membaca adalah hak seluruh anak bangsa sepenggal kisah bagaimana eko cahyono mendirikan pustaka anak bangsa - News | Good News From Indonesia 2025

Sebab Membaca Adalah Hak Seluruh Anak Bangsa: Sepenggal Kisah Bagaimana Eko Cahyono Mendirikan Pustaka Anak Bangsa

Sebab Membaca Adalah Hak Seluruh Anak Bangsa: Sepenggal Kisah Bagaimana Eko Cahyono Mendirikan Pustaka Anak Bangsa
images info

Sebab Membaca Adalah Hak Seluruh Anak Bangsa: Sepenggal Kisah Bagaimana Eko Cahyono Mendirikan Pustaka Anak Bangsa


Apa yang mungkin diupayakan seseorang saat ia punya waktu luang, sedikit modal dan seperangkat pengetahuan? Banyak orang mungkin akan memilih membuka usaha kecil-kecilan atau bekerja sekeras yang ia bisa untuk mendapat sebanyak mungkin uang. Tapi coba bubuhkan rasa kemanusian dan keikhlasan mendalam pada kombinasi itu, barangkali mereka akan mulai berubah pikiran, dan justru memilih mendirikan perpustakaan. Sesuatu yang secara hitung-hitungan sama sekali tak menguntungkan dan lebih sering merepotkan. Namun, jalan inilah yang justru dipilih Eko Cahyono, seorang pustakawan kawakan dari kabupaten Malang.

Saya sendiri, pertama kali mengetahui nama Eko Cahyono melalui platform X, dari cuitan para pegiat literasi di platform tersebut. Namanya cukup harum di kalangan pustakawan, bahkan mungkin bisa disandingkan dengan mang Adiono di Lampung (Busa Pustaka) dan kang Maman di Jakarta. Belakangan saya baru mengetahui bahwa ia juga merupakan salah satu penerima Satu Indonesia Award pada tahun 2012 di bidang pendidikan. Penghargaan yang siapa pun akan bersepakat bahwa itu memang pantas disematkan padanya tanpa keraguan sedikit pun.

Dukacita membangun Pustaka

Penghargaan itu tentu tidak didapatkan dalam waktu semalam, bahkan tidak dalam seribu malam, perjuangannya mesti melewati jalan berliku dan tanjakan berbatu. Pak Eko, begitu orang-orang akrab memanggilnya, sama sekali bukan orang baru di dunia kepustakaan. Sepak terjangnya bahkan lebih tua dari usai reformasi 98. Jika reformasi terjadi pada bulan Mei, ia sudah memulai mendirikan perpustakaan sejak beberapa bulan sebelum reformasi terjadi. Perpustakaan ini ia beri nama Pustaka Anak Bangsa.

Pak Eko memulai perpustakaan ini dari rumah orang tuanya, dengan semua koran, majalah, tabloid dan beberapa buku yang ia punya. Niat baiknya ini disambut dengan antusias dari teman-teman dan orang sekitarnya. Rumah orang tua pak Eko, seketika menjadi riuh dengan suara pengunjung dan pembaca. Setelah beberapa lama, masalah mulai muncul, kedua orang tuanya melayangkan protes sebab merasa terganggu dengan kebisingan pengunjung perpustakaan yang tak jarang masih bertahan hingga lewat tengah malam.

Pak Eko yang tak enak hati dengan orang tuanya, kemudian berusaha mencari kontrakan. Dan naasnya, entah karena kendala biaya atau pemilik yang tak mau memperpanjang masa sewa, Pustaka Anak Bangsa harus berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya hingga sebelas kali. Namun apa pun yang terjadi, bagi pak Eko perpustakaan yang sudah kadung berdiri tak boleh sampai mati. Ia kemudian sampai menjual apa pun yang ia punya untuk menghidupi perpustakaan ini. Mula-mula ia menjual TV miliknya, lalu motor pribadinya, bahkan ia hampir saja menjual ginjalnya dan sudah ada beberapa orang yang menawarnya dengan harga yang cukup tinggi, namun pada akhirnya transaksi ini tak pernah terjadi karena para pembeli membatalkan tawarannya karena satu dan lain hal. Barulah pada tahun 2010, perjuangan pak Eko terbayarkan setelah Pustaka Anak Bangsa mendapatkan bantuan untuk membangun gedung perpustakaan yang lebih memadai.

Selain terkendala masalah ruang, di awal-awal perpustakaan ini berdiri pak Eko juga disibukkan dengan kerja-kerja berburu bahan bacaan. Yang satu ini pun tak kalah beratnya. Dari sedikit yang ia punya, pak Eko kemudian harus mengumpulkan lebih banyak lagi pustaka, sehingga ia mencari sumbangan buku dari rumah ke rumah, dari alamat ke alamat, menaiki sepeda motor yang dipinjam dari tetangga atau lebih sering menaiki angkutan umum. Tak jarang ia mengalami penolakan, tapi hal itu sama sekali tak menciutkan tekadnya dalam menghimpun buku. “Kalau lelah, ya pasti lelah” ujarnya “tapi ketika mendapat buku, kemudian pulang disambut dengan sukacita anak-anak dalam berebut buku, rasa lelah itu seolah hilang seketika.” Per hari ini Pustaka Anak Bangsa telah memiliki ratusan ribu eksemplar buku.

Buku-buku ini pun tak hanya ia susun di rak-rak kayu sembari menunggu pengunjung tiba, tapi ia juga “menjajakannya” berkeliling Malang. Sebab meski sudah menyediakan ruang yang memadai dan fasilitas yang baik, ia merasa faktor jarak masih cukup menjadi kendala bagi masyarakat untuk dapat mengakses perpustakaannya. Sehingga sejak 2012, ia menginisiasi program perpustakaan keliling untuk memberi akses pada lebih banyak anak dan masyarakat.

Bukan Literasi yang Rendah tapi Akses Pada Buku yang Tak Pernah Mudah

Ada optimisme yang selalu dipegang oleh pak Eko dalam menghidupkan perpustakaannya, bahwa minat baca masyarakat sebenarnya sangat tinggi. “haram bagi pustakawan percaya bahwa minat baca masyarakat itu rendah” ucapnya. Banyak penelitian selalu menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat literasi yang rendah, seolah masyarakat adalah kumpulan orang-orang bodoh yang malas membaca buku. Tapi menurut pak Eko yang terjadi di lapangan justru sama sekali tak seperti itu. Ia menunjukkan bukti bahwa perpustakaannya selalu ramai dikunjungi, perpustakaan keliling yang ia gelar juga selalu hanya menyisakan sangat sedikit buku, hal ini tentu adalah bukti yang memadai bahwa minat baca masyarakat sebenarnya cukup tinggi tetapi hanya saja selama ini mereka tak pernah mampu mengakses buku dengan mudah.

Dalam siniar di kanal Youtube Tugu Malang ID, pak Eko menyebut beberapa hal yang menyulitkan akses pada buku, misalnya perpustakaan yang terlampau eksklusif dan adanya peraturan-peraturan di perpustakaan yang sering kali konyol dan tidak relevan. Ia juga menyebut bahwa masyarakat terlalu banyak dijejali dengan BLT berupa uang tunai dan sembako. Dua hal ini tentu diperlukan, tapi mengapa masyarakat sama sekali tak pernah diberi bantuan berupa buku, sehingga alih-alih mendapatkan satu ikan, masyarakat bisa mendapat pancing untuk menangkap lebih banyak ikan. Pak Eko dalam hal ini bahkan belum menyebut mahalnya harga buku dan pembredelan buku-buku kiri, jika ini disebut tentu lengkaplah sudah.

Pak Eko kemudian menuntut pemerintah merevolusi perpustakaan dan membuat buku agar lebih ramah dengan masyarakat. Ia meminta agar negara membuat lebih banyak perpustakaan di taman-taman yang terbuka untuk umum serta membuat regulasi yang memadai berkaitan dengan buku dan perpustakaan. Tentu ini tuntutan yang masuk akal, sebab pak Eko barangkali sadar bahwa dirinya semakin menua. Belum tentu juga, ada Eko Cahyono-Eko Cahyono lainnya yang mampu dan mau berjuang dengan ikhlas demi membangun perpustakaan untuk masyarakat. Sehingga di sinilah peran negara jelas diperlukan. Sebab tanpa peran negara, mungkin dunia literasi kita akan masih begini-begini saja, tak beranjak.

Pak Eko adalah pahlawan, tentu. Tapi sebenarnya ia hanya membantu, kita tak bisa terus menerus mengharapkan orang-orang macam pak Eko mengorbankan hidupnya demi buku, dan barangkali memang tak perlu. Sebab negaralah yang seharusnya menjamin semua itu. Negaralah yang seharusnya menjamin ketersediaan buku di desa-desa, mendistribusikannya pada anak-anak dan masyarakat. "Saya akan memilih pemimpin yang suka membaca buku” tambahnya dengan lugas.

#kabarbaiksatuindonesia

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

JB
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.