Dekolonisasi Indonesia atau Revolusi Indonesia 1945 - 1950 adalah titik tolak Indonesia dari status negara jajahan menuju negara merdeka. Proses dekolonisasi tersebut terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Mulai dari titik-titik paling gencar seperti Bandung Lautan Api, Pertempuran Surabaya, Pertempuran Ambarawa, Medan Area, dan sebagainya.
Namun, bagaimana dengan Depok? Dekolonisasi di wilayah Depok jarang sekali disinggung dan tidak semenonjol pertempuran-pertempuran Dekolonisasi di kota lain. Berikut ini akan diulas Dekolonisasi di Depok dalam kaitannya dengan mobilisasi "warga asli" Depok selama Gedoran Depok terjadi.

Kondisi Depok tahun 1900-an | Wikimedia
"Kaoem Depok" dan Kondisi Mereka selama Gedoran Depok
Mereka yang disebut sebagai "Kaoem Depok" adalah warga yang berasal dari garis keturunan 12 marga budak yang pernah dimiliki Cornelis Chastelein. Garis keturunan inilah yang seringkali disebut sebagai kaum "Belanda Depok".
Dalam penelitiannya yang berjudul Evakuasi Kaoem Depok Pasca Gedoran Depok 1945-1946, sejarawan Yogi Susatyo menyatakan bahwa Kaoem Depok ini terbagi menjadi dua golongan, yaitu Kaoem Depok Wetan yang melabelkan diri mereka dengan ciri khas gaya hidup Belanda serta Kaoem Depok Kulon yang masih hidup secara tradisional. Sebagian wilayah Depok Wetan masih diduduki oleh sebagian masyarakat asli Belanda yang memang lahir di Depok.
Meledaknya Gedoran Depok dimulai sejak tanggal 7 Oktober 1945 saat pemuda-pemudi pendukung Kemerdekaan RI mengintimidasi pedagang di pasar untuk tidak menjual dagangannya kepada "Kaoem Depok".
Residen Depok kala itu yang bernama R. Idjok. M. Siradz mengetahui insiden tersebut dan bernegosiasi kepada ICRC (Perwakilan Palang Merah Internasional) agar tetap menyalurkan bantuan medis ke Depok. Namun, Laskar Pemuda yang kala itu berkuasa di lapangan yang dipimpin oleh Margonda memilih aksi secara konfrontatif.
Mulai tanggal 9-13 Oktober 1945, terjadi penjarahan, penyerbuan dan pengangkutan penduduk Depok ke penjara Pledang oleh Laskar Pemuda tersebut. Menurut penelitian Zahra dan Nugraha dalam jurnal Multikultura, Jurnal Lintas Budaya dikatakan bahwa puncak Gedoran Depok terjadi pada tanggal 11 Oktober 1945, saat ribuan pemuda datang ke Depok untuk memaksa pengakuan kemerdekaan. Sebagai hasilnya, banyak penduduk Kristen Eropa diusir dari Depok.
Kaoem Depok di Masa Kini
Pada masa kini, masyarakat Depok yang masih memiliki nama marga hasil pemberian Chastelein sering disebut sebagai "Belanda Depok". Istilah ini tidak disukai oleh mereka karena warga tersebut di masa kini merupakan penduduk asli berwarga negara Indonesia, dan bukan merupakan ras Eropa. Istilah tersebut jelas merupakan diskriminasi dan pemberian label negatif bila dilihat dari sudut pandang mereka.
Dilansir dari Pikiran Rakyat, Ferdy Jonathans yang merupakan salah satu keturunan "Kaoem Depok" yang masih hidup dan tinggal hingga saat ini menuturkan bahwa ia sangat tidak menyukai panggilan "Belanda Depok". Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa istilah "Belanda Depok" adalah sebuah olok-olokan yang akhirnya melekat.
Yozua Dolf Jonathans yang juga merupakan keturunan "Kaoem Depok" juga menyatakan kesaksiannya bahwa pada 11 Oktober 1945, sejumlah orang mendatangi rumah keluarganya dan berteriak-teriak "merdeka". Yozua Dolf yang kala itu berusia 13 tahun juga ikut ditangkap dan dibawa ke Penjara Paledang, Bogor oleh Laskar Pemuda.
Dengan demikian, peristiwa Gedoran Depok menghasilkan efek dalam sejarah Depok yang masih dirasakan hingga kini serta menghasilkan label kolektif masyarakat bahwa Depok adalah bagian yang tersisa dari kolonialisme. Sayangnya, kesan tersebut perlu diluruskan dan dicari titik tengahnya agar masyarakat keturunan "Kaoem Depok" tidak lagi merasa terdiskriminasi oleh label tersebut.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News