Di tengah padatnya aktivitas Kota Cimahi yang terus berkembang, masih ada satu sudut yang terasa tenang dan penuh makna: Makam Eyang Sembah Dalem Wirasuta Widjaya di TPU Muslim Cipageran, Kecamatan Cimahi Utara.
Tempat ini bukan sekadar kawasan pemakaman biasa, melainkan jejak hidup seorang tokoh penyebar Islam yang meninggalkan warisan nilai spiritual bagi masyarakat Sunda.
Kisah tentang makam ini menunjukkan bahwa Islam pernah tumbuh di tanah Priangan dengan cara yang damai dan penuh kebijaksanaan yakni melalui budaya, bukan senjata; melalui teladan, bukan kekuasaan.
Keberadaan makam ini membuat kita menyadari bahwa sejarah bukan hanya tentang masa lalu, tetapi tentang nilai-nilai yang tetap hidup di tengah masyarakat.
Dari tempat yang sederhana ini, Kawan GNFI bisa melihat bagaimana ajaran Islam menyatu dengan tradisi Sunda dalam bentuk yang harmonis dan menginspirasi.
Sosok yang Menyebarkan Islam dengan Rendah Hati

Gambar : Dokumentasi pribadi - Yolfani Meilanda
Menurut penuturan Nai, penjaga makam yang merawat situs ini, Eyang Sembah Dalem Wirasuta Widjaya dikenal sebagai ulama penyebar Islam pertama di wilayah Cimahi sekitar abad ke-15 hingga ke-16.
Beliau datang pada masa ketika Islam mulai berkembang dari Cirebon menuju pedalaman Priangan. Berbeda dari banyak tokoh pada masa itu, cara Eyang berdakwah begitu lembut, tanpa paksaan, penuh keteladanan, dan dekat dengan masyarakat.
Masyarakat Sunda menggambarkan kepribadian Eyang dengan ungkapan “nyumput buni di nu caang,” yang berarti “menyembunyikan diri di tengah terang.” Ungkapan ini mencerminkan kerendahan hatinya.
Meskipun ia berasal dari keturunan bangsawan, beliau lebih memilih hidup sederhana dan tidak ingin dikenal karena keturunannya, melainkan karena amal dan ketulusannya. Dari sifat itulah, masyarakat menghormatinya bukan karena gelar, tapi karena keikhlasan dalam menyebarkan kebaikan.
Sikap rendah hati ini menjadi pelajaran penting bagi Kawan GNFI: bahwa kekuatan sejati dalam berdakwah, bekerja, atau berbuat baik justru muncul dari keikhlasan hati, bukan dari nama besar yang kita miliki.
Filosofi di Balik Gapura Kujang
Keanggunan makam ini tampak dari arsitekturnya yang berpadu antara unsur Islam dan budaya Sunda. Gapura utamanya berbentuk seperti gerbang keraton dengan hiasan kujang di bagian atasnya. Dalam pandangan masyarakat Sunda, kujang melambangkan kukuh kana janji—teguh memegang janji dan prinsip hidup.
Simbol kujang ini ternyata selaras dengan ajaran Islam, terutama makna syahadat sebagai janji setia manusia kepada Allah.
Dari sinilah terlihat bahwa penyebaran Islam di tanah Sunda tidak menghapus budaya yang sudah ada, melainkan mengisinya dengan nilai spiritual yang lebih dalam.
Gapura kujang di makam ini seolah mengingatkan bahwa menjaga janji, setia pada nilai, dan berpegang pada iman adalah bagian dari ajaran hidup yang universal.
Melalui simbol ini pula, kita dapat melihat bagaimana masyarakat Sunda dan Islam saling menguatkan. Budaya memberikan bentuk, sementara agama memberikan makna.
Bangunan Makam dan Suasananya

Gambar : Dokumentasi pribadi - Yolfani Meilanda
Memasuki area makam, suasana damai langsung terasa. Di dalam bangunan utama terdapat tiga makam: Eyang Sembah Dalem Wirasuta Widjaya, istrinya Eyang Fatimah Sariwangi, serta satu makam di luar tirai hijau yang diyakini sebagai tangan kanan beliau dalam berdakwah.
Tirai hijau itu bukan sekadar pembatas ruang, melainkan simbol kesucian dan penghormatan. Warna hijau, yang juga menjadi warna identik dalam Islam, melambangkan kehidupan dan ketenangan.
Beberapa nisan di sekitar kompleks ini memiliki bentuk khas abad ke-17, menandakan bahwa kawasan Cipageran sudah menjadi pusat kegiatan keagamaan sejak lama.
Masyarakat sekitar masih sering datang untuk berziarah, membersihkan area makam, dan berdoa—sebuah tradisi yang memperlihatkan keterhubungan antara masa lalu dan masa kini. Dari ziarah itulah nilai penghormatan terhadap leluhur dan cinta terhadap ilmu terus diwariskan.
Makna “Ciri Manusa Hirup” dan Nilai Kehidupan Sunda
Selain sebagai tokoh spiritual, Eyang Wirasuta Wijaya juga diyakini sebagai pelopor perkampungan Cipageran, yang kemudian berkembang menjadi bagian dari Kota Cimahi. Menurut cerita masyarakat, kata “Cimahi” berasal dari frasa Sunda “Ciri Manusa Hirup”, yang berarti “tanda kehidupan manusia.”
Makna ini mengandung filosofi mendalam: bahwa hidup manusia tidak hanya tentang keberadaan jasmani, tetapi juga tentang kesadaran rohani. Pandangan ini sangat sejalan dengan nilai-nilai Islam yang menekankan keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara ilmu dan amal.
Dari sinilah muncul pola hidup masyarakat Sunda yang lembut, religius, dan mencintai keseimbangan.
Melalui sosok Eyang Wirasuta Widjaya, kita dapat melihat bagaimana nilai-nilai Islam diterjemahkan ke dalam bahasa budaya, menjadikan dakwah terasa akrab dan membumi di hati masyarakat.
Pelajaran dari Warisan Spiritual
Makam Eyang Sembah Dalem Wirasuta Widjaya bukan hanya tempat bersejarah, tetapi juga ruang refleksi bagi siapa pun yang ingin memahami bagaimana Islam hidup berdampingan dengan budaya lokal. Dari setiap detail arsitekturnya, dari setiap kisah yang dituturkan penjaga makam, tersimpan pelajaran tentang ketulusan, kesabaran, dan penghormatan terhadap sesama.
Bagi Kawan GNFI, nilai-nilai ini terasa sangat relevan hari ini, di tengah dunia yang serba cepat, ketika banyak orang lupa bahwa kebijaksanaan sejati lahir dari hati yang tenang.
Kisah Eyang mengingatkan kita bahwa kekuatan Islam di Nusantara justru terletak pada kelembutan, bukan kekerasan; pada teladan, bukan paksaan.
Melihat lebih dekat Makam Eyang Sembah Dalem Wirasuta Wijaya berarti belajar tentang sejarah yang hidup di sekitar kita. Di tempat yang sederhana ini, tersimpan pesan abadi tentang kerendahan hati, komitmen terhadap kebenaran, dan kesetiaan pada nilai-nilai keimanan.
Warisan beliau menjadi bukti bahwa Islam dan budaya Sunda dapat berjalan seiring, saling memperkaya tanpa saling meniadakan. Bagi Kawan GNFI, makam ini bukan hanya destinasi religi, melainkan juga pengingat bahwa kedamaian, penghormatan, dan kebijaksanaan adalah warisan terbaik yang bisa kita jaga dari para pendahulu.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News