Kebhinekaan merupakan fondasi yang mempersatukan bangsa Indonesia di tengah perbedaan suku, bahasa, dan budaya. Salah satu wujud kebhinekaan tersebut adalah tradisi Fahombo atau lompat batu dari Nias, Sumatera Utara, yang memiliki nilai historis, sosial, dan spiritual.
Tradisi ini tidak hanya menjadi atraksi budaya, tetapi juga simbol keberanian, kedewasaan, dan kesiapan seorang pemuda untuk mengemban tanggung jawab dalam masyarakat. Keberhasilan melompati batu setinggi lebih dari dua meter menjadi penanda bahwa pemuda tersebut telah dianggap dewasa secara fisik dan mental.
Pelestarian tradisi seperti Fahombo berarti menjaga kearifan lokal yang telah mengakar kuat di tengah masyarakat. Namun, perkembangan zaman, urbanisasi, dan minimnya regenerasi pelompat batu mengancam keberlanjutan tradisi ini.
Dalam kebudayaan Nias, keberanian, ketangkasan dan kedewasaan merupakan nilai yang penting yang harus dimiliki oleh setiap laki-laki. Melalui tradisi ini, nilai-nilai tersebut bisa diwujudkan secara nyata bahwa laki-laki sudah tumbuh dewasa apabila mereka sudah berhasil melompati batu dan menjadi sarana untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik.
Hal ini dapat menunjukan bahwa tradisi ini bukan hanya warisan tapi memiliki fungsi sebagai pembentukan karakter dan tata nilai. Selain itu tradisi ini juga baik bagi masyarakat nias karena mereka wajib untuk menjaga kesehatan mereka untuk dapat berhasil melompat batu-batu tersebut. Jadi, selain sebagai pembentukan karakter, tata nilai, hal ini juga dapat menjadi suatu hal yang baik bagi laki-laki yang ingin melakukan tradisi ini dengan menjaga kesehatan mereka.
Awalnya, hilangnya pertempuran antarwilayah disebabkan oleh masuknya agama Kristen Protestan ke tanah Nias Selatan. Agama Kristen Protestan muncul di Nias Selatan tahun 1883 dibawa oleh misionaris Jerman.
Berkembangnya Agama Kristen Protestan tentu mengubah sikap, adat-istiadat dan budi pekerti masyarakat Nias Selatan, ditambah dengan larangan peperangan oleh Agama Kristen Protestan. Setelah tidak ada lagi pertempuran maka tradisi Fahombo Batu tidak berubah fungsi sebagai olahraga pemuda. Karena ini, tradisi lompat batu atau yang biasa dikenal Fahombo lama lama digunakan untuk atraksi sehingga dapat meningkatkan ekonomi daerahnya.
Terdapat faktor external yang dapat mempengaruhi hilangnya tradisi Fahombo, yaitu terjadi banyak pertambahan dan pengurangan penduduk di daerah tersebut. Semakin banyak wartawan yang dateng ke daerah tersebut, semakin hilang tradisi Fahombo yang sebenarnya. Lama kelamaan hanya dianggap sebagai tradisi untuk membuat uang tanpa latar belakang yang dalam.
Oleh karena itu, kami menggagas kampanye “Selamatkan Fahombo—Warisan Nias, Simbol Keberanian” sebagai upaya konkret pelestarian tradisi ini. Fahombo adalah festival yang berasal dari masyarakat suku Nias berupa melompati tumpukan batu setinggi dua 2 meter yang berfungsi sebagai ritual pendewasaan dan pengujian ketangkasan fisik generasi muda, tetapi sangat disayang bahwa kondisi Fahombo sekarang sudah mulai dilupakan dan hampir punah karena pengaruh dari budaya asing.
Kampanye ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran publik terhadap pentingnya menjaga Fahombo, melibatkan generasi muda Nias dalam pelatihan dan pembinaan, serta mengajak masyarakat luas dan wisatawan untuk turut berperan dalam keberlanjutan budaya.
Kegiatan yang dirancang mencakup pendokumentasian tradisi dalam bentuk video dan foto, pelatihan generasi muda oleh tetua adat, penyelenggaraan festival budaya di Desa Bawomataluo, pameran keliling dan digital exhibition di kota-kota besar, kolaborasi dengan sekolah untuk memasukkan materi Fahombo ke dalam kurikulum lokal, serta kampanye media sosial dengan hashtag #SaveFahombo. Selain itu, akan dilakukan penggalangan dana melalui crowdfunding dan sponsorship untuk mendukung pelatihan pelompat batu, perawatan situs budaya, dan promosi tradisi ini ke tingkat nasional maupun internasional.
Melalui kampanye ini, kebhinekaan tidak hanya dirayakan sebagai identitas, tetapi juga dijadikan strategi untuk mengatasi permasalahan pelestarian budaya. Mengangkat kembali tradisi Fahombo akan memperkuat kohesi sosial di masyarakat, mencegah homogenisasi budaya akibat globalisasi, dan menjadikan warisan lokal sebagai kekuatan soft power Indonesia di mata dunia.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News