.
Sebagai orang yang baru mencicipi kemewahan Ceylon tea, aku punya opini yang kuat bahwa teh ini seharusnya bisa lebih populer di Indonesia. Teh ini tentu saja bisa jadi opsi unik lainnya selain teh chamomile, teh hibiscus, atau teh bunga telang.
Kesegaran hint aroma dan rasa buah nya cocok dikonsumsi di bawah langit Indonesia apalagi pada musim panas dan disajikan dalam keadaan dingin.
Namun, pengalaman hari itu tidak berhenti di secangkir teh. Setelah menikmati Ceylon teayang begitu khas, kami diperkenalkan pada aspek budaya lain yang sama menariknya, yaitu tarian tradisional Sri Lanka.
Tarian Tradisional Sri Lanka: Simbol, Ritual, dan Keindahan yang Hidup
Tarian dalam kebudayaan Sri Lanka sangat penting dan memberi makna yang bervariasi, sesuai dengan jenis tariannya. Namun, ada satu gerakan tarian yang aku rasa memiliki makna yang begitu mendalam.
Gerakan tersebut diulang tiga kali dengan sedikit variasi yang disesuaikan dengan pesan yang hendak disampaikan. Pertama-tama para penari akan menyentuh tanah sebagai penghormatan kepada bumi.
Lalu, diteruskan dengan menyentuh dada sebagai simbol penghormatan kepada diri sendiri. Kemudian mereka akan mengatupkan kedua tangan di atas kepala sebagai simbol penghormatan dan rasa syukur kepada Tuhan.
Gerakan tersebut diulang tiga kali dengan perbedaan letak tangan untuk menghormati guru dan orang tua, dan terakhir untuk menghormati para penonton.
Tarian dalam kebudayaan negara ini sangat dekat kaitannya dengan ritual keagamaan masyarakatnya. 70% penduduk Sri Lanka menganut agama Buddha yang menjadikan agama Buddha menjadi agama mayoritas di negara tersebut.
Diikuti oleh Hindu sebesar 12.6%, Islam sebesar 9.7%, Kekristenan 7.4%, dan lainnya masuk ke dalam 1%. Banyak festival di Sri Lanka yang dilakukan untuk menghormati sang Buddha, festival tersebut biasanya diselenggarakan dengan meriah dengan musik dan tarian yang indah.
Semoga suatu saat nanti aku bisa mengunjungi Sri Lanka untuk menikmati sakralnya festival keagamaan di sana.
Dari kunjungan ini, aku belajar bahwa sesederhana cita rasa secangkir teh dan gerakan tarian dapat menceritakan sejarah, budaya, sampai dinamika ekonomi dari sebuah bangsa.
Alat diplomasi tidak selalu harus lewat konferensi meja bundar atau negosiasi politik. Terkadang mempertemukan para muda-mudinya untuk minum teh dan menari bersama bisa menjadi misi diplomasi yang efektif.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


