Olimpiade 1952 Helsinki mencatat partisipasi Indonesia untuk pertama kalinya di ajang multievent terbesar sedunia itu. Kontingen Merah Putih pada pesta olahraga di Swedia itu beranggotakan tiga orang. Ketiganya ambil bagian di cabor renang, loncat tinggi, dan angkat besi.
Sebetulnya, empat tahun sebelum Helsinki, yaitu Olimpiade 1948 London, Indonesia punya asa tampil di sana. Indonesia bahkan sudah mendapatkan undangan dari Komite Olimpiade Internasional (IOC) untuk ambil bagian. Sayangnya karena situasi politik dunia yang pelik membuat Indonesia tak bisa mengirimkan delegasinya ke Inggris.
Faktor-faktor yang menyebabkan Indonesia urung tampil di Olimpiade 1948 London itu lantas dibeberkan oleh Osa Kurniawan Ilham. Buku bertajuk Indonesia Digagalkan Ikut Olimpiade London 1948 karya Osa itu dibedah di Universitas Ciputra (UC) Surabaya pada Sabtu (18/10) bersama Yohanes Somawiharja (Dosen UC) serta Nathally Gabriella (mahasiswa UC).
Osa menuturkan untuk merampungkan buku itu dibutuhkan waktu yang tak singkat. Penulis kelahiran Kediri itu berujar riset tentang kegagalan Indonesia tampil di Olimpiade pertama setelah Perang Dunia II itu dilakukan sejak 2014 lalu.
“Buku ini dikerjakan bukan dengan gaya sprint, melainkan dengan cara maraton. Saya punya gol yang jelas untuk menjadikan riset ini sebagai sebuah buku,” kata Osa.
Surat Undangan Dari IOC
Osa menulis pada awal 1947, IOC mengirimkan surat kepada Komite Olimpiade Republik Indonesia (KORI). Inti surat itu yaitu IOC memberi kesempatan kepada Indonesia berpartipasi di Olimpiade 1948 London asal Indonesia memenuhi syarat.
Syaratnya yaitu cabor yang akan diikuti Indonesia di Olimpiade 1948 itu sudah tergabung dengan federasi internasional cabor itu. Artinya KORI dan Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI) hanya punya waktu setahun sebelum Olimpiade London bergulir.
Sayangnya ketika KORI dan PORI mengebut persiapan menuju Olimpiade 1948, meletuslah Agresi Militer I. Serangan Belanda dan Sekutu ke beberapa wilayah Indonesia otomatis mengacaukan persiapan itu. Fokus bangsa dan para pemimpin Indonesia pada periode revolusi (1945-1949) memang lebih pada menjaga kedaulatan.
Faktor Politik Jadi Penghambat Indonesia
Osa menjelaskan dalam bukunya kalau proses surat menyurat untuk bergabung dengan federasi olahraga internasional sebetulnya terus dilakukan. Salah satunya oleh PSSI.
Surat PSSI pada 1948 untuk menggabungkan diri sebetulnya mendapat balasan dari induk organisasi sepak bola internasional, FIFA. Namun oleh pihak Belanda yang menguasai jaringan komunikasi kala itu, surat FIFA kepada PSSI tak dikirimkan ke Kantor PSSI di Solo. Surat itu dikembalikan ke FIFA di Swiss dengan alasan alamat penerima tak ditemukan.
Selain berpartisipasi di Olimpiade 1948, IOC telah mengirim surat berikutnya kepada KORI. IOC mengundang delegasi Indonesia sebagai observer atau pengamat. Namun sayangnya, Inggris sebagai tuan rumah menolak kedatangan observer asal Indonesia di Olimpiade 1948. Alasannya paspor dari Indonesia belum diakui. Observer Indonesia diminta membuat paspor Belanda. Permintaan itu jelas ditolak para observer Indonesia yang terdiri dari Sultan Hamengku Buwono IX, Letkol Aziz Saleh, dan Mayor Maladi.
Dari buku Osa diketahui kalau penolakan Inggris ternyata ada campur tangan Belanda sebagai salah satu Sekutunya. Belanda memberi bisikan kepada Inggris agar tidak membuka jalan buat observer Indonesia. Sebab kalau sampai para observer bersedia datang ke London dengan paspor Belanda, artinya para observer ini masih mengakui kekuasaan Belanda atas Indonesia pasca 1945.
Kegagalan Menembus Olimpiade Melahirkan PON I
Usai gagal berpartisipasi di Olimpiade 1948, pemerintah Indonesia memutuskan menggelar sebuah pesta olahraga di dalam negeri. Ada semangat menunjukkan kepada dunia kalau Indonesia pun mampu menggelar sebuah gelaran pesta olahraga yang tak kalah dari Olimpiade. Pemerintah Indonesia bahkan mengeluarkan dana sebesar Rp 1,5 juta untuk perhelatan Pekan Olahraga Nasional (PON) I di Solo pada 8-12 September 1948. PON I ini mempertandingkan sembilan cabor. Yaitu atletik, bola keranjang, bulu tangkis, sepak bola, tenis, renang, pencak silat, panahan, dan bola basket.
Keberhasilan PON I saat periode revolusi ini seolah membuktikan kalau Indonesia nyatanya bisa menggelar multievent layaknya Olimpiade. Meski saat perhelatan PON I, ‘usia’ Republik Indonesia baru tiga tahun.
Saat PON I, delegasi luar negeri seperti Amerika Serikat, Australia, serta Belgia menyaksikan bagaimana perjuangan para atlet Indonesia di bidang olahraga.
“Pemimpin Indonesia melihat kalau berhasil tampil di Olimpiade maka ini adalah sebuah jalan untuk mendapat pengakuan oleh dunia. Ada diversifikasi perjuangan Indonesia. Jadi tak hanya lewat perang, tapi juga jalur berprestasi dan tampil di sebuah perhelatan Olimpiade,” tutur Osa.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News