Permasalahan sampah merupakan salah satu tantangan besar yang dihadapi Indonesia sampai saat ini. Hampir di setiap sudut kota dan sekolah, sampah masih menjadi pemandangan sehari-hari yang sering diabaikan. Namun di tengah kebiasaan tersebut, muncul sosok muda yang berani melawan arus dan membuktikan bahwa perubahan bisa dimulai dari hal sederhana. Gadis itu adalah Amilia Agustin, sosok yang kemudian dikenal dengan sebutan “Ratu Sampah Sekolah”.
Amilia bukanlah aktivis besar yang memulai aksinya di panggung nasional. Ia hanya seorang siswi biasa yang memiliki kepekaan luar biasa terhadap lingkungan di sekitarnya. Kepedulian itu muncul sejak masa Sekolah Menengah Pertama di Bandung, ketika ia melihat banyak sampah berserakan di halaman sekolah dan tidak ada yang benar-benar memperhatikan dampaknya. Dari rasa tidak nyaman itulah tumbuh tekad untuk melakukan perubahan.
Awal Mula Gerakan Peduli Lingkungan
Kegelisahan kecil itu tidak berhenti pada rasa prihatin semata. Amilia mulai bergerak dengan cara sederhana — memungut sampah yang berserakan, memisahkan antara sampah organik dan anorganik, serta mengajak teman-temannya untuk ikut menjaga kebersihan sekolah. Pada awalnya, langkah tersebut dianggap remeh oleh sebagian orang. Tidak sedikit yang menertawakan niatnya, bahkan ada yang menganggapnya berlebihan hanya karena peduli pada sampah.
Namun Amilia tetap bertahan. Ia yakin bahwa kebiasaan baik, sekecil apa pun, akan memberi dampak jika dilakukan dengan konsisten. Melalui berbagai percobaan kecil di rumah dan di sekolah, ia mulai memahami pentingnya sistem pengelolaan sampah yang terencana. Dari situ lahirlah ide untuk membangun gerakan lingkungan berbasis sekolah yang kemudian ia beri nama “Go To Zero Waste School.”
Inovasi “Go To Zero Waste School”
Program Go To Zero Waste School tidak hanya sekadar ajakan membuang sampah pada tempatnya. Lebih dari itu, program ini menumbuhkan budaya baru dalam pengelolaan sampah di sekolah. Amilia merancang sistem pemilahan sampah menjadi empat kategori — organik, anorganik, kertas, dan kemasan tetra pak. Setiap jenis memiliki wadah tersendiri dan diolah dengan cara yang berbeda.
Sampah organik diolah menjadi kompos yang bermanfaat untuk tanaman di taman sekolah. Sampah kertas dikumpulkan untuk didaur ulang atau dijadikan bahan kerajinan tangan. Sedangkan kemasan tetra pak diubah menjadi produk kreatif seperti tas, dompet, atau hiasan dinding yang bernilai ekonomi. Dengan cara itu, siswa tidak hanya belajar menjaga kebersihan, tetapi juga belajar berkreasi, berwirausaha, dan bertanggung jawab terhadap lingkungan.
Program tersebut kemudian menjadi bagian dari kegiatan sekolah. Setiap siswa memiliki peran, ada yang mengelola bank sampah, ada yang menjadi tim sosialisasi, dan ada pula yang bertugas mendata hasil daur ulang. Perlahan, budaya peduli lingkungan tumbuh menjadi kebiasaan sehari-hari. Sekolah yang dulunya kotor dan penuh sampah berubah menjadi lingkungan yang hijau dan tertata, serta menginspirasi.
Perjuangan yang Tidak Mudah
Di balik keberhasilan itu, perjuangan Amilia tidak selalu berjalan mulus. Banyak tantangan yang harus ia hadapi, mulai dari keterbatasan fasilitas hingga kurangnya dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Namun semangatnya tidak pernah surut. Ia percaya bahwa perubahan tidak bisa terjadi dalam semalam. Dibutuhkan waktu, kesabaran, dan ketulusan untuk membuat orang lain percaya bahwa apa yang ia lakukan benar-benar bermanfaat.
Dalam setiap kegiatan, Amilia tidak hanya mengajak untuk beraksi, tetapi juga mengedukasi. Dia sering menyampaikan presentasi di depan teman-temannya, menjelaskan dampak negatif sampah terhadap lingkungan, dan menunjukkan hasil daur ulang yang mereka buat bersama. Pendekatannya yang sederhana dan penuh semangat membuat banyak orang terinspirasi untuk ikut bergabung.
Penghargaan dan Pengakuan
Upayanya yang konsisten akhirnya mendapat perhatian luas. Pada tahun 2010, Amilia Agustin menerima penghargaan bergengsi SATU Indonesia Awards dari PT Astra International tbk. Penghargaan tersebut diberikan kepada anak muda yang dinilai mampu membawa perubahan positif di bidang sosial dan lingkungan. Pengakuan itu membuka kesempatan bagi Amilia untuk memperluas jangkauan gerakannya. Ia mulai aktif di berbagai seminar dan kegiatan lingkungan, berbagi pengalaman dan menginspirasi pelajar dari sekolah lain agar berani memulai langkah yang sama.
Meski begitu, Amilia tetap rendah hati. Dalam berbagai kesempatan, ia selalu menegaskan bahwa penghargaan bukan tujuan utama. “Yang terpenting bukan seberapa besar nama kita dikenal, tapi seberapa besar dampak yang bisa kita berikan untuk lingkungan sekitar,” ujarnya dengan penuh keyakinan.
Dampak yang Meluas
Gerakan Go To Zero Waste School sangat menginspirasi banyak sekolah di berbagai daerah. Konsep pengelolaan sampah yang ia kembangkan diadopsi oleh sejumlah lembaga pendidikan dan komunitas lokal. Bahkan, beberapa pemerintah daerah menjadikannya contoh dalam program sekolah hijau.
Amilia terus melanjutkan kiprahnya di bidang lingkungan, memberikan pelatihan dan edukasi mengenai pentingnya daur ulang, pengurangan plastik sekali pakai, dan gaya hidup berkelanjutan. Melalui kegiatan-kegiatan tersebut, ia ingin menanamkan kesadaran bahwa bumi bukan warisan nenek moyang, melainkan titipan untuk generasi yang akan datang.
Keteladanan bagi Generasi Muda
Kisah Amilia Agustina memberikan pelajaran berharga bahwa kepedulian terhadap lingkungan bisa dimulai dari diri sendiri. Ia membuktikan bahwa usia muda bukan penghalang untuk berbuat sesuatu yang bermakna. Dengan niat tulus, kerja keras, dan keberanian, setiap orang dapat menjadi agen perubahan.
Sekolah sebagai tempat pendidikan sejatinya tidak hanya menanamkan ilmu pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter. Melalui gerakan yang dipeloporinya, Amilia berhasil mengintegrasikan nilai-nilai kepedulian lingkungan ke dalam budaya sekolah. Anak-anak belajar bahwa menjaga kebersihan bukan sekadar tugas petugas kebersihan, tetapi tanggung jawab bersama.
Penutup
Kisah Amilia Agustin, Ratu sampah Sekolah, merupakan bukti nyata bahwa perubahan besar dapat berawal dari langkah kecil yang dilakukan dengan konsisten. Dari halaman sekolah sederhana di Bandung, ia menyalakan api semangat peduli lingkungan yang kini menyebar ke banyak daerah di Indonesia.
Di tengah isu global tentang perubahan iklim dan krisis sampah, sosok seperti Amilia menjadi contoh nyata bahwa solusi tidak harus selalu datang dari kebijakan besar, melainkan bisa dimulai dari tindakan sederhana di lingkungan terdekat. Dengan ketulusan, inovasi, dan semangat pantang menyerah, ia mengingatkan kita semua bahwa menjaga bumi bukan sekadar kewajiban, tetapi juga bentuk rasa syukur atas kehidupan yang kita miliki.
#kabarbaiksatuindonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News